Share

5. Kerja rodi.

"Loh ... belum Mbak setrika? Gimana sih ... Mbak! Itu baju mau aku pakai sekarang?" omelnya. Namun aku tak peduli. Aku justru duduk santai di lantai, di samping Alia yang menghadap kipas angin.

Ah ... sejuk sekali. Aku memang sengaja tidak menyetrika pakaian itu. Awalnya aku berniat memisahkan baju mertuaku dan menyetrika baju mertuaku saja. Namun betapa terkejutnya diriku. Ternyata semua buntalan itu berisi baju-baju Rika, Mbak Intan dan Mas Norman.

Tentu saja aku menolak untuk menyetrika baju-baju mereka. Mereka pikir aku ini pembantu gratisan apa. Ogah!

"Mbak! Ditanya kok gak di jawab, sih! Kenapa bajunya belum disetrika? Cepat setrika sekarang, nanti aku kesini lagi untuk mengambilnya!" perintah Rika layaknya seorang nyonya.

Aku langsung berdiri dan mengambil buntalan itu dan meletakkan dihadapannya.

"Gak usah nunggu nanti. Sekarang kamu bawa pakaian ini pulang segera! Kamu dan Mbak Intan masih punya tangan untuk menyetrika baju kalian sendiri, kan?" ujarku marah.

"Loh ... itu kan tugas, Mbak! Kemaren kan ibu nyuruh Mbak untuk menyetrika semua pakaian itu," tukasnya tak terima.

"Siapa bilang itu tugasku. Aku tidak punya kewajiban apapun untuk menyetrika pakaian kalian! Memangnya berapa kalian menggaji aku untuk menyetrikakan baju-baju ini, hah!" sungutku. Aku tak mau lagi diinjak-injak dan disuruh-suruh oleh mereka layaknya seorang babu.

"Oh ... jadi sekarang, Mbak, sudah mulai itung-itungan dengan keluarga, ya!" sungut Rika dengan mata menyalang tak suka.

"Kalian yang tidak punya otak. Menyuruh orang seenaknya saja. Apa kalian pikir aku ini robot yang tidak punya rasa capek! Sekarang kamu bawa pakaian itu semua pulang. Jika ingin memakai baju rapi, maka setrika sendiri!" balasku dengan nada menantang. Sengaja memang. Biar dia tahu aku tak suka mereka perlakuan seperti ini.

"Jaga ucapanmu, Mbak! Kamu cuma menantu di keluarga ini. Jadi jangan macam-macam, atau ..."

"Atau apa?" potongku. Aku berujar semakin menantang dengan mata yang mendelik. Berani sekali bocah SMA sepertinya mengancamku.

"Atau ... atau ... nanti aku bilang sama Mas Yudha kalau Mbak Zalia sekarang sudah menjadi menantu kurang ajar!" kilahnya terbata. Rika tampak menelan ludah karena gugup. Ini pertama kalinya aku marah dihadapannya. Deru napasku yang memburu serta mataku yang menatapnya nanar, seakan siap untuk meneguk tubuh langsingnya itu bulat-bulat.

"Silahkan ... katakan saja pada abangmu yang pemalas itu! Bilang untuk menjadi lelaki yang bertanggung jawab. Jangan makan tidur seperti mayat hidup!" makiku geram. Mata Rika terbelalak kaget. Tangannya terkepal.

"Jangan kurang ajar, Mbak! Walau bagaimanapun Mas Yudha juga suami, Mbak. Sudah lah ... aku malas ribut-ribut. Cepat Mbak kerjakan saja setrikaan itu! Aku mau pulang!" sungutnya tak terima.

Kuatur sejenak nafas yang memburu ini, aku lihat Rika mulai beranjak keluar rumah tanpa membawa pakaian mereka. Benar-benar keluarga Mas Yudha ini kompak menyiksaku lahir dan batin.

🍁🍁🍁

"Zalia! Kamu bilang apa sama Rika?!" teriak mertuaku. Aku yang sedang berbaring di depan kipas angin bersama putriku, kembali terkejut.

Belum ada setengah jam kepergian Rika dari rumah ini. Ibu sudah datang kerumah ini dengan wajah yang memerah. Matanya menatap tajam seolah menyala-nyala.

Cepat benar Rika, kalau urusan mengadu pada Ibunya.

"Apa sih, Bu? Baru datang sudah marah-marah, nanti darah tinggi Ibu naik," ujarku santai. Aku bangkit dari tidurku. Rasanya malas sekali untuk bangun, tapi kalau tidak bangun yang ada Ibu mertuaku tersayang itu, bisa-bisa semakin mencak-mencak seperti orang bermain silat.

Ya Tuhan ... Tidak bisakah aku hidup tenang sehari saja.

"Mana pakaian yang ibu suruh kamu setrika kemaren?" Ibu berkacak pinggang padaku. Seperti nyonya besar.

"Itu, masih teronggok cantik di tempatnya," jawabku sesukaku. Toh ... mereka juga kalau ngomong dan memerintah sesuka hati mereka saja.

"Kenapa belum kamu kerjakan? Benar kata Rika, kamu memang sengaja, ya!"

Benar perkiraanku, Rika mengadu pada ibu. Aku tersenyum kecut.

"Jika itu pakaian Ibu dan Bapak. Aku akan menyetrika, kan, anggap baktiku sebagai menantu. Tapi itu semua pakaian Rika, Mbak Intan dan Mas Norman. Aku tidak punya kewajiban untuk melakukan itu. Mereka berdua punya tangan untuk melakukannya sendiri! Apa lagi Mbak Intan, dia tidak kerja apa-apa di rumah. Suruh saja dia yang menyetrika baju-baju ini," jawabku. Mengutarakan semua uneg-uneg serta alasanku.

"Kamu ini ... sesama saudara saja perhitungan tenaga, bagaimana kalau uang!" sindir Ibu.

Aku mencebikkan bibir. "Tentu aku perhitungan dengan tenaga, karena hanya tenagaku yang diandalkan untuk mencari uang,"

"Apa maksudmu, Zalia? Kamu jangan menghina anak saya, ya!" sungut ibu tak terima.

"Aku tidak menghina, tapi memang itulah kenyataannya. Anak ibu itu tak pernah bekerja. Aku lah yang jadi tulang punggung di rumah ini. Bersuami tapi terasa janda!"

"Kamu ini dibilangin orang tua, ada saja jawabannya! Bukan anakku yang malas, tapi kamu sebagai seorang istri tidak membawa rezeki untuk suamimu. Makanya suamimu susah cari nafkah!"

Jleb.

Kata-kata ibu seperti pedang yang menghunus jantungku. Kuremas baju yang menutup dadaku dengan erat. Sesak ... rasanya sesak sekali. Area mataku pun mulai berembun.

Sudahlah, ibu mau pulang. Semakin sakit kepala ini meladeni kamu yang tiada habisnya," omel Ibu. Sambil beranjak dengan kasar.

Braakk.

Ibu menendang pintu yang berdiri rapi di dinding sebelum pergi. Untung saja tidak jebol. Maksudnya apa coba?

Bukan hanya kepalanya saja yang sakit, otakku juga mau meledak dengan darah yang mendidih. Kalau bukan mertua, mungkin sudah tak, hih!

Seharusnya di sini, aku lah yang harus marah, tenagaku yang mereka peras bagai kerja rodi.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status