Share

4. Masih mencoba bersabar.

"Zalia! Kamu masak apa?" tanya Mas Yudha yang tiba-tiba nimbrung duduk di meja makan. Aku menatap Mas Yudha horor. Selain pemalas ternyata suamiku ini juga jorok.

"Mas Mandi dulu sana! Atau cuci muka, kek. Jorok banget kamu!" tegurku. Sambil mendengus Mas Yudha beranjak, mengambil handuk yang terlampir diatas pintu kamar dan berjalan ke kamar mandi.

Barulah setelah mandi dan mengenakan pakaian ia kembali bergabung dengan kami di meja makan.

Mulutnya berdecak melihat makanan yang kusajikan. Hanya ada tempe goreng sebagai proteinnya.

"Tak ada ikan, atau ayam apa, Zal?" tanyanya. Aku memutar bola mata jengah. Selalu saja pertanyaan itu yang aku dengar saat ia membuka tudung nasi. Andai ia bekerja dan berikanku nafkah seperti suami-suami di luaran sana. Jangankan ayam dan ikan, daging sapi pun aku beli untuknya.

Jika aku masak ayam atau ikan hari ini, besok kami akan makan apa? Tubuhku tak selamanya kuat menjadi buruh cuci seharian. Lagi pula kebanyakan ibu-ibu komplek sekarang pada beralih mesin cuci. Hanya beberapa orang saja yang masih setia memakai jasaku.

"Adanya itu, Mas. Mau makan syukur, nggak ya udah!" jawabku asal.

Mas Yudha berdecak. Mengambil piring yang sudah kusiapkan. Ia menyendok nasi, mengambil tempe dan sambal, serta sayur lodeh dengan banyak kuah. Mas Yudha memang suka makan yang berkuah dan tergenang.

"Kamu tidak pergi kerja, Mas?" Tanyaku hati-hati. Saat suapan terakhirnya habis. Mas Yudha menenggak air putih di gelasnya hingga tandas.

Ia menyenderkan punggung di kursi, tampaknya kekenyangan. Wajar saja, masih pagi tapi porsinya sudah seperti pekerja berat saja.

"Udah nyari kerja, tapi gak dapat," jawabnya.

"Loh bukannya kemaren suami Bik Jum ngajakin kamu kerja Mas? Suami Mbak Vera juga. Kok, kamu bilang gak ada kerjaan sih, Mas?" komentarku.

"Malaslah! Kerjaan yang mereka tawarkan, kerjaan berat semua. Mana gajinya kecil, gak sesuai," balas Mas Yudha.

"Lalu kerjaan yang sesuai menurutmu itu apa, Mas? Selagi itu halal apa salahnya, dari pada kamu makan tidur seperti pohon pisang!" sungutku. Aku heran, kok, ada manusia model Mas Yudha dan naasnya aku pula yang bersuamikan dirinya.

"Alah ... kamu tahu apa, Zalia! Lagi pula duit kiriman dari ibumu, kan, ada setiap bulan untuk tambahan uang dapurmu. Kamu juga dapat upahan," tukasnya.

Aku beristighfar di dalam hati. Mengusap dada ini yang terasa sesak karena tak habis pikir dengan jalan fikiran suamiku ini. Dimana lah tanggung jawabnya sebagai lelaki dan sebagai seorang bapak? Mas Yudha benar-benar keterlaluan!

"Sampai kapan kita akan ngandelin kiriman ibuku? Lagian kamu itu kepala rumah tangga, Mas. Seharusnya kamu yang mencari nafkah untuk keluarga ini, bukan menjadi beban istri," ucapku mengingatkan akan statusnya.

"Loh, kok, kamu ngomong gitu, Zalia? Tugas istri itu membantu suami. Jika suami lagi tak ada kerjaan, lagi pula kalau aku kerja. Uangnya juga kuberikan padamu!" Mas Yudha tampak tak terima dengan ucapanku. Ia berdiri tegak menatapku nyalang. Ada amarah di binar matanya.

"Jangan mentang-mentang kamu sudah pintar cari duit, kamu bisa menghina aku seperti ini, ya, Zalia. Lagi pula yang kamu hasilkan itu tak seberapa, jadi jangan merasa bisa mengatur aku. Aku mau kerja atau tidak itu urusanku! Enak banget kamu, aku yang kerja kamu yang ongkang-ongkang kaki di rumah!" lanjutnya lagi.

"Ya Allah, Mas ... sadar! Kamu ngerti Agama gak, sih? Kamu paham arti kata suami tidak, sih? Uang yang selama ini kamu kasih sama aku itu bisa di hitung pakai jari, itu pun tidak cukup untuk makan kita sehari. Aku benar-benar gak habis pikir dengan jalan pikiranmu?!" tariakku geram.

Mas Yudha memang punya keahlian dalam bidang multimedia dan elektronik. Kadang-kadang ia dapat panggilan untuk servis. Entah itu parabola, leptop atau televisi. Bahkan edit Vidio. Tapi ia hanya menunggu jika ada panggilan saja.

Itupun uangnya ia kantongi sendiri, jika aku tahu dan minta. Barulah ia menyodorkannya padaku. Jika dapat 200ribu, Ia hanya akan memberiku sekitar lima puluh ribu saja, bahkan tidak sampai dari itu.

Sore ini sebelum ashar, aku mengajak Alia berkeliling mengantarkan cucian loundry, dan pulangnya membawa kembali pakaian kotor yang akan dicuci esok hari. Udara tidak terlalu terik, hingga tak membuat kami begitu tersiksa dengan panasnya matahari.

Baru saja sampai di depan pintu gerbang rumah, aku sudah melihat Rika, adik bungsu Mas Yudha duduk di teras sambil bermain ponsel. Anak gadis satu ini, sama saja dengan abangnya. Sebelas dua belas malasnya.

"Dari mana aja sih, Mbak? Aku udah nungguin lama? Baju-bajuku sudah Mbak setrika semua, kan? Cepat buka pintunya, Mbak!" Belum lagi pantatku ini duduk, ia sudah menodongku dengan beberapa pertanyaan.

Aku turunkan Alia dari gendongan, kuraih kunci yang ada di saku celana lalu membuka pintu. Masih dengan mode diam. Aku lagi malas berdebat. Rasa capek ini membuatku rasanya ingin makan orang.

Setelah pintu terbuka, Rika menyerobot masuk tanpa permisi. Membuatku melongo memandangnya. Benar-benar tak ada sopan santunnya. Aku curiga, jangan-jangan mereka bersaudara saat lahir dulu tidak diazankan, mungkin? Makanya tingkahnya begitu menguji iman.

Aku dan Alia masuk ke dalam rumah, kuletakkan pakaian kotor yang kubawa kedalam keranjang yang ada di dekat kamar mandi. Setelah selesai aku berjalan mendekati meja makan. Menuangkan air ke dalam gelas dan meminumnya hingga tandas. Lalu meletakkan gelas itu kembali ke atas meja.

"Mbak, pakaian yang disuruh setrika oleh ibu mana?" tanyanya.

"Itu," Aku menunjuk buntelan kain yang teronggok tak berdosa di samping tivi. Mata Rika melebar.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status