Share

5. Gara-gara Motor

Dinda terpaksa menunggu kedatangan Seno. Seno mengaku sedang membeli rokok di warung depan kampus saat ditelpon Dinda. Setengah jam berlalu, tapi batang hidung Seno belum juga tampak. Dinda mulai uring-uringan. Ia sendirian di kampus. Mita sudah pulang lebih dulu karena harus mengantarkan mamanya berobat.

Dinda kembali mencoba menghubungi Seno, setelah tujuh kali panggilannya ditolak. Kali ini, nada sambung terdengar cukup lama.

“Halo.” Akhirnya terdengar suara di ujung sana, akan tetapi suara yang terdengar bukanlah suara Seno.

“Ha-lo?” Dinda menjadi ragu-ragu. Ia kembali melihat nomor yang ia hubungi. Namanya tidak berubah. Tetaplah Seno sahabatnya, tapi mengapa suaranya lain? Apakah telah terjadi sesuatu pada sahabatnya? Apakah Seno telah mengalami kecelakaan dan sekarang yang menjawab telponnya adalah orang yang sedang berusaha menolong Seno?

“Iya, halo.” Suara itu benar-benar terdengar asing di telinga Dinda. “Apakah Seno baik-baik saja? Apakah ini orang lain? Atau …” Dinda tidak bisa melanjutkan kalimatnya. Otaknya heng seketika.

“Sedang mencari siapa?” Arya sengaja bersikap seolah tidak tahu maksud pertanyaan Dinda. Mendengar suara Dinda yang begitu lembut di telpon, membuatnya ingin berlama-lama mendengar suara gadis itu.

“Anu- Itu- Kamu siapa?” Dinda akhirnya tidak dapat menahan kesabarannya. “Apa teman saya baik-baik saja? Tolong kirim lokasi biar saya segera meluncur ke sana.” Perasaan Dinda sangat kacau. Apa yang akan ia katakan pada orang tua Seno jika sampai bocah itu mengalami kecelakaan.

“Teman? Apakah kamu pemilik motor V***a putih?”

Dinda menganggukkan kepalanya dengan cepat, lupa jika mereka tidak saling berhadapan.

“Bukan?” suara di ujung meminta penegasan.

“I-I-Iya. Itu motor saya. Katakan ada dimana? Teman saya – Apakah dia terluka parah?”

Ingin rasanya Arya tertawa keras, tapi ia berusaha dengan keras untuk menahannya.

“Temanmu sedang bersembunyi. Dia takut denganmu, karena sudah menjadi teman yang tidak amanah.”

“Mak-Maksudnya?”Dinda menjadi semakin bingung. 

“Kamu tahu? Ia menawarkan motor ini kepadaku dengan harga yang sangat murah.” Arya semakin menjadi-jadi. Ia  enggan berhenti menggoda Dinda.

“APAAAA!!!!” Teriak Dinda begitu keras, membuat Arya segera menjatuhkan ponselnya. Telinganya menjadi pekak seketika.

‘Sialan! Gadis ini suaranya menggelegar sekali’, gumam Arya langsung cepat-cepat memungut kembali ponselnya.

Panggilan itu terhenti. Dinda menatap kesal layar ponselnya yang kini berwarna hitam. Ia kembali mencoba menghubungi Seno, tapi panggilan dari nomor asing lebih dulu masuk ke ponselnya.

“Dinda?” suara di sana menyapa telinga Dinda yang masih emosi mendengar penjelasan orang asing yang berbicara di ponsel Seno.

“IYA. ADA APA?!” Suara Dinda kini terdengar begitu galak. “Kamu siapa?”

“Aku akan mengantarkan motormu. Tetap di  tempat kamu berada sekarang. Jangan pindah sejengkal pun.”

“Tapi –“

Telpon itu telah mati. Dinda berdecak kesal. Ia menyebut nama Seno berulang kali dengan penuh amarah. “Apa yang sebenarnya telah terjadi dengan motor gua?”

Dinda mengangkat wajahnya yang sejak tadi tertunduk. Sebuah cahaya berwarna terang menyoroti wajahnya, membuatnya harus sedikit menyipitkan netranya agar dapat mengenali si pengendara.

Sekian menit berikutnya, motor itu sudah berhenti tepat di hadapannya. Dinda ternganga begitu melihat sosok yang tengah turun dari motornya.

‘Bukannya itu dosen baru yang pernah gua ajak ….’ Dinda tidak meneruskan kalimatnya.

“Terima kasih atas pinjamannya.” Arya memberikan kunci motor kepada Dinda yang masih duduk tercengang menatap ke arahnya.

“Bagai-mana bisa … Mengapa bisa?” tanya Dinda tak habis pikir.

“Saya tadi terlambat datang rapat di rektorat. Begitu melihat motor ini, saya langsung meminjam tanpa bertanya dulu siapa pemiliknya. Terima kasih ya… Bensinnya sudah diisi full.”

Arya meninggalkan Dinda yang masih duduk terdiam, menatap punggungnya yang mulai menjauh dari tempat Dinda berada. Arya berjalan sambil bersiul riang. Mimpi apa dia semalam hingga bisa berbicara dengan gadis yang akhir-akhir ini memenuhi kepalanya.

-0-

Dinda berguling ke sana kemari di atas kasurnya. Ia masih tidak percaya jika dirinya hari ini berbicara empat mata dengan pria tampan yang tempo hari ia ajak menikah.

“Emak-Emak!!!  Semoga tuh dosen nggak  ingat kalau  gua yang kemarin teriak-teriak  ngajakin dia nikah.” Dinda menutupi wajahnya dengan bantal. “Aaaargh! Kenapa sih ini mulut sembarangan aja kalau ngomong? Kalau udah begini, siapa coba yang susah? Kan gua juga jadinya yang menanggung malu.”

Dinda menjauhkan bantal yang sebelumnya ia letakkan di wajah. Ia kini menatap langit-langit kamarnya. Wajah sang dosen tiba-tiba tergambar jelas di sana. Tiba-tiba wajahnya terasa panas. Ia mendadak merasa malu.

Bukankah Mita kemarin mengatakan jika dosen tampan itu masuk dalam tim penguji yang mengujinya tempo hari? Mengapa dirinya bisa tidak menyadarinya? Orang setampan itu luput dari penglihatannya? Apa yang sedang dia pikirkan waktu itu? Bukankah itu berarti dosen tampan itu juga mengajukan pertanyaan padanya?   

‘Oh, Tuhan. Malu  gua. Satu-satunya yang nggak lulus sidang, dan dosen tampan itu pasti menyaksikan semua prosesnya.’ gumam Dinda pada dirinya sendiri. ‘Tidak!!!’. Lagi-lagi, Dinda menenggelamkan wajahnya di bantalnya.

Tok. Tok. Tok.

Suara ketukan di pintu kamar mengejutkan Dinda. Ia segera bangun dan buru-buru membuka pintu kamar.

“Ada apa, Ma?”

“Astaga, Nak! Ada apa dengan rambut kamu? Mengapa mengembang kaku begitu?” Sari terkejut melihat penampilan putrinya.

“Nggak kenapa-kenapa, Ma. Ada apa, Ma? Perlu bantuan Dinda?” Dinda segera merapikan rambut ala kadarnya.

“Mama mau pergi ke salon. Ada undangan nikahan nanti malam. Kamu bisa kan nganterin mama ke salon?”

“Nggak bisa dandan sendiri ya, Ma?”

“Mama lagi pengen pake sanggul, jadi harus ke salon. Ntar make up pake sendiri.”

“Oh, cuma nyanggulin rambut. Oke deh, tapi Dinda mandi bentar ya, Ma. Gerah banget soalnya.”

-0-

Sedan putih perlahan memasuki area parkir salon langganan keluarga Broto. Sari keluar lebih dulu sedangkan Dinda memarkir mobil. Di luar perkiraan, salon itu ternyata cukup ramai. Untungnya, Sari sudah membuat janji jadi masih ada waktu cukup untuk berdandan di rumah.

Saat Dinda menjejakkan kakinya di lantai marmer berwarna putih, ia seperti menangkap bayangan seseorang, yang membuat detak jantungnya tiba-tiba berdetak kencang. Kepalanya berulang kali menggeleng, menolak kenyataan.

Sayangnya, kenyataan adalah sesuatu yang tidak dapat Dinda pungkiri. Ia melihat sang mama sedang berbincang dengan seorang wanita cantik, seumuran Sari, dengan seorang pria muda di samping mereka. Pria itu tersenyum lepas, sambil menggaruk kepalanya.

Sari mencari-cari putri semata wayangnya. Ketika sosok yang ia cari sedang terpaku melihat ke arahnya, Sari langsung melambaikan tangannya.

“Dinda…”

Pria yang tadi tersenyum lepas langsung terkejut mendengar nama itu. Netranya mengikuti ke arah mana wanita cantik itu melambaikan tangannya.

‘Bukankah itu …”

Kedua orang muda itu sontak menatap satu sama lain.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status