Share

2. Frustasi

Sosok tinggi dengan postur ideal berkulit putih melintas di depan ruangan perpus pusat. Kedua netranya terpaku pada seorang gadis yang sedang berdiri, terpaku di depan papan pengumuman, di samping pintu masuk perpus pusat yang berada tepat di belakang gedung rektorat, Universitas Panca Satrya.

Raut wajah gadis itu tidak bisa ditebak.  Namun yang jelas, wajah itu jauh dari kebahagiaan. Ada sorot kecewa di kedua netra gadis itu. Beberapa menit kemudian, gadis itu membalikkan badannya, menatap ke atas langit, lalu menghembuskan napasnya dengan kasar.

Gadis itu kemudian melangkah, berhenti sebentar lalu menendang sebuah kerikil yang kebetulan berada tepat di depannya.

Sosok tinggi itu mengernyitkan keningnya. Ia seperti pernah melihat gadis itu. Bukannya gadis itu yang kemarin dinyatakan sebagai satu-satunya peserta sidang skripsi yang tidak lulus? Bukannya ia yang menjadi salah satu dosen pengujinya?

Saat ia ingin mengikuti dari belakang, tiba-tiba seorang pria menghampiri dan menepuk pundak gadis itu. Sosok putih itu pun lantas mengurungkan niatnya.

“Pak Dosen Arya,” sapa seseorang secara tiba-tiba dari arah belakang.

Pria yang ternyata bernama Arya itu menoleh ke belakang. “Oh, Pak Dedi. Ada yang bisa saya bantu?”

“Jadwal sidang skripsi untuk bulan depan sementara diundur, Pak.“

“Diundur?”

Pria bernama Dedi itu mengangguk. “Pengumuman sudah ditempel di papan pengumuman, baik di rektorat maupun di masing-masing fakultas, termasuk di perpus pusat dan perpus fakultas masing-masing.”

Ingatan sang dosen melayang ke beberapa menit yang lalu. Inikah penyebab wajah murung itu?

“Masih ada selebarannya? Kalau masih ada, saya minta satu.”

“Ada, Pak.” Pak Dedi, staf administrasi rektorat menyerahkan satu lembar pengumuman mengenai pengunduran sidang skripsi dan  jadwal sidang skripsi yang baru. “Ini, Pak.”

“Oke. Terima kasih banyak.” Arya membaca sambil melanjutkan langkahnya yang sempat terhenti.

Mundur dua bulan?? Kedua netra Arya pun melebar , dan condong ke depan. Ia tidak menyangka akan mundur selama itu. Mengapa diundur? Apakah ada rapat atau kegiatan yang mendesak hingga ditunda dua bulan lamanya?

Ia mencoba mencari sosok gadis tadi, tapi sejauh mata memandang ia tidak menemukan sosok yang ia cari. Mungkin gadis itu sudah pulang atau pergi ke suatu tempat. Arya lalu melanjutkan langkahnya. Ia kembali ke gedung perpus,  mengambil beberapa silabus untuk jam kuliah yang diampu-nya, hari ini.

-0-

“Dosa gua apa ya? Kenapa mereka tega mengubah jadwal seenak jidat mereka sendiri?” Dinda duduk  di kursi kantin, meja  yang biasa  ditempati gerombolannya.

Mita diam. Ia tidak berani menjawab. Selain karena memang tidak tahu alasan dibalik pengunduran jadwal sidang ujian, Mita takut jika jawabannya nanti justru menambah kekecewaan sahabatnya.

“Lu nggak makan, Mit?” Dinda melambaikan tangannya ke arah pelayan.

Mita menggeleng. Semula Mita ingin berkeluh kesah soal biaya yang harus dikeluarkan untuk dapat mengikuti wisuda bulan depan. Akan tetapi, melihat Dinda yang seperti ini, ia jadi tidak tega. Kesusahannya tidak sebanding dengan rasa kecewa Dinda.

“Tumben anak-anak yang lain belum pada datang.” Dinda mencari sosok Yuda dan Seno. Celingukan ke arah parkiran motor. “Atau pada naik mobil ya?” Kembali Dinda menyapukan pandangannya ke area parkir mobil.

Sayangnya, ia tidak mendapati dua sahabatnya itu, melainkan sosok lain yang belum pernah ia lihat sebelumnya, setidaknya itu dalam ingatan Dinda. Menyipitkan kedua netranya, Dinda berusaha memperhatikan sosok yang sedang turun dari mobil jeep berwarna coklat tua metalik.

“Wow!! Ternyata ada cowok cakep di kampus ini. Kemana aja gua selama ini?” Dinda terus mengikuti pria putih  berkacamata yang melintas di tengah area parkiran mobil.

“Siapa, Din?” Mita mencoba mengikuti arah pandang Dinda.

“Itu. Cowok pake kemeja lengan panjang putih plus kacamata hitam.” Dinda menunjuk dengan dagunya.

“Ya ampun, Dinda. Lu mainnya emang kurang jauh ya…. Doi kan kemarin yang nguji kita. Namanya Pak Arya. Duduk di sebelah kiri Pak Hasan.  Bu Mega, dosen kesayangan lu, di sebelah kanan Pak Hasan, kalau lu juga lupa.”

“Amit-amit ya kesayangan gua. Musuh mah iya.” Dinda protes keberatan.

“Doi baik tuh. Sempat nanyain ke kita-kita. Pada belajar sama siapa?”

“Nggak lu jawabkan? Bagus.”

“Gua jawab, belajar sama elu. Dinda.”

“Apa?! Semua juga jawab begitu?” Dinda menatap Mita tidak percaya. Bukannya bangga tapi Dinda justru merasa lemas.

“Nah iya kan. Emang kita semua belajar sama elu. Masa iya gua jawab belajar sama Pak Yon kantin?”

“Astaga, Emak! Pantas aja gua kagak lulus. Itu nyonya besar kan benci banget sama gua. Dia nggak terima kalau gua pintar dan cantik. Makanya lu-lu pada dilulusin sedang gua kagak. Niat amat dia ya bikin gua sengsara!!!” Dinda mulai mengomel lagi. Kali ini dengan dendam dua kali lipat.

Mita tidak terima. “Kalau untuk ini, gua nggak bisa bohong, Din. Emang benar karena elu,  kita semua bisa paham dengan skripsi kita, dan semua teori pendukungnya. Masa iya gua nggak mengakui semua kepintaran dan kebaikan lu. Jahat amat gua kalau berani begitu. Sahabat macam apa gua.”

Dinda mengaduk es jeruknya dengan kuat, hingga menimbulkan suara yang cukup mengganggu. Emosinya kembali naik.

“Jadwal diundur. Terus sekarang sudah ketahuan nyonya besar kalau gua beneran pintarnya. Terus kira-kira kapan gua bisa lulus  dari sini, heh?!”

Mita kali ini memilih diam. Melihat Dinda yang galau seperti ini, separuh hatinya tidak tega. “Ketimbang galau mulu, kita hang out aja yuk, Din? Kemana, kek. Bosan juga gua lama-lama di sini.” Mita berdiri dari duduknya.

“Ogah, ah! Gua mending pulang aja. Dah males juga gua ke perpus. Tau diundur begini, gua jadi tambah males.” Dinda membayar es jeruk yang sudah ia seruput habis.

“Ya udah kalau gitu. Bareng gua aja. Gua mau ke rumah tante gua.” Mita menarik tangan Dinda. “Lagian, sekarang napa nggak pernah bawa mobil diri lagi, sih?”

“Males debat sama Bang Jablay. Cerewet aja saban gua pulang sore. Orang dia punya mobil sendiri juga masih aja ngrusuhin punya orang.”

“Hah? Bang Jablay? Sapa dia?” Mita tidak paham siapa yang dimaksud Dinda.

“Siapa lagi kalau bukan kakak gua,”jawab Dina sengit. “Dah, ah. Jangan ghibahin dia terus. Ntar habis stok pahala kita.”

Mini copper milik Mita meluncur mulus setelah keluar dari area parkir fakultas. Tepat di depan  gedung rektorat, ternyata mereka berpapasan dengan sang dosen tampan.

Mita membuka kaca mobilnya. “Pak Arya!! Dapat salam dari teman saya, Pak. Salam manis dari Dinda, Pak.”

Arya sontak menoleh , mendengar teriakan dari mobil di sampingnya. Dia melihat gadis yang tadi dilihatnya di perpus pusat duduk di samping gadis yang berteriak-teriak tadi, tengah menjambak rambut temannya itu.

“Bukan itu. Yang benar begini.” Dinda meralat. Lalu gadis itu  ganti berteriak ke arah Arya. Tanpa rasa malu Dinda mengucap kata-kata yang membuat Arya terhenyak.

“Pak. Kita nikah, yuk???!”

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status