Share

7. Pergantian Dosen Pembimbing

Hari ini, Dinda membawa mobil SUV milik Dani. Ia terburu-buru, sampai akhirnya salah mengambil kunci kontak mobil. Mita mengirim pesan jika ada perubahan jadwal mata kuliah dan dosen pembimbing untuk semester ini.

Dinda menjadi penasaran. Apakah dosen pembimbingnya juga akan diganti? Ia melangkah dengan terburu-buru hingga hampir  jatuh tersungkur oleh anak tangga di depan gedung utama kampusnya.

"Pagi, Mbak Dinda," sapa ramah satpam kampus Fakultas Ekonomi. "Belum sarapan ya, Mbak?"

Dinda hanya menyengir kuda. "Pagi, Pak. Belum, Pak. Bapak mau ntraktir saya? Boleh."

Satpam yang bernama Fredi hanya tersenyum lebar. "Mencari siapa, Mbak?"

"Jadwal. Katanya ada pergantian dosen pembimbing ya, Pak?"

"Oh, itu. Keliatannya begitu. Dari tadi sudah banyak yang ke sana." Fredi menunjuk ke arah depan area ruang dosen.

Dinda langsung mengikuti arah yang ditunjukkan Fredi. "Oke. Saya ke sana dulu ya, Pak."

Dinda berusaha menyeruak kerumunan di depannya, sedang kedua netranya berusaha membaca kertas pengumuman yang terpasang di papan pengumuman. Sejenak netra Dinda terpaku pada satu nama yang tertera di sebuah kolom, di samping kolom yang tertera namanya. 

Dinda menahan napasnya. Ia mengerjap lalu kembali membaca pengumuman itu. Ada desiran aneh  yang kemudian mengalirkan sensasi dingin menyelinap di dalam hatinya. Ini pasti sebuah lelucon usil. Dinda kembali menatap papan pengumuman. Berulang kali ia membaca tapi huruf-huruf itu tidak berubah.

"Huaaaa!" Sebuah teriakan keras dan tepukan berulang di pundaknya, membuat Dinda berjingkat ke belakang.

"Ciiyeee! Kabul nih doa gua semalam. Pucuk dicinta ulam tiba. Lu akhirnya punya waktu berduaan sama doi." Bisikan Mita terdengar begitu nyaring di telinga Dinda.

Wajah Dinda menjadi tegang. "Ini hasil perbuatan lu?" Dinda menatap tajam Mita.

Dan dengan cepat Mita menggelengkan kepalanya. "Gua belum bertindak apapun. Baru berdoa doang semalam sebelum tidur."

Di saat keduanya kembali memandang ke papan pengumuman, tiba-tiba seorang mahasiswa ke luar dari ruangan dosen.

"Yang bimbingannya Pak Arya, disuruh menghadap sekarang."

Suara itu bagai petir menyambar Dinda. Ia merasa tubuhnya bagai disengat ribuan lebah. Wajahnya menjadi kaku dan tangannya menjadi dingin. Hatinya pun mulai berdetak tidak beraturan.

"Sana, gih. Doi  udah nungguin tuh." Mita menyikut lengan Dinda, tapi begitu melihat begitu banyak mahasiswa yang berjalan menuju ruangan Arya, gadis itu justru mengajak Dinda untuk menjauh sejenak dari komplek ruangan dosen itu.

"Ntar aja ke sananya. Kalau rame begini justru kalian nggak bisa leluasa ngobrolnya."

Dinda menggeleng. "Lebih baik sekarang aja. Nggak papalah nggak leluasa. Yang pentingkan gua setor muka dulu."

"Loh gimana sih lu, Din? Ni kesempatan lu buat bikin first impression ke doi. Biar doi inget terus sama elu."

"Tsk. Yang ada gua malah gak konsen ntar." Dinda melangkah meninggalkan Mita yang tampak kecewa usulnya ditolak. 

Sepanjang jalan menuju ruangan Arya, perasaan Dinda berkecamuk. Ada rasa senang akhirnya ia bisa bebas dari dosen pembimbingnya yang sangat menyebalkan itu, namun kini ia merasa tidak nyaman karena harus berkonsultasi dengan pria tampan yang digandrungi banyak mahasiswi di kampusnya. Apakah dirinya bisa selamat dari godaan maut di hadapannya itu?

"Dinda."

Tiba-tiba namanya dipanggil dari dalam ruangan. Ternyata mereka harus menunggu panggilan dari sang dosen baru bisa menghadap dan memperkenalkan diri masing-masing.

Dinda masuk dengan langkah tegas tapi tidak dengan hati yang tenang. Perasaaannya tengah kebat-kebit tidak karuan. Baru kali ini ia berhadapan langsung, face to face dengan sang dosen.

"Nama kamu benar Dinda .... "

"Dinda Erdiana Maharani, Pak."

Arya mengangkat wajahnya. Ia cukup terkejut melihat siapa yang sedang berdiri di depannya dan tengah menatapnya lekat. Arya mulai merasa sedikit kikuk. Ia tidak pernah membayangkan jika gadis yang sudah beberapa hari ini mengganggu pikirannya, kini menjadi mahasiswi bimbingannya.

"Oh, iya. Silakan duduk." Arya berusaha bersikap tenang.

Dinda menarik ke belakang kursi di depannya. Ia tidak mengalihkan tatapannya sedikit pun dari wajah Arya, dan Arya merasa sedikit salah tingkah ditatap Dinda sedemikian rupa.

"Kamu bawa skripsi kamu?"

Dinda menggeleng. "Tidak, Pak. Saya tidak tahu kalau ada pergantian dosen pembimbing. Saya pikir itu hanya berlaku untuk yang belum maju sidang saja."

Arya mengangguk. "Sebentar. Apa dulu kamu pernah saya uji?" Arya mengetes Dinda, apakah gadis itu mengingat dirinya sebagai salah satu pengujinya.

"Kata teman saya, iya, Pak."

"Loh, kok kata temannya? Kamu sendiri tidak ingat siapa saja tim penguji kamu?"

Dinda menggeleng tapi kemudian mengangguk. "Waktu itu saya hanya ingat wajahnya dia." Dinda merasa sangat melas menyebutkan mantan pembimbingnya.

"Dia?" Arya mengerutkan alisnya.

"Eh, maaf, Pak. Maksud saya, nama yang sangat malas saya sebutkan."

"Maksudnya?" Arya semakin menajamkan tatapannya ke wajah Dinda. 

"Maaf, Pak. Maksud saya Bu Mega." Dinda akhirnya menyebut nama Mega tapi tidak dengan nama lengkapnya.

"Kamu dendam dengan beliau?" 

"Jawaban tidak jujur, tidak dendam. Kalau mau jujur, iya, Pak."

Arya tidak lagi bertanya. Ia bisa memaklumi perasaan Dinda. "Jika benar kamu pernah saya uji, harusnya skripsi kamu juga ada di saya atau ..."

"Tidak, Pak. Skripsi hanya saya serahkan saat ujian."

"Kalau begitu, kamu harus datang menghadap saya lagi besok pagi."

Dinda terkejut mendengar permintaan Arya.

"Kamu sekarang menjadi mahasiswi bimbingan saya. Jadi, sudah selayaknya sebagai dosen pembimbing kamu, saya harus tahu seperti apa skripsi yang sudah kamu susun. Kamu harus menyerahkan skirpsi kamu untuk saya pelajari lebih lanjut, agar besok ketika kamu maju sidang, saya bisa memberi sedikit bantuan saat kamu mengalami kesulitan."

Dinda terkesima. Ia tidak menyangka jika dosen pembimbingnya yang baru begitu perhatian padanya. Emang boleh seperhatian itu?

"Besok pagi ya, Pak?" Dinda meminta penegasan.

"Nanti malam juga bisa." Arya keceplosan.

"Eh?"

"Oh, maksud saya lebih cepat lebih baik."

"Oh, iya, Pak. Siap." 

"Sekarang kamu boleh keluar."

"Terima kasih, Pak." Dinda undur diri diiringi anggukan Arya.

Hati Dinda meleleh seketika. Andai tahu begini, ia akan mengajukan permintaan pergantian dosen pembimbing sejak dulu. 

"Eh. Sebentar." Arya menghentikan langkah Dinda sebelum gadis itu membuka pintu ruangannya.

Dinda memutar tubuhnya. "Iya, Pak?"

"Kamu catat nomor ponsel saya yang tertera di papan pengumuman. Hubungi saya jika kamu ingin mengkonsultasikan sesuatu. Hanya yang terkait dengan skripsi kamu saja, bukan curhatan tentang pacar kamu."

"Nggak akan, Pak. Saya belum punya suami." Kini giliran Dinda yang keceplosan. Ia langsung menutup mulutnya. "Maaf, Pak. Becanda. Permisi, Pak." Dinda langsung buru-buru membuka pintu ruangan Arya dan melesat keluar. Wajahnya sudah panas menahan malu.

Kebalikan dengan Arya. Ia tersenyum lebar. Pertanyaan jebakannya ternyata berhasil. Status Dinda yang tidak memiliki pacar atau tunangan, diketahuinya tanpa perlu repot-repot melakukan penyelidikan. Setidaknya, ia tidak punya saingan untuk sekarang ini.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status