Share

6. Bujang Lapuk

Dinda terkejut melihat siapa yang tengah bercengkerama dengan mamanya. Ia langsung berpikir untuk meninggalkan tempat itu, kembali ke mobilnya. Tapi sayang, sang mama memanggil namanya, membuat Dinda bingung sesaat. 

Untungnya, seseorang datang menyelamatkan dirnya. Mita tiba-tiba menubruk dirinya seraya berteriak heboh, membuat Sari mengurungkan niat untuk memanggil putri semata wayangnya untuk kedua kali. 

"Dindaaaa!!!!" Mita menubruk Dinda seraya mengguncang tubuh Dinda. 'Lu mau dandan di sini juga? Datang ke nikahan itu juga?'

Dinda yang masih terkejut dengan pria muda yang tadi sempat bertukar pandang dengannya, menjadi bingung dengan pertanyaan Mita.

"Dandan? Nikahan? Gua gak paham sama yang lu omongin, Mit. Sweer!!" Dinda mengangkat dua jari telunjuk dan jari tengahnya, membentuk huruf 'V'. Dinda lega karena dirinya tidak perlu menghampiri sang mama, dan ikut dalam pembicaraan basa-basi yang ia tidak paham sama sekali. 

"Loh? Kalau bukan itu, terus ngapain lu di sini?"

"Nemenin mama make sanggul. Nggak ada yang lain." Dinda diseret Mita ke arah kantin mini yang ada di salon itu.

"Yaaa... Kirain lu juga ikutan. Kalau lu ikut kan seru nih. Bakal banyak yang akan terpana dengan kecantikan elu." Mita benar-benar ingin melihat sahabatnya itu dandan barang sehari, mengingat Dinda lebih senang berpenampilan sederhana, apa adanya. Hanya sapuan bedak tipis dan lipgloss berwarna pink muda yang mewarnai bibirnya.

"Ogah, ah. Itukan tugas mama papa gua. Gua nggak ada urusan. Mending tidur sama guling ketimbang ke sana."

Dinda tidak sadar jika ada seseorang yang tengah memperhatikannya dari jauh. 

"Lagi liat siapa?" Anggun menghampiri Arya yang tengah begitu serius menatap Dinda.

"Oh-eh, Mama. Nggak, Ma. Bukan siapa-siapa. Heran aja. Ini salon keren juga ya konsepnya. Ada mini kantinnya juga. Sering ke sini ya, Ma?" Arya menjawab sambil tertawa kecil. Ia berusaha bersikap wajar, meski jujur, dirinya sendiri masih begitu terkejut melihat mahasiswinya, ada di tempat yang sama dengannya saat ini. 

Anggun mengangguk pelan.

"Mama sudah selesai?"

"Sudah. Ayo, kita pulang. Nanti papa kamu uring-uringan lagi." Anggun berjalan mendahului Arya ke luar dari salon itu.

-0-

Dinda menjatuhkan tubuhnya di sofa ruang tamu, sedangkan Sari segera masuk ke dalam kamar berganti pakaian dan merias wajahnya. Broto sendiri sudah siap sejak tadi dan kini tengah membaca majalah bisnis.

"Memangnya siapa yang nikah sih, Pa? Kok banyak banget tadi yang dandan di salon?"

"Rektor punya mantu."

"Oh. Rektor mana?"

"Rektor kampus kamu itu."

"Hah? Kok Dinda nggak diundang?"

"Ngapain ngundang kamu? Bocil labil. Ntar malah ngerusak acara." Tiba-tiba Dani datang dan duduk di seberang Dinda.

"Enak aja bocil labil. Primadona kampus nih. Sampai-sampai Si Dosbing ogah ngelulusin." 

Dani tergelak. "Gitu kok sombong. Malu kali."

"Ngapain malu. Habis ini kan mau nikah. Iya kan, Pa?" Dinda melirik Broto, berharap sang papa mendukung sandiwaranya.

Broto menganggukkan kepalanya, membuat Dani tercengang.

"Serius, Pa? Pria mana yang mau sama bocil labil begini?" Dani benar-benar tidak percaya.

"Yang jelas dia pria tulen, cakep dan pintar seperti saya." Dinda melirik sebal ke arah kakaknya itu. Memangnya dia nggak pantes dapat pria tampan dan mapan?

"Nggak percaya. Berani taruhan. Doi pasti bujang lapuk yang umurnya udah kepala empat, yang perutnya buncit ke depan, kepala botak di bagian tengah." Dani terpingkal dengan bayangan yang ia ciptakan sendiri. 

Bantal kursi sukses mendarat di wajah Dani. "Taruhan diterima. Kalau sampai doi ternyata sangat tampan dan seksi, kakak harus beliin Dinda aipong terbaru."

"Deal." Dani tanpa pikir panjang menyetujui permintaan Dinda. "Berlaku juga sebaliknya, kalau tebakan kakak benar, berarti kamu yang harus beliin aipong itu buat kakak."

"Deal!"

-0-

Dinda menunggu kedatangan Mita di kantin kampus. Kepalanya pening begitu sadar dengan harga aipong yang dijadikan taruhan antara dirinya dengan Dani.

"Gimana kalau Dani bener? Gimana kalau emang yang mau sama gua ternyata pria buncit kepalanya botak di tengah? Mati gua!" Dinda menenggelamkan wajahnya diantara lipatan tangannya, di atas meja kantin.

Sepuluh menit berlalu, yang ditunggu Dinda akhirnya datang. "Ngapain lu, Din? Migrain? Si Mona datang nge-ganggu lagi?" Mita mencolek bahu Dinda.

"Eh, Mit. Lu punya kenalan cowok yang lagi nyari calon istri nggak? Kenalin ke gua dong?"

"Hah?!" Mita jelas mendelik. "Lu ngomong apaan sih, Din? Nggak paham gua."

"Gua lagi nyari calon suami," jawab Dinda lugas, terdengar sangat jelas di telinga Mita, membuat gadis berambut sedikit ikal sepanjang bahu itu menarik sebal ujung rambut belakang Dinda.

"Apaan sih, Mit?! Sakit tahu nggak?!" 

"Lah elu, pagi cerah begini, becandanya nggak jelas."

"Loh, gua serius ini. Serius! Gua udah bikin sumpah, kalau sampai sidang kedua gua kagak lulus, gua mending merit sama pria yang ngajak gua nikah duluan."

Mita kembali dibuat terbelalak mendengar perkataan Dinda. "Lu serius?"

Dinda mengangguk mantab. "Semakin serius lagi karena Dani ngajakin gua taruhan. Dia taruhan kalau calon suami gua bujang lapuk, perut buncit, kepala botak."

Mita kali ini terbahak mendengar itu. "Jadi, sekarang lu takut?"

"Jelaslah! Gimana-gimana kan gua masih waras, Mit. Masih doyan pria tampan yang mapan."

Mita langsung terdiam. Ia seperti sedang memikirkan sesuatu. Sebuah nama tiba-tiba melintas di benak Mita. "Lu mau nggak pedekate ma Pak Arya?" Mita berbisik di telinga Dinda.

"Pak Arya?? Ogah! Lu bilang doi udah pernah sama  Si Mona. Masa iya gua dapat bekas orang, Mit. Yang masih ting-ting, dong." Dinda langsung protes begitu mendengar nama sang dosen tampan.

Mita berdecak. "Kan itu baru rumor, Din. Gua juga kagak tahu beliau nerima tawaran Si Mon-Mon atau nggak. Yang gua tahu, beliau masih single. Background keluarganya juga jos. Kaya, Cakep. Apalagi ya?" Mita mengetuk-ketuk keningnya dengan jari telunjuk.

"Yang lain."

"Adanya cuma itu."

Dinda diam. 

"Ketimbang Dani menang. Lu beneran dapat bujang lapuk berumur empat puluh ke atas, dengan perut buncit dan kepala botak di tengahnya?" 

Dinda menghela napas, dan Mita menganggap jika sahabatnya itu setuju dengan idenya.

"Oke. Gua akan mulai mencari info tentang Pak Arya. Secepatnya, gua akan usahain lu berdua bertemu empat mata."

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status