Sosok tinggi dengan postur ideal berkulit putih melintas di depan ruangan perpus pusat. Kedua netranya terpaku pada seorang gadis yang sedang berdiri, terpaku di depan papan pengumuman, di samping pintu masuk perpus pusat yang berada tepat di belakang gedung rektorat, Universitas Panca Satrya.
Raut wajah gadis itu tidak bisa ditebak. Namun yang jelas, wajah itu jauh dari kebahagiaan. Ada sorot kecewa di kedua netra gadis itu. Beberapa menit kemudian, gadis itu membalikkan badannya, menatap ke atas langit, lalu menghembuskan napasnya dengan kasar.
Gadis itu kemudian melangkah, berhenti sebentar lalu menendang sebuah kerikil yang kebetulan berada tepat di depannya.
Sosok tinggi itu mengernyitkan keningnya. Ia seperti pernah melihat gadis itu. Bukannya gadis itu yang kemarin dinyatakan sebagai satu-satunya peserta sidang skripsi yang tidak lulus? Bukannya ia yang menjadi salah satu dosen pengujinya?
Saat ia ingin mengikuti dari belakang, tiba-tiba seorang pria menghampiri dan menepuk pundak gadis itu. Sosok putih itu pun lantas mengurungkan niatnya.
“Pak Dosen Arya,” sapa seseorang secara tiba-tiba dari arah belakang.
Pria yang ternyata bernama Arya itu menoleh ke belakang. “Oh, Pak Dedi. Ada yang bisa saya bantu?”
“Jadwal sidang skripsi untuk bulan depan sementara diundur, Pak.“
“Diundur?”
Pria bernama Dedi itu mengangguk. “Pengumuman sudah ditempel di papan pengumuman, baik di rektorat maupun di masing-masing fakultas, termasuk di perpus pusat dan perpus fakultas masing-masing.”
Ingatan sang dosen melayang ke beberapa menit yang lalu. Inikah penyebab wajah murung itu?
“Masih ada selebarannya? Kalau masih ada, saya minta satu.”
“Ada, Pak.” Pak Dedi, staf administrasi rektorat menyerahkan satu lembar pengumuman mengenai pengunduran sidang skripsi dan jadwal sidang skripsi yang baru. “Ini, Pak.”
“Oke. Terima kasih banyak.” Arya membaca sambil melanjutkan langkahnya yang sempat terhenti.
Mundur dua bulan?? Kedua netra Arya pun melebar , dan condong ke depan. Ia tidak menyangka akan mundur selama itu. Mengapa diundur? Apakah ada rapat atau kegiatan yang mendesak hingga ditunda dua bulan lamanya?
Ia mencoba mencari sosok gadis tadi, tapi sejauh mata memandang ia tidak menemukan sosok yang ia cari. Mungkin gadis itu sudah pulang atau pergi ke suatu tempat. Arya lalu melanjutkan langkahnya. Ia kembali ke gedung perpus, mengambil beberapa silabus untuk jam kuliah yang diampu-nya, hari ini.
-0-
“Dosa gua apa ya? Kenapa mereka tega mengubah jadwal seenak jidat mereka sendiri?” Dinda duduk di kursi kantin, meja yang biasa ditempati gerombolannya.
Mita diam. Ia tidak berani menjawab. Selain karena memang tidak tahu alasan dibalik pengunduran jadwal sidang ujian, Mita takut jika jawabannya nanti justru menambah kekecewaan sahabatnya.
“Lu nggak makan, Mit?” Dinda melambaikan tangannya ke arah pelayan.
Mita menggeleng. Semula Mita ingin berkeluh kesah soal biaya yang harus dikeluarkan untuk dapat mengikuti wisuda bulan depan. Akan tetapi, melihat Dinda yang seperti ini, ia jadi tidak tega. Kesusahannya tidak sebanding dengan rasa kecewa Dinda.
“Tumben anak-anak yang lain belum pada datang.” Dinda mencari sosok Yuda dan Seno. Celingukan ke arah parkiran motor. “Atau pada naik mobil ya?” Kembali Dinda menyapukan pandangannya ke area parkir mobil.
Sayangnya, ia tidak mendapati dua sahabatnya itu, melainkan sosok lain yang belum pernah ia lihat sebelumnya, setidaknya itu dalam ingatan Dinda. Menyipitkan kedua netranya, Dinda berusaha memperhatikan sosok yang sedang turun dari mobil jeep berwarna coklat tua metalik.
“Wow!! Ternyata ada cowok cakep di kampus ini. Kemana aja gua selama ini?” Dinda terus mengikuti pria putih berkacamata yang melintas di tengah area parkiran mobil.
“Siapa, Din?” Mita mencoba mengikuti arah pandang Dinda.
“Itu. Cowok pake kemeja lengan panjang putih plus kacamata hitam.” Dinda menunjuk dengan dagunya.
“Ya ampun, Dinda. Lu mainnya emang kurang jauh ya…. Doi kan kemarin yang nguji kita. Namanya Pak Arya. Duduk di sebelah kiri Pak Hasan. Bu Mega, dosen kesayangan lu, di sebelah kanan Pak Hasan, kalau lu juga lupa.”
“Amit-amit ya kesayangan gua. Musuh mah iya.” Dinda protes keberatan.
“Doi baik tuh. Sempat nanyain ke kita-kita. Pada belajar sama siapa?”
“Nggak lu jawabkan? Bagus.”
“Gua jawab, belajar sama elu. Dinda.”
“Apa?! Semua juga jawab begitu?” Dinda menatap Mita tidak percaya. Bukannya bangga tapi Dinda justru merasa lemas.
“Nah iya kan. Emang kita semua belajar sama elu. Masa iya gua jawab belajar sama Pak Yon kantin?”
“Astaga, Emak! Pantas aja gua kagak lulus. Itu nyonya besar kan benci banget sama gua. Dia nggak terima kalau gua pintar dan cantik. Makanya lu-lu pada dilulusin sedang gua kagak. Niat amat dia ya bikin gua sengsara!!!” Dinda mulai mengomel lagi. Kali ini dengan dendam dua kali lipat.
Mita tidak terima. “Kalau untuk ini, gua nggak bisa bohong, Din. Emang benar karena elu, kita semua bisa paham dengan skripsi kita, dan semua teori pendukungnya. Masa iya gua nggak mengakui semua kepintaran dan kebaikan lu. Jahat amat gua kalau berani begitu. Sahabat macam apa gua.”
Dinda mengaduk es jeruknya dengan kuat, hingga menimbulkan suara yang cukup mengganggu. Emosinya kembali naik.
“Jadwal diundur. Terus sekarang sudah ketahuan nyonya besar kalau gua beneran pintarnya. Terus kira-kira kapan gua bisa lulus dari sini, heh?!”
Mita kali ini memilih diam. Melihat Dinda yang galau seperti ini, separuh hatinya tidak tega. “Ketimbang galau mulu, kita hang out aja yuk, Din? Kemana, kek. Bosan juga gua lama-lama di sini.” Mita berdiri dari duduknya.
“Ogah, ah! Gua mending pulang aja. Dah males juga gua ke perpus. Tau diundur begini, gua jadi tambah males.” Dinda membayar es jeruk yang sudah ia seruput habis.
“Ya udah kalau gitu. Bareng gua aja. Gua mau ke rumah tante gua.” Mita menarik tangan Dinda. “Lagian, sekarang napa nggak pernah bawa mobil diri lagi, sih?”
“Males debat sama Bang Jablay. Cerewet aja saban gua pulang sore. Orang dia punya mobil sendiri juga masih aja ngrusuhin punya orang.”
“Hah? Bang Jablay? Sapa dia?” Mita tidak paham siapa yang dimaksud Dinda.
“Siapa lagi kalau bukan kakak gua,”jawab Dina sengit. “Dah, ah. Jangan ghibahin dia terus. Ntar habis stok pahala kita.”
Mini copper milik Mita meluncur mulus setelah keluar dari area parkir fakultas. Tepat di depan gedung rektorat, ternyata mereka berpapasan dengan sang dosen tampan.
Mita membuka kaca mobilnya. “Pak Arya!! Dapat salam dari teman saya, Pak. Salam manis dari Dinda, Pak.”
Arya sontak menoleh , mendengar teriakan dari mobil di sampingnya. Dia melihat gadis yang tadi dilihatnya di perpus pusat duduk di samping gadis yang berteriak-teriak tadi, tengah menjambak rambut temannya itu.
“Bukan itu. Yang benar begini.” Dinda meralat. Lalu gadis itu ganti berteriak ke arah Arya. Tanpa rasa malu Dinda mengucap kata-kata yang membuat Arya terhenyak.
“Pak. Kita nikah, yuk???!”
Dinda duduk terpengkur di meja perpus. Kepalanya benar-benar pusing. Pengunduran jadwal sidang skripsi diundur hampir tiga bulan. Itu artinya ia harus menambah satu semester lagi. Gadis itu mengacak-acak poninya, lalu meniupnya ke atas. Wajahnya terlihat sangat menyedihkan.Apa yang akan ia lakukan selama satu semester itu? Masa iya dirinya melewatkan satu semester hanya untuk menunggu sidang skripsi? Sekian juta dikeluarkan hanya untuk sidang skripsi? Benar-benar sebuah pemborosan.Teringat kenyataan satu bulan yang lalu, bahwa dirinya tidak lulus sidang untuk yang kedua kali, dan semua itu karena dosen pembimbingnya sendiri yang memberi nilai D, membuat Dinda kembali kesal. Ingin rasanya ia menarik konde sang dosen lepas dari tempatnya, lalu mencaci maki, mengirim sumpah serapah semua hewan yang ada di kebun binatang Ragunan.“Sabar.” Sebuah tepukan kecil di pundaknya, membuat Dinda segera mendongakkan kepalanya. Perasaan Dinda tidak enak.“Ape lu?!!!” tanya Dinda sengit. Ia meliha
Broto Handjoyo sudah tiba di tempat pertemuan bersama Sari. Mereka masih menanti kedatangan seseorang. Tidak lama kemudian, sosok yang mereka nantikan tiba. Broto yang belum pernah bertemu sebelumnya, tidak mengenali ketika seorang pria muda melangkah mendekati tempat dia berada.“Selamat Siang. Maaf saya datang terlambat.” Arya menghampiri Broto, dan mengajak pria paruh baya itu untuk berjabat tangan. “Wajah Broto begitu terkejut melihat kedatangan Arya. “Kamu …?” Ia sampai tidak dapat melanjutkan kalimatnya.“Iya, Om. Saya Arya. Putra Om Dermawan.” Senyum manis merekah di wajah Arya, tanpa ia sadari.“Oh. Ya-ya-ya.” Broto tertawa lebar, menepuk punggung tangan Arya berulang kali. “Kapan kembali ke Indonesia?”“Sudah lama, Om. Tiga tahun yang lalu. Saya ambil kuliah di Indonesia, tapi mengambil kursus sebentar di Inggris.”“Oh. Bagus-bagus. Tau begini, mengapa tidak makan malam di rumah kita aja ya, Ma?”“Lain kali juga nggak pa-pa, Pa. Toh juga ke depannya akan sering ke rumah. K
Dinda terpaksa menunggu kedatangan Seno. Seno mengaku sedang membeli rokok di warung depan kampus saat ditelpon Dinda. Setengah jam berlalu, tapi batang hidung Seno belum juga tampak. Dinda mulai uring-uringan. Ia sendirian di kampus. Mita sudah pulang lebih dulu karena harus mengantarkan mamanya berobat.Dinda kembali mencoba menghubungi Seno, setelah tujuh kali panggilannya ditolak. Kali ini, nada sambung terdengar cukup lama.“Halo.” Akhirnya terdengar suara di ujung sana, akan tetapi suara yang terdengar bukanlah suara Seno.“Ha-lo?” Dinda menjadi ragu-ragu. Ia kembali melihat nomor yang ia hubungi. Namanya tidak berubah. Tetaplah Seno sahabatnya, tapi mengapa suaranya lain? Apakah telah terjadi sesuatu pada sahabatnya? Apakah Seno telah mengalami kecelakaan dan sekarang yang menjawab telponnya adalah orang yang sedang berusaha menolong Seno?“Iya, halo.” Suara itu benar-benar terdengar asing di telinga Dinda. “Apakah Seno baik-baik saja? Apakah ini orang lain? Atau …” Dinda tidak
Dinda terkejut melihat siapa yang tengah bercengkerama dengan mamanya. Ia langsung berpikir untuk meninggalkan tempat itu, kembali ke mobilnya. Tapi sayang, sang mama memanggil namanya, membuat Dinda bingung sesaat. Untungnya, seseorang datang menyelamatkan dirnya. Mita tiba-tiba menubruk dirinya seraya berteriak heboh, membuat Sari mengurungkan niat untuk memanggil putri semata wayangnya untuk kedua kali. "Dindaaaa!!!!" Mita menubruk Dinda seraya mengguncang tubuh Dinda. 'Lu mau dandan di sini juga? Datang ke nikahan itu juga?' Dinda yang masih terkejut dengan pria muda yang tadi sempat bertukar pandang dengannya, menjadi bingung dengan pertanyaan Mita. "Dandan? Nikahan? Gua gak paham sama yang lu omongin, Mit. Sweer!!" Dinda mengangkat dua jari telunjuk dan jari tengahnya, membentuk huruf 'V'. Dinda lega karena dirinya tidak perlu menghampiri sang mama, dan ikut dalam pembicaraan basa-basi yang ia tidak paham sama sekali. "Loh? Kalau bukan itu, terus ngapain lu di sini?" "Ne
Hari ini, Dinda membawa mobil SUV milik Dani. Ia terburu-buru, sampai akhirnya salah mengambil kunci kontak mobil. Mita mengirim pesan jika ada perubahan jadwal mata kuliah dan dosen pembimbing untuk semester ini. Dinda menjadi penasaran. Apakah dosen pembimbingnya juga akan diganti? Ia melangkah dengan terburu-buru hingga hampir jatuh tersungkur oleh anak tangga di depan gedung utama kampusnya. "Pagi, Mbak Dinda," sapa ramah satpam kampus Fakultas Ekonomi. "Belum sarapan ya, Mbak?" Dinda hanya menyengir kuda. "Pagi, Pak. Belum, Pak. Bapak mau ntraktir saya? Boleh." Satpam yang bernama Fredi hanya tersenyum lebar. "Mencari siapa, Mbak?" "Jadwal. Katanya ada pergantian dosen pembimbing ya, Pak?" "Oh, itu. Keliatannya begitu. Dari tadi sudah banyak yang ke sana." Fredi menunjuk ke arah depan area ruang dosen. Dinda langsung mengikuti arah yang ditunjukkan Fredi. "Oke. Saya ke sana dulu ya, Pak." Dinda berusaha menyeruak kerumunan di depannya, sedang kedua netranya berusaha memba
Mita yang sejak tadi menunggu Dinda keluar dari ruangan dosen, langsung menghampiri Dinda. Wajah Dinda yang masih bersemu merah, menimbulkan pertanyaan dalam diri Mita. "Lu kenapa? Kok merah jambu begitu wajahnya?" Mita terus saja menatap wajah Dinda. "Nggak. Nggak ada apa-apa." "Bohong, ah. Jujurlah. Doi ngajakin makan siang bareng?" "Nggaklah." "Terus?" "Nggak ngajakin apa-apa. Cuma disuruh balik lagi besok, nyerahin skripsi buat dipelajari, biar bisa bantuin pas sidang." Mendengar itu, Mita berteriak heboh. "Ini pertanda bagus nih, Din. Moga aja kalian berjodoh. Buat mantan pembimbing lu yang dulu, mati kutu." Dinda menepuk keningnya. "Gawat ini. Kalau dia tahu dosen pembimbing gua Pak Arya, bisa-bisa dia bakal bikin masalah lagi sama gua." "Tenang. Lu kan sekarang udah punya bodyguard." "Bodyguard pala lu!" "Serius. Percaya sama gua, doi pasti jatuh cinta sama elu." "Tau dari mana?" "Feeling gua kuat soal ini. Percaya, deh." "Mau minta berapa mangkok bakso nih?" M
Mita mulai menjalankan mobilnya, kembali menuju fakultasnya, menemani Dinda menyerahkan skripsi kepada Arya. "Bawa berapa skripsi, Din?""Satu. Emang harus bawa berapa?""Biasanya pembimbing gua minta dua, tapi mungkin Pak Arya beda.""Semoga beliau tidak rewel seperti sebelumnya."Mobil itu akhirnya berhenti di halaman depan kampus Fakultas Ekonomi. Mita ikut turun tapi tidak ikut Dinda masuk ke ruangan dosen. Ia ada perlu di bagian administrasi.Tok.Tok. Tok.Dinda melirik arloji di tangan kanannya sembari berdiri tepat di depan pintu ruangan Arya, menunggu jawaban dari dalam. Angka di arlojinya menunjuk ke angka tujuh. Terlambat lima menit dari yang seharusnya. Ceklek.Pintu perlahan terbuka, menampakkan wajah putih Arya tanpa senyum. Rasa bersalah tiba-tiba datang menyergap Dinda. Mungkin saja dosen di depannya ini sangat disipiln dalam waktu sehingga telat satu menit saja akan menjadi masalah yang berkepanjangan."Silakan duduk." Arya tidak menatap ke arah Dinda sedikit pun.Su
Dinda terkesiap mendengar perkataan Arya barusan. 'Apa maksudnya spesial dan istimewa? Memang gua martabak telor?'Arya tersenyum lebar tersenyum lebar namun dengan cepat kembali memasang wajah dingin. "Jangan GR dulu. Istimewa, karena kamu adalah mahasiswa yang sudah berjasa membantu teman-teman kamu belajar menghadapi sidang skripsi. Spesial, karena kamu dengan kecerdasan dan kepandaian yang kamu miliki, justru menjadi satu-satunya mahasiswa yang tidak lulus, dalam dua sidang skripsi berturut-turut."Dinda benar-benar tertohok dengan pernyataan Arya., dosen pembimbing baru, yang ternyata mulutnya sama kejamnya dengan mantan dosen pembimbingnya."So,..." Arya yang sedari tadi terus menatap wajah Dinda, kini mengalihkan pandangannya ke skripsi Dinda. Ia lantas mengambil skripsi yang tebalnya sekitar dua ratus halaman itu, lalu mulai membuka satu per satu halamannya.Dinda yang semula menaruh harapan besar pada dosen pembimbing barunya, kini harus menelan bulat-bulat semua harapannya.