Share

Batas kesabaran seorang istri!
Batas kesabaran seorang istri!
Penulis: Desti Anggraini

1. Jatah belanja.

"Yur ... sayur! Sayuuuuurrr ...!" teriak Mamang sayur bertubuh gempal dengan lantang. Mang Malik Abdullah namanya, tapi ia meminta kami memanggilnya dengan sebutan Mang Charlie. Katanya biar berasa seperti penyanyi kegemarannya itu. Ahayyy ...

Walau dari segi wajah tidak memadai dan jauh dari kata mirip. Namun, potongan rambut dan gaya, ok, lah. Sudah cukup menyerupai.

Karena sering keseleo lidah menyebutnya. Akhirnya aku hanya memanggilnya dengan sebutan Mang Ari saja.

Mang Ari berdiri di samping motornya, memencet terompet berulang kali. Ia berdiri di pinggir jalan, depan rumah tetangga di sebelah rumahku. Mendengar trompet tuet-tuet, Mang Ari, membuat ibu-ibu komplek ini berhamburan mengerumuni Mang Ari. Membuat pria itu berasa seperti seorang artis yang lagi dikerumuni penggemar. Membuat siapapun yang melihat tingkah alay Mang Ari menjadi terkekeh geli.

"Ehh ... Neng Zalia, mau belanja apa Neng?" sapa Mang Ari saat aku menghampiri. Banyak ibu-ibu yang belanja sayur juga menyapa padaku, walau hanya sebatas senyuman atau anggukan kepala.

"Ini Mang, saya minta tempe dua papan sama kangkung se-ikat, Mang!" pintaku pelan dengan menekan sedikit rasa maluku. Bagaimana tidak malu, hampir setiap pagi aku hanya berbelanja seadanya, hanya sebagai lauk pendamping agar perut jangan lapar.

Terkadang aku merasa iri melihat nasib ibu-ibu yang ada di komplekku. Mereka bisa berbelanja aneka menu lengkap untuk makan siang mereka sekeluarga. Andai suamiku, yaitu Mas Yudha juga serajin suami Ibu-Ibu yang lain.

Sebenarnya Mas Yudha bukan tak ada kepandaian, dulu ia bekerja di sebuah pabrik sepatu. Tapi karena sifatnya yang pemalas dan sering bolos kerja. Akhirnya ia di pecat.

Sekarang, setiap ada tawaran pekerjaan ia selalu milih-milih dengan berbagai alasan. Yang gajinya kecil lah, kerjaannya tak sesuai, lah. Bahkan ia begitu gengsi untuk bekerja kerjaan yang asal, istilahnya pekerjaan yang tanpa seragam.

Membuat aku sering-sering mengelus dada melihat tingkah laku suamiku itu.

Padahal selagi uang yang di hasilkan halal, apa salahnya? Entahlah, aku dan Mas Yudha sekarang sudah tidak sepemikiran lagi.

"Itu aja, Neng?" tanya Mang Ari. Dengan wajah lesu aku mengangguk. Sebenarnya aku kepingin membeli sekantong ayam serta kentang untuk di buat pergedel, tapi karena uang yang ada di tangan tidak seberapa, jadi kuurungkan saja niat ini.

Mang Ari menyerahkan plastik belanjaanku. Aku menerimanya, sambil menyodorkan uang empat ribu rupiah.

Nominal yang sangat kecil, bahkan jajan anak sekolah dasar saja lebih banyak dari pada itu.

Bisik-bisik para Ibu-ibu komplek mulai terdengar di telingaku. Namun kucoba untuk tak menghiraukan dan berlalu pulang ke rumah. Walau terkadang hati ini sering tercubit mendengarnya. Aku yakin, mereka pasti sedang membicarakan aku yang hampir setiap hari, belanja dengan nominal tidak lebih dari lima ribu rupiah.

Untung saja ada tanah sepetak tak lebih dari, satu meter setengah kali dua meter. Lebar sedikit dari liang lahat yang terletak di sudut kamar mandi, yang bisa ditanami cabe, tomat, dan daun bawang. juga beberapa batang singkong yang dapat kuambil pucuknya.

Sebenarnya, terkadang semua itu tak cukup, tapi harus di cukup-cukupi. Upahku sebagai buruh cuci dan gosok tidak cukup untuk memenuhi semua kebutuhan keluargaku.

Apa boleh buat! Aku tak ada pilihan lain. Punya suami pemalas begitu menyiksa batin. Saat suami orang pagi-pagi buta sudah berangkat kerja menyongsong rezeki. Suamiku justru masih bergelung dalam selimut hingga matahari meninggi.

"Bunda mamam," pinta Alia. Putri kecilku yang baru berumur 3 tahun. Kugendong tubuh kecil yang menghampiriku, aku ajak putriku ke dapur.

Ada dua butir telur ayam kampung yang baru saja menelor, yang aku ambil dari kandang kemaren. Aku sengaja menyembunyikan di dalam rak bertutupkan baskom. Memang sengaja, agar tidak diambil suamiku, Mas Yudha.

Aku merasa kasihan dengan putriku, sudah jarang nyusu, makan pun gizinya kurang.

Aku goreng seadanya telur itu, lalu kusiapkan pada Alia. Putriku ini makan dengan lahap sekali. Sedangkan sayur kangkung seikat ditumis dengan bawang seadanya dan tempe, aku oseng-oseng kering. Jadilah untuk teman nasi.

Aku memulai ritual makan pagiku dengan lahap, lauk yang kubuat seadanya tadi. Tak kuhiraukan rasanya yang kurang pas, karena bumbu yang tak lengkap, yang penting perutku terisi penuh pagi ini. Agar bertenaga untuk menyambut pekerjaan yang telah menumpuk.

Sedangkan suamiku, Mas Yudha? Ah ... entahlah, dibagunin juga percuma yang ada bikin sakit kepala.

Jika sebagian wanita berjibaku di dapur, dengan aneka bahan makanan yang dimasak, agar berubah menjadi menu istimewa di atas meja, atau sebagian lagi ada yang sedang santai sambil berselancar di sosial media.

Maka hal itu tidak berlaku untukku. Pagi-pagi sekali hingga siang menjelang, aku justru masih berjibaku dengan cucian di kamar mandi.

Kulit jemariku sudah tampak putih mengeriput karena kelamaan berendam di air.

Namun apa boleh buat, itu semua harus aku lakukan agar lambung kami bisa terisi. Jika mengingat kedua orang tuaku, kembali air mata ini menetes, belasan tahun di besarkan oleh mereka. Aku tak pernah mengenal kata lapar dan susah. Namun saat menikah, dua kata itu menjadi sahabat teman setia untukku. Mau menyesal tak ada guna, mau mengeluh pun. Entah pada siapa?

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status