Share

9. Spesial dan Istimewa

Mita mulai menjalankan mobilnya, kembali menuju fakultasnya, menemani Dinda menyerahkan skripsi kepada Arya. 

"Bawa berapa skripsi, Din?"

"Satu. Emang harus bawa berapa?"

"Biasanya pembimbing gua minta dua, tapi mungkin Pak Arya beda."

"Semoga beliau tidak rewel seperti sebelumnya."

Mobil itu akhirnya berhenti di halaman depan kampus Fakultas Ekonomi. Mita ikut turun tapi tidak ikut Dinda masuk ke ruangan dosen. Ia ada perlu di bagian administrasi.

Tok.Tok. Tok.

Dinda melirik arloji di tangan kanannya sembari berdiri tepat di depan pintu ruangan Arya, menunggu jawaban dari dalam. Angka di arlojinya menunjuk ke angka tujuh. Terlambat lima menit dari yang seharusnya. 

Ceklek.

Pintu perlahan terbuka, menampakkan wajah putih Arya tanpa senyum. Rasa bersalah tiba-tiba datang menyergap Dinda. Mungkin saja dosen di depannya ini sangat disipiln dalam waktu sehingga telat satu menit saja akan menjadi masalah yang berkepanjangan.

"Silakan duduk." Arya tidak menatap ke arah Dinda sedikit pun.

Suara Arya terdengar sangat berbeda dengan tadi pagi. Siang ini suara itu begitu dingin dan tidak bersahabat.

Dinda menurut. Ia menarik pelan kursi di depannya, lalu mendudukkan tubuhnya dengan sangat hati-hati seperti takut jika gerakannya itu, akan menimbulkan suara yang akan semakin merusak suasana sang dosen.

Lima menit berlalu. Dinda masih duduk diam menanti sepatah dua-patah kata dari dosen pembimbingnya yang baru. Sayangnya, hingga menit ke sepuluh, pria berwarjah putih itu tetap diam sambil terus membaca sesuatu di ponsel miliknya.

Suasana hening itu pecah gara-gara ponsel Dinda yang berdering tiba-tiba, membuat Arya mengangkat wajahnya, dan memandang Dinda dengan tatapan menusuk Dinda langsung menegakkan punggung tubuhnya, tangannya bergerak mencari ponsel yang ada di dalam tas ranselnya.

Panggilan dari Mita.

Mengabaikan tatapan tajam Arya, Dinda menekan tombol hijau.

"Ada apa?" Dinda menjawab  panggilan Mita sambil berbisik.

*Lu ada dimana? Masih di ruangan Pak Arya?

Suara Mita begitu nyaring membuat Dinda terpaksa menjauhkan ponsel itu dari telinganya. 

"Lu pulang duluan aja deh. Bye-bye." Dinda cepat-cepat mengakhiri percakapan itu.

*Buruan lu kenalin pak dosen  sama bokap-nyokap lu, Din. Gua tunggu  undangan lu.

Klik. Dinda segera memasukkan kembali ponselnya ke dalam tas.

"Sudah?" Arya ternyata masih memperhatikan Dinda sejak gadis itu mengambil ponselnya.

Dinda menggangguk cepat seraya tersenyum kikuk. Ia tidak menyangka jika sang dosen ternyata masih terus menatapnya.

"Ada janji sore ini?" 

Dinda agak terkejut dengan pertanyaan Arya. "Tidak ada, Pak."

"Bagus."

"Bagus?" Dinda tidak mengerti.

"Berarti kita segerakan saja diskusinya."

"Diskusi?"

"Jelaskan semuanya. Mulai dari tahapan kamu menyusun proposal sampai penulisan bab akhir skripsi kamu."

"Sekarang, Pak?"

"Mau kamu kapan? Nanti malam?"

"Oh, tentu tidak, Pak. Masa iya kita diskusi malam-malam di kampus. Mana berani saya, Pak."

"Kan ada saya." 

"Iya, Pak. Memang ada Bapak. Tapi kan Bapak pasti pulang dulu. Pamit sama istri dan anak-anak, baru datang kemari lagi. Nah, saya nungguin Bapak berapa lama sampai Bapak tiba di sini lagi? Mana saya nungguin sendiri lagi."

Suara Dinda mirip dengan seseorang yang sedang berkeluh kesah.

"Saya belum berkeluarga, jadi saya punya banyak waktu untuk meladeni kamu."

Dinda langsung terbatuk. Kata meladeni yang diucapkan sang dosen sangat mengganggu dirinya, dan sangat tidak baik bagi pikiran dan daya khayalnya.

"Hmm, maksud saya, kita bisa mendiskusikan skripsi kamu dengan leluasa." Arya menggaruk kepalanya yang mendadak gatal. Kenapa sih mulutnya selalu saja mengucapkan kata-kata yang menjurus, setiap kali berhadapan dengan gadis ini

"Oh. Bagaimana dengan pacar, Bapak? Tunangan? Saya kan tidak mau jadi kambing congek. Saat saya menjelaskan alasan pemilihan judul, Bapak nanti malah sibuk sendiri dengan pacar atau tunangan bapak itu." 

"Mengapa kamu justru yang menginterogasi saya? Saya kan sudah menjelaskan kalau saya tidak terikat dengan siapa pun?!" Arya akhirnya kesal juga. Niat hati ingin menginterogasi, tapi justru dirinya yang diinterogasi secara tidak langsung oleh mahasiswinya.

Suara Arya yang tiba-tiba meninggi dan terdengar begitu galak, membuat nyali Dinda ciut seketika. "Baik, Pak." Gadis itu kini memilih menunduk. Mana berani dia beradu tatapan dengan sang dosen yang kini terlihat sangat ingin memakannya.

Tok. Tok. Tok.

Terdengar ketukan berulang. 

"Masuk." Tanpa pikir panjang Arya mengijinkan orang yang mengetuk pintu ruangannya untuk masuk.

"Maaf, Pak. Saya mau menyerahkan skripsi saya." Mahasiswa itu melirik ke arah Dinda yang masih duduk sambil menundukkan kepalanya.

"Kamu letakkan saja di meja sana. Akan saya baca besok." 

"Baik, Pak. Kalau begitu saya permisi, Pak."

Ruangan kembali sunyi. Baik Arya dan Dinda sibuk dengan pikirannya sendiri-sendiri. Arya kembali sibuk dengan ponselnya, sedang Dinda kini bermain dengan jari jemarinya, menunggu dengan rasa bosan yang mulai datang menghampirinya.

Suara ketukan kembali terdengar. Dan Arya kembali mengijinkan sang tamu untuk masuk dan mengatakan keperluannya. Hal ini berulang sampai tiga kali.

Saat mahasiswa yang datang terakhir kali menyerahkan skripsinya, dan hendak  berpamitan,  Arya kembali memanggil mahasiswa itu. "Tunggu dulu!"

Arya menyandarkan punggungnya ke punggung kursi, sambil meletakkan kedua tangannya di belakang kepalanya.

"Iya, Pak?"

"Katakan pada semua yang baru ditransfer bimbingannya ke saya, skripsinya dikumpulkan ke Pak Rudy di ruang administrasi rektorat. Tidak perlu satu per satu mendatangi ruangan saya seperti ini. Hanya orang tertentu saja yang boleh memasuki ruangan saya saja. Mengerti? "

"Baik, Pak."

Dinda diam menyimak. Mengapa begitu? Mengapa hanya dirinya yang dituntut menjelaskan skripsinya? Dinda melirik-lirik ke arah Arya secara sembunyi-sembunyi. Ingin bertanya tapi ia takut.

"Mengapa? Kamu heran yang lain tidak seperti kamu? Menceritakan detil mulai proposal sampai skripsi?" Arya menangkap lirikan Dinda. Wajah tidak terima Dinda jelas terlihat dan itu membuat Arya merasa gemas.

Dinda tidak berani bergerak dan menjawab. Ia takut mulutnya akan seperti sebelumnya. Berbicara terus tanpa bisa direm. Akan tetapi ia juga penasaran mengapa dirinya mendapat perlakuan berbeda yang sangat tidak mengenakkan seperti ini?

"Mau tahu jawabannya?"

Dinda bergeming. 

"Karena kamu spesial dan istimewa."

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status