Jam menunjukkan pukul sebelas malam saat pintu di gedor kuat oleh Mas Yudha. Pria itu pulang larut malam. Entah dari mana? Tanpa menghidupkan lampu, aku mengintip sedikit dari jendela, tampak Mas Yudha berjalan sempoyongan.Membuat hatiku geram. Bukannya kerja cari duit, pria ini justru keluyuran gak jelas. Sekali pulang malah dalam keadaan setengah teler.Dadaku bergemuruh hebat, dengan sejuta rasa dongkol di hati. "Zalia! Buka pintunya!" teriaknya lantang. Tangannya menggedor-gedor pintu begitu kuat.Aku bingung, di buka bikin kesal. Tapi di biarkan bikin gaduh!Ya Tuhan ... nasibku dapat suami kok gini amad, ya?"Zalia! Buka!" Lagi-lagi Mas Yudha berteriak. Aku berlari ke kamar mandi membawa seember air hingga menuju pintu depan.Betul tebakanku Mas Yudha kembali berteriak dan menggedor pintu dengan kencangnya. Pria ini selain tak tahu malu juga tak tahu diri.Byurrrrr ...Aku siram Mas Yudha dengan air seember yang aku bawa setelah aku membuka pintu. Wajahnya yang kuyu semakin kuy
Setelah Alia bangun dan mandi, aku menyuapinya dengan lontong yang kubeli tadi. "Ma ... mamam!" teriak gadis kecil itu membuatkan lamunanku."Astagfirullah al'azim," ucapku. Ternyata sedari tadi aku melamun hingga tak sadar bukan mulut putriku yang aku suapi, tapi gelas yang berisi air. "Maaf sayang. Maaf, ya, Nak!" ujarku dengan rasa bersalah. Aku kembali menyuapi Alia. Pikiranku menjadi tak fokus sejak berbicara dengan Mbak Ika tadi. Aku masih tak habis pikir, jika Mas Yudha tega melakukan itu. Apa betul ia main serong dengan janda ujung komplek? Atau Mbak Ika salah lihat.Jika Mas Norman aku masih percaya, karena ia memiliki uang. Namun Mas Yudha? Entahlah, aku bingung."Eh ... eh ... suami sedang sakit, kamu malah enak-enakan makan lontong telur di rumah. Benar-benar istri tak berbudi, kamu ini, ya, Zalia!" bentak Ibu yang tiba-tiba datang mengagetkanku. Ibu mertuaku ini nongol Sudah seperti jin iprit saja, tak bersuara dan tak berbunyi. Tahu-tahu sudah ngomel di depan mukaku."D
Karena ketutupan dahan pohon dan sebuah spanduk membuat orang tidak dapat melihat langsung keberadaanku. Namun aku bisa melihat pemandangan di depanku secara jelas. Aku melihat seorang lelaki tinggi tegap keluar dari rumah itu. Janda itu melambai mesra dengan pria itu. Karena pria itu masih menoleh ke arah rumah, sehingga membuatku tak dapat melihat wajahnya secara langsung. Tapi melihat pakaian dan postur tubuhnya, aku merasa seperti sangat familiar.Dalam beberapa menit mereka berdua masih saling melempar kissbay dan rayuan gombal yang membuat siapapun yang melihat menjadi mual. Seperti aku yang geli melihat gelagat mereka yang malu-malu guk ... guk. "Mas Norman," gumamku lirih. Saat pria itu membalikkan tubuhnya, untuk menaiki motor yang terparkir di teras rumah itu. Mataku bulatku melebar seakan tak percaya dengan apa yang aku lihat, ngapain Mas Norman keluar dari rumah janda dengan keadaan rambut basah.Sepertinya ia habis mandi? Mandi di siang hari terik, di rumah janda?Kok a
Kamu memukulku, Mas?" tanyaku seakan tak percaya.Aku menatap mas Yudha dengan nyalang, mataku berkaca-kaca. Selama menikah ini lah pertama kali ia melayangkan tangannya ke tubuhku."Istri yang tak berbakti sepertimu, memang pantas di pukul!" ujarnya."Istri tidak berbakti? Kurang berbakti apa lagi aku padamu, Mas! Aku yang banting tulang menafkahi keluarga ini, sedangkan kamu ..." Kutunjuk wajah lelaki yang menjadi imamku itu dengan geram. "Kamu hanya makan tidur! Saat kamu lapar kamu hanya bisa menjerit dan memerintah! Apa fungsimu sebagai suami, Mas? Tak ada! Aku perempuan bersuami, tapi hidup layaknya seorang janda!" sungutku lantang. Meledak sudah bom di hati ini.Selama ini aku sudah cukup bersabar dengan semua sikap dan perilakunya. Tapi tidak kali ini. Habis sudah batas kesabaranku."Jadi sekarang kamu sudah berani melawanku, Zalia! Aku marah karena kamu tak tahu tugasmu sebagai seorang istri. Seharusnya kamu itu masak dulu sebelum berangkat. Ini suami pulang tak ada makanan d
Dengan langkah pasti aku menarik kembali koperku, membuka pintu rumah dan berjalan keluar. Alia semakin menangis menjerit memanggil namaku. "Zalia apa kamu tidak kasihan melihat anakmu ini? Ibu macam apa kamu ini, hanya memikirkan egoismu sendiri!" makinya membuat langkah kakiku terhenti.Aku menoleh ke belakang. Sebenarnya hati ini tak tega melihat putriku yang menjerit sedih begitu. Aku berjalan mendekati Mas Yudha, merampas Alia dari gendongannya saat ia lengah. Lalu bergerak mundur menjauhi dirinya."Aku berubah pikiran, Mas. Aku pergi membawa Alia," Mas Yudha mengerang kesal dengan tindakanku. "Jika kamu berani mendekat. Jangan salahkan aku untuk teriak. Biar semua orang di komplek ini tahu siapa kamu!" ancamku. Posisi kami yang kini berada di teras rumah memudahkanku untuk menekannya. Jika ia macam-macam, maka aku akan berteriak dan membuat suasana semakin ramai. Apa lagi luka yang ada di sudut bibirku bekas tamparannya tadi, bisa kujadikan bukti tindakan KDRT.Mas Yudha tamp
Setelah menempuh perjalanan satu jam, akhirnya aku sampai di rumah ibu. Hanya buah jeruk satu kilo yang kubeli di halte bis tadi, kubawa sebagai buah tangan. Agar jangan kosong-kosong sekali, saat aku pulang.Ibu terkejut melihat kedatangan kami secara tiba-tiba. "Loh ... kok pulang gak ngabar-ngarin, Zal. Yudha mana? Kalian pulang cuma berdua?" tanya Ibu. Matanya awas meneliti keberadaan Mas Yudha di belakangku. Dahi keriputnya semakin berkerut, saat mendapati yang di cari tak ada."Masuk, Nduk! Kalian pasti lapar. Ibu tadi masak semur jengkol sama goreng ikan asin, pasti kamu suka," ajak Ibuku. Baru mendengarnya namanya saja, cacing di perutku langsung bergoyang. Semur jengkol buatan ibu begitu nikmat. Kuah yang kental perpaduan antara rasa pedas dan manis membuat air liurku terasa ingin keluar. Aku masuk kerumah dan langsung menuju meja makan, Alia di sambut ibu dan duduk di pangkuannya.Aku mengambil nasi dan membuka tudung saji. Tempe goreng, ikan asin goreng, lalap timun dan
"Assalamualaikum," suara Mbak Zahra menyadarkanku dari lamunan. "Waalaikum salam, Mbak." sahutku. Aku yang sedang duduk di sofa bangkit mendekat pada Mbak Zahra dan menyalaminya.Mbak Zahra datang bersama anak bungsunya, Nabila. "Loh ... ada kamu, Zal?! Kapan sampai?" tanyanya kaget melihat keberadaanku. "Kemaren Mbak, sebelum magrib." jawabku. Nabila berlari ke taman samping, ke tempat Ibu dan Alia berada.Mbak Zahra duduk di hadapanku, menyenderkan punggungnya ke sofa sambil menyilangkan kakinya. Persis layaknya seorang nyonya. Nyonya besar."Suami kamu mana, Zal? Kok, Mbak gak nampak?" tanyanya lagi. Karena setiap pulang ke rumah Ibu, aku selalu bersama Mas Yudha. Padahal jarak antara rumahku dan Ibu hanya satu jam. Ibu tinggal di kota besar sedangkan aku di kabupaten. Tapi Mas Yudha tidak pernah mengizinkanku pulang sendiri. "Mas Yudha sedang sibuk, Mbak. Jadi hanya aku dan Alia saja yang pulang." jawabku bohong. Mbak Zahra mencebikkan bibirnya seolah mengejek. "Sibuk apa? Su
"Terserah lah! Asal jangan nyesel aja nantinya. Dan jangan nyusahin Ibu!" sentak Mbak Zahra padaku. "Apa kamu lupa, siapa yang dulu ngotot banget pengen nikah sama Yudha. Bahkan bela-belain berhenti kuliah! Sekarang malah ngotot ingin pisah, apa kamu gak malu, hah?" Aku menggigit bibir bawahku, sedih dan bercampur kesal. Aku sedih ternyata lelaki yang aku perjuangkan mati-matian justru membuatku kecewa. Namun aku juga kesal, kenapa Mbak Zahra sedari tadi selalu saja memojokkanku. Apa masalahnya padaku?"Jika aku tahu Mas Yudha seperti itu, tentu aku tidak akan mau menikah dengannya, Mbak. Namanya juga jodohku seperti itu, Mbak. Jika aku dapat suami penurut seperti Mas Hadi, tentu aku tidak akan bercerai darinya." balasku. Braakk ...Mbak Zahra mengebrak meja dengan kuat, membuat Ibu menjadi terkejut. Begitu pula dengan Nabila dan Alia yang duduk bersama kami."Apa maksud kamu, Zalia? Kamu mau menggoda suamiku, Mas Hadi? Dasar wanita genit kamu, ya?!" maki Mbak Zahra. Astagfirullah