Mita mulai menjalankan mobilnya, kembali menuju fakultasnya, menemani Dinda menyerahkan skripsi kepada Arya.
"Bawa berapa skripsi, Din?"
"Satu. Emang harus bawa berapa?"
"Biasanya pembimbing gua minta dua, tapi mungkin Pak Arya beda."
"Semoga beliau tidak rewel seperti sebelumnya."
Mobil itu akhirnya berhenti di halaman depan kampus Fakultas Ekonomi. Mita ikut turun tapi tidak ikut Dinda masuk ke ruangan dosen. Ia ada perlu di bagian administrasi.
Tok.Tok. Tok.
Dinda melirik arloji di tangan kanannya sembari berdiri tepat di depan pintu ruangan Arya, menunggu jawaban dari dalam. Angka di arlojinya menunjuk ke angka tujuh. Terlambat lima menit dari yang seharusnya.
Ceklek.
Pintu perlahan terbuka, menampakkan wajah putih Arya tanpa senyum. Rasa bersalah tiba-tiba datang menyergap Dinda. Mungkin saja dosen di depannya ini sangat disipiln dalam waktu sehingga telat satu menit saja akan menjadi masalah yang berkepanjangan.
"Silakan duduk." Arya tidak menatap ke arah Dinda sedikit pun.
Suara Arya terdengar sangat berbeda dengan tadi pagi. Siang ini suara itu begitu dingin dan tidak bersahabat.
Dinda menurut. Ia menarik pelan kursi di depannya, lalu mendudukkan tubuhnya dengan sangat hati-hati seperti takut jika gerakannya itu, akan menimbulkan suara yang akan semakin merusak suasana sang dosen.
Lima menit berlalu. Dinda masih duduk diam menanti sepatah dua-patah kata dari dosen pembimbingnya yang baru. Sayangnya, hingga menit ke sepuluh, pria berwarjah putih itu tetap diam sambil terus membaca sesuatu di ponsel miliknya.
Suasana hening itu pecah gara-gara ponsel Dinda yang berdering tiba-tiba, membuat Arya mengangkat wajahnya, dan memandang Dinda dengan tatapan menusuk Dinda langsung menegakkan punggung tubuhnya, tangannya bergerak mencari ponsel yang ada di dalam tas ranselnya.
Panggilan dari Mita.
Mengabaikan tatapan tajam Arya, Dinda menekan tombol hijau.
"Ada apa?" Dinda menjawab panggilan Mita sambil berbisik.
*Lu ada dimana? Masih di ruangan Pak Arya?
Suara Mita begitu nyaring membuat Dinda terpaksa menjauhkan ponsel itu dari telinganya.
"Lu pulang duluan aja deh. Bye-bye." Dinda cepat-cepat mengakhiri percakapan itu.
*Buruan lu kenalin pak dosen sama bokap-nyokap lu, Din. Gua tunggu undangan lu.
Klik. Dinda segera memasukkan kembali ponselnya ke dalam tas.
"Sudah?" Arya ternyata masih memperhatikan Dinda sejak gadis itu mengambil ponselnya.
Dinda menggangguk cepat seraya tersenyum kikuk. Ia tidak menyangka jika sang dosen ternyata masih terus menatapnya.
"Ada janji sore ini?"
Dinda agak terkejut dengan pertanyaan Arya. "Tidak ada, Pak."
"Bagus."
"Bagus?" Dinda tidak mengerti.
"Berarti kita segerakan saja diskusinya."
"Diskusi?"
"Jelaskan semuanya. Mulai dari tahapan kamu menyusun proposal sampai penulisan bab akhir skripsi kamu."
"Sekarang, Pak?"
"Mau kamu kapan? Nanti malam?"
"Oh, tentu tidak, Pak. Masa iya kita diskusi malam-malam di kampus. Mana berani saya, Pak."
"Kan ada saya."
"Iya, Pak. Memang ada Bapak. Tapi kan Bapak pasti pulang dulu. Pamit sama istri dan anak-anak, baru datang kemari lagi. Nah, saya nungguin Bapak berapa lama sampai Bapak tiba di sini lagi? Mana saya nungguin sendiri lagi."
Suara Dinda mirip dengan seseorang yang sedang berkeluh kesah.
"Saya belum berkeluarga, jadi saya punya banyak waktu untuk meladeni kamu."
Dinda langsung terbatuk. Kata meladeni yang diucapkan sang dosen sangat mengganggu dirinya, dan sangat tidak baik bagi pikiran dan daya khayalnya.
"Hmm, maksud saya, kita bisa mendiskusikan skripsi kamu dengan leluasa." Arya menggaruk kepalanya yang mendadak gatal. Kenapa sih mulutnya selalu saja mengucapkan kata-kata yang menjurus, setiap kali berhadapan dengan gadis ini
"Oh. Bagaimana dengan pacar, Bapak? Tunangan? Saya kan tidak mau jadi kambing congek. Saat saya menjelaskan alasan pemilihan judul, Bapak nanti malah sibuk sendiri dengan pacar atau tunangan bapak itu."
"Mengapa kamu justru yang menginterogasi saya? Saya kan sudah menjelaskan kalau saya tidak terikat dengan siapa pun?!" Arya akhirnya kesal juga. Niat hati ingin menginterogasi, tapi justru dirinya yang diinterogasi secara tidak langsung oleh mahasiswinya.
Suara Arya yang tiba-tiba meninggi dan terdengar begitu galak, membuat nyali Dinda ciut seketika. "Baik, Pak." Gadis itu kini memilih menunduk. Mana berani dia beradu tatapan dengan sang dosen yang kini terlihat sangat ingin memakannya.
Tok. Tok. Tok.
Terdengar ketukan berulang.
"Masuk." Tanpa pikir panjang Arya mengijinkan orang yang mengetuk pintu ruangannya untuk masuk.
"Maaf, Pak. Saya mau menyerahkan skripsi saya." Mahasiswa itu melirik ke arah Dinda yang masih duduk sambil menundukkan kepalanya.
"Kamu letakkan saja di meja sana. Akan saya baca besok."
"Baik, Pak. Kalau begitu saya permisi, Pak."
Ruangan kembali sunyi. Baik Arya dan Dinda sibuk dengan pikirannya sendiri-sendiri. Arya kembali sibuk dengan ponselnya, sedang Dinda kini bermain dengan jari jemarinya, menunggu dengan rasa bosan yang mulai datang menghampirinya.
Suara ketukan kembali terdengar. Dan Arya kembali mengijinkan sang tamu untuk masuk dan mengatakan keperluannya. Hal ini berulang sampai tiga kali.
Saat mahasiswa yang datang terakhir kali menyerahkan skripsinya, dan hendak berpamitan, Arya kembali memanggil mahasiswa itu. "Tunggu dulu!"
Arya menyandarkan punggungnya ke punggung kursi, sambil meletakkan kedua tangannya di belakang kepalanya.
"Iya, Pak?"
"Katakan pada semua yang baru ditransfer bimbingannya ke saya, skripsinya dikumpulkan ke Pak Rudy di ruang administrasi rektorat. Tidak perlu satu per satu mendatangi ruangan saya seperti ini. Hanya orang tertentu saja yang boleh memasuki ruangan saya saja. Mengerti? "
"Baik, Pak."
Dinda diam menyimak. Mengapa begitu? Mengapa hanya dirinya yang dituntut menjelaskan skripsinya? Dinda melirik-lirik ke arah Arya secara sembunyi-sembunyi. Ingin bertanya tapi ia takut.
"Mengapa? Kamu heran yang lain tidak seperti kamu? Menceritakan detil mulai proposal sampai skripsi?" Arya menangkap lirikan Dinda. Wajah tidak terima Dinda jelas terlihat dan itu membuat Arya merasa gemas.
Dinda tidak berani bergerak dan menjawab. Ia takut mulutnya akan seperti sebelumnya. Berbicara terus tanpa bisa direm. Akan tetapi ia juga penasaran mengapa dirinya mendapat perlakuan berbeda yang sangat tidak mengenakkan seperti ini?
"Mau tahu jawabannya?"
Dinda bergeming.
"Karena kamu spesial dan istimewa."
Dinda terkesiap mendengar perkataan Arya barusan. 'Apa maksudnya spesial dan istimewa? Memang gua martabak telor?'Arya tersenyum lebar tersenyum lebar namun dengan cepat kembali memasang wajah dingin. "Jangan GR dulu. Istimewa, karena kamu adalah mahasiswa yang sudah berjasa membantu teman-teman kamu belajar menghadapi sidang skripsi. Spesial, karena kamu dengan kecerdasan dan kepandaian yang kamu miliki, justru menjadi satu-satunya mahasiswa yang tidak lulus, dalam dua sidang skripsi berturut-turut."Dinda benar-benar tertohok dengan pernyataan Arya., dosen pembimbing baru, yang ternyata mulutnya sama kejamnya dengan mantan dosen pembimbingnya."So,..." Arya yang sedari tadi terus menatap wajah Dinda, kini mengalihkan pandangannya ke skripsi Dinda. Ia lantas mengambil skripsi yang tebalnya sekitar dua ratus halaman itu, lalu mulai membuka satu per satu halamannya.Dinda yang semula menaruh harapan besar pada dosen pembimbing barunya, kini harus menelan bulat-bulat semua harapannya.
Dinda dengan langkah tergesa memasuki komplek ruangan dosen. Beberapa mahasiswa yang menyapa dirinya hanya dibalas dengan lambaian tangan, tidak seperti biasanya. Ia datang tepat di jam tujuh. Nyaris terlambat. Saat hendak mengetuk pintu, pintu itu terbuka dari dalam. Arya hanya menatapnya sekilas, dan itu membuatnya berkesimpulan jika sang dosen sangat menghargai waktu. "Sangat tepat waktu, tapi itu bukan poin plus untuk kamu. Seharusnya kamu datang tiga puluh menit lebih awal." Arya berjalan meninggalkan ruangannya. Tanpa disuruh, Dinda mengikuti sang dosen dari belakang, berusaha tidak tertinggal terlalu jauh. Tidak ada percakapan di antara mereka. Hingga mereka tiba di gedung B lantai tiga ruangan satu. "Duduk di bagian belakang paling sudut. Simak dan perhatikan apa yang akan saya sampaikan pagi ini, karena ini menyangkut pemilihan metode penelitian dalam penyusunan skripsi. Mungkin saja itu bisa membantumu mengingat seperti apa outline atau proposal pengajuan judul skripsi
"Mulai besok, gunakan masker saat berkonsultasi dengan saya." "Masker, Pak?" Arya mengangguk. "Kamu bisa melepasnya saat sudah tidak bersama saya lagi, maksud saya, jika sudah selesai berkonsultasi, kamu bisa melepasnya." "Ooh...." Dinda masih belum mengerti alasan dirinya disuruh mengenakan masker saat berkonsultasi, tapi melihat wajah Arya yang tampaknya tidak sedang dalam mood yang baik, maka ia memilih untuk menyetujui permintaan itu. Suara ketukan terdengar, dan tanpa seijin Arya, pintu itu dibuka dari luar. Wajah oval milik Mega Sandrina muncul dari balik daun pintu. Wanita itu terkejut melihat Dinda sudah duduk di depan meja Arya. Ia lebih terkejut lagi melihat ada dua kotak coklat yang masih terbuka, dan terlihat isinya. Niat hatinya ingin mengajak pria idamannya itu sarapan pagi bersama, tapi keberadaan dua kotak coklat itu mengurungkan niatnya. "Rupanya, Pak Arya sudah sarapan pagi. Padahal, saya ingin mentraktir Pak Arya lontong sayur pagi ini." Suara Mega dibuat sese
Dinda teringat saat ia mulai menjawab pertanyaan yang diajukan para penguji. Mulai dari pertanyaaan Hasan yang sangat teoritis, yang dijawab Dinda dengan lancar. Dilanjutkan Mega Sandrina yang menanyakan beberapa pengertian mendasar tentang metodologi penelitian, dan yang terakhir, dosen tampan yang baru dilihat Dinda hari itu. Sebenarnya, Dinda sedikit terkejut, melihat salah satu pengujinya adalah dosen tampan yang menghebohkan kampusnya terlebih lagi jurusan manajemen. Akan tetapi, saat itu kepalanya sudah penuh dengan skripsinya. Ia hanya merasakan kikuk sesaat ketika sang dosen menatapnya tajam dan dalam, saat memberikan pertanyaan. Pertanyaan yang diberikan Arya saat itu lebih ke isi pokok skripsinya. Ia sampai harus mengeluarkan kertas untuk menjawab pertanyaan hitung-hitungan sang dosen. Selama itu, Arya memang terus menatap Dinda. Ia tidak mengalihkan tatapannya sedikit pun dari Dinda, baik wajah maupun tangan Dinda yang sibuk menghitung di kertas buram yang ternyata sudah
Hasan mengedarkan pandangannya, hendak mencari keberadaan Dinda, tapi sayangnya meja yang ditempati Dinda dan Mita kosong. Keduanya, secara kebetulan sedang pergi ke belakang, mencari kamar kecil. Arya yang sempat khawatir, menarik napas sejenak. Beberapa menit kemudian, Mega akhirnya mengetahui keberadaan Dinda dan Mita di restoran itu. Ia yang meminta daftar menu, mendatangi meja resepsionis dan berpapasan dengan Dinda yang baru saja dari toilet yang terletak di belakang ruangan itu. "Kamu ada di sini juga?" tanya Mega penuh sindiran. "Lagi ada janjian sama tamu atau gimana?" Dinda yang semula hendak menyapa dengan menganggukkan kepalanya, mengurungkan niatnya begitu mendengar kalimat terakhir Mega. "Tamu? Siapa ya Bu?" Dinda berusaha menahan emosinya. "Dinda datang kemari karena diajak calon suaminya, Bu." Mita tidak tinggal diam. Jengkel juga dia mendengar tuduhan tidak mendasar Mega. "Oh, calon suami? Sudah punya calon suami rupanya? Calon suami atau pelanggan tetap?" Uc
Dinda duduk termenung di meja belajarnya. Laptop yang sudah menyala sejak satu jam yang lalu sama sekali belum disentuhnya. Jari jemari yang biasanya sudah menari lincah di atas keyboard, kini justru menjadi penyanggah kepalanya. Kilasan pertemuan dan perselisihannya dengan Mega kemarin kembali melintas di hadapannya. Dinda tidak habis pikir, mengapa mantan dosen pembimbingnya itu sangat membencinya. Atas dasar apa wanita yang sangat suka menyanggul rambutnya itu menaruh cemburu padanya? Dinda mengambil cermin kecil yang tergeletak di meja kecil di samping meja belajarnya. Ia mulai mengamati wajahnya sendiri. Dilihat dengan seksama, wajahnya memang putih meski ada satu-dua jerawat mungil yang menghiasi keningnya. Hidungnya memang sedikit lebih mancung dari kebanyakan orang, ini juga karena papanya yang memang memiliki gen mancung dari keluarga besarnya. Bibirnya tidak terlalu tipis pun tidak terlalu tebal standar dengan warna sedikit merah. Dinda menelungkupkan cermin itu ke atas m
"Mengapa lama sekali?" Arya menatap tajam Dinda yang baru saja datang ke ruangannya. "Hmm, Maaf, Pak. Tadi pagi badan saya agak meriang, tapi sekarang sudah lebih baik." "Kamu sudah sarapan?" "Sudah, Pak." "Banyak?" "Dua lapis roti tawar plus selai kacang dan keju, satu gelas coklat panas." "Berarti itu belum cukup untuk mengembalikan stamina kamu hari ini. Temani saya makan." Arya bangkit dari duduknya, dan tanpa banyak bicara ia langsung menarik tangan Dinda, memaksa gadis itu mengikuti kemauannya. "Eh, tapi, Pak .... Bagaimana kalau ...." Arya menghentikan langkahnya. Ia menatap wajah Dinda dengan begitu serius. Dinda menjadi salah tingkah sesaat, namun gadis itu tiba-tiba teringat sesuatu. Ia membuka tas lalu mengambil masker dan langsung memakainya. "Anak pintar." Arya tersenyum tipis, membuat Dinda langsung mengucap kalimat istighfar. 'Mengapa Tuhan menghukum gua dengan melihat pemandangan seindah ini?' "Ikuti saya dan jangan banyak protes." Dinda diam. Ia menyerah
Rudy sedang menata kembali beberapa lembar kertas yang baru saja di tanda-tangani oleh Arya. Ia seperti ingin menanyakan sesuatu. "Ehm, Pak Arya." Pria muda itu sudah tidak dapat menahan rasa penasarannya. "Ya?" "Itu tadi ... kok bisa bareng dengan Mbak Dinda?" "Oh, itu. Kebetulan berpapasan di depan kampus. Ini juga jadwal dia konsultasi dengan saya." "Oooh, begitu ternyata. Sekarang Pak Arya menjadi pembimbing Mbak Dinda. Syukurlah kalau begitu. Pak Arya harus membantu Mbak Dinda. Mendorong sepenuhnya agar Mbak Dinda bisa lulus secepatnya." "Secepatnya gimana Pak Rudy, orang jadwal sidang juga masih tetap, tiga bulan. Tidak berubah." "Ya maksud saya, di sidang besok, Mbak Dinda bisa lulus, nggak seperti kemarin, Pak Arya." Arya hanya tersenyum. "Tugas berat ini." Rudy tampaknya paham dengan maksud. "Tidak, Pak Arya. Jika Pak Arya melakukannya dengan penuh cinta dan kasih sayang, pasti hasilnya juga bagus." "Bercanda, Pak Rudy. Saya akan membantu sebisa saya, selebihnya