Share

4. Diabaikan

Broto Handjoyo sudah tiba di tempat pertemuan bersama Sari. Mereka masih menanti kedatangan seseorang. Tidak lama kemudian, sosok yang mereka nantikan tiba. Broto yang belum pernah bertemu sebelumnya, tidak mengenali ketika seorang  pria muda melangkah mendekati tempat dia berada.

“Selamat Siang. Maaf saya datang terlambat.” Arya menghampiri Broto, dan mengajak pria paruh baya itu untuk berjabat tangan. “

Wajah Broto begitu terkejut melihat kedatangan Arya. “Kamu …?” Ia sampai tidak dapat melanjutkan kalimatnya.

“Iya, Om. Saya Arya. Putra Om Dermawan.” Senyum manis merekah di wajah Arya, tanpa ia sadari.

“Oh. Ya-ya-ya.” Broto  tertawa lebar, menepuk punggung tangan Arya berulang kali. “Kapan kembali ke Indonesia?”

“Sudah lama, Om. Tiga tahun yang lalu. Saya ambil kuliah di Indonesia, tapi mengambil kursus sebentar di Inggris.”

“Oh. Bagus-bagus. Tau begini, mengapa tidak makan malam di rumah kita aja ya, Ma?”

“Lain kali juga nggak pa-pa, Pa. Toh juga ke depannya akan sering ke rumah. Kalau anak papa itu setuju dengan usulan ini.’

Arya diam menyimak. Memang sebenarnya apa maksud pertemuan mereka malam ini? Papanya sendiri tidak mengatakan apa-apa. Dirinya hanya disuruh bertemu dengan teman lamanya, dan mendengar saja apa yang dikatakan pria paruh baya itu kepadanya jika bertemu nanti.

-0-

Sari menyiapkan kotak makan, lalu menata roti panggang yang sudah ia beri irisan keju dan beberapa lembar daging asap. Ia juga meletakkan kroket, tahu isi, dan sosis solo di dalamnya.

“Ya elah. Kok Dinda merasa balik jadi anak TK sih?” Dinda melihat isi kotak makan yang begitu besar. “Ntar kalau pada minta gimana?” selorohnya sambil mencomot roti isi daging asap.

“Ya kasih aja. Kan nanti di rumah bisa bikin lagi.”

“Padahal seharian Dinda bakalan ada di kampus, Ma. Kapan bikinnya?”

“Ngapain ngendon di sana? Jangan terlalu keras. Beri sedikit waktu untuk diri kamu sendiri beristirahat.” Sari mulai memberi petuah.

“Iya, Ma. Dinda bawa motor ya, Ma. Biar gak ribet pas kena macet.”

Sari mengangguk. “Ingat aja pesan Mama.  Yang jelas kamu harus hati-hati. Jangan terlalu diforsir.”

“Siap, Bos.”

-0-

Sudah hampir dua jam lebih, Dinda berkutat di depan tumpukan diktat-diktat besar. Yang terlihat hanya pucuk kepalanya saja, sedangkan wajahnya hilang di balik tumpukan diktat-diktat itu. Bibirnya komat kamit sedangkan jarinya menari lincah di atas keyboard laptop hitamnya.

Sesekali Dinda berhenti, meneguk air putih lalu mencomot camilan keripik bawang yang ia letakkan di dalam toples mini.

“Permisi.”

Terdengar suara menyeruak di antara tumpukan diktat di depan Dinda.

“Ya?” Dinda mendongakkan kepalanya ke atas. Gadis itu tampak berpikir sejenak tatkala netranya bertemu dengan netra pria di depannya. Ia seperti pernah melihat wajah di depannya. 

“Buku ini, apakah masih dipakai?”

Netra Dinda mengikuti jari telunjuk pria di depannya, yang berakhir pada sebuah buku tebal bersampul coklat keemasan.

“Kalau mau dipakai dulu nggak pa-pa.” Dinda menarik buku itu kemudian menyerahkan kepada pria di depannya. Dinda tidak sadar dengan siapa ia sedang berbicara.

“Thanks.” Arya menerima buku itu dari Dinda. Gadis ini benar-benar tidak ingat dengan wajahnya. Ada rasa kecewa menggelayut di wajah Arya, baru kali ini ia  diabaikan oleh seorang gadis.

Dinda kembali tenggelam dengan diktat di depannya, mengetik tuts keyboard laptopnya. Bibirnya terus membaca ulang kalimat di dalam diktat itu. Ia sedang berusaha mengingat semua hal yang dibacanya.

Empat jam berlalu, dan Dinda mulai membereskan mejanya. Ia mengembalikan buku-buku besar itu ke  rak semula. Ada kuliah yang harus ia hadiri setelah ini, dan hari ini adalah jadwal presentasi mata kuliah yang diampu dosen manajemen, yang baru minggu lalu mengajar di kelasnya.

Di karenakan jumlah mahasiswa 21 maka hanya ada empat kelompok, yang masing-masing anggotanya berjumlah 5 orang, dan Dinda didaulat menjadi moderator. Presentasi terbagi dalam dua sesi.

Arya menyimak jalannya presentasi. Kedua netranya tidak lepas dari Dinda. Pikirannya justru melayang pada pertemuannya dengan kawan lama papanya, dua hari sebelumnya.  Pembicaraan yang setengahnya masih tidak dimengerti olehnya. Apakah ia mewakili sang kakak atau pertemuan itu untuk dirinya sendiri?

Bagaimana jika menolak? Bagaimana jika hatinya sudah tertaut pada gadis lain?

Arya mengikuti jalannya presentasi dan mulai menilai masing-masing mahasiswanya, termasuk Dinda. Ia mengakui, jika Dinda adalah seorang mahasiswi yang cukup cerdas dan pandai menghidupkan suasana.

Arya berdiri memberikan applause-nya. Ia sangat menikmati presentasi hari ini, dan menurutnya apa yang disajikan masing-masing kelompok sudah bisa mewakili materi bab tiga. Mereka  ternyata sudah memahami isi bab tersebut tanpa perlu ia jelaskan lagi.

Akan tetapi, Arya tetap memberi kesempatan jika masih ada yang memerlukan penjelasan lebih detil lagi. Lagi-lagi, kedua netra jatuh pada wajah cantik Dinda yang menatap ke arahnya  dengan tatapan kosong. Apa gerangan yang sedang dipikirkan gadis itu sekarang?

“Untuk minggu depan, kelas saya liburkan dulu. Saya ada urusan ke luar kota. Saya akan mengirimkan tugas di grup. Kalian kerjakan dan kirim lewat link yang akan saya kirimkan sesuai jadwal mata kuliah saya.”

“Baik,Pak.”

Arya membereskan bukunya, dan melangkah cepat meninggalkan ruangan itu. Ada rapat di gedung rektorat  dan ia sudah terlambat sekitar sepuluh menit. Dengan setengah berlari, Arya berjalan menuju parkiran.

Dilihatnya parkiran begitu padat, sedangkan mobilnya terparkir di tempat paling depan. Ia sudah cukup terlambat. Tanpa pikir panjang, Arya mendatangi sekelompok mahasiswa yang sedang duduk di depan taman kecil di samping parkiran mobil.

“Ini motor siapa?”tanyanya sambil melihat sebuah motor matic yang terparkir tepat di sebelahnya.

“Dinda, Pak.” Seno berdiri dari duduknya. Pemuda itu seperti tidak percaya jika dirinya sedang berbicara dengan dosen yang begitu fenomenal di mata  cewek-cewek kampusnya.

“Saya pinjam dulu untuk ke rektorat. Saya sudah cukup telat untuk hadir rapat di sana.”

“Boleh, Pak. Silakan.” Seno memberi ijin tanpa sepengetahuan Dinda. 

“Kamu miskol saya. Biar nanti saya bisa menghubungi kamu saat rapatnya sudah selesai.”

Sepeda motor matic itu meluncur cukup kencang membuat Seno menahan napas hingga bayangan sang dosen tak lagi terlihat olehnya.

“Gawat, Pak Arya. Doi jago balap juga ternyata.” Mereka berempat menatap kepergian Arya tanpa berkedip.

Keempat orang itu terkesima melihat gaya berkendara Arya, hingga akhirnya sebuah teriakan menyadarkan semua.

“Habis lu, No!” Yuda memukul lengan kanan Seno.

“Hah?”

“Ntar kalau Dinda nanyain motornya gimana?”

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status