“Kamu kenapa Nduk, berlari seperti dikejar setan gitu?” tanya Mbok dengan raut bingung melihat aku masuk ke dalam rumah tergesa-gesa. Nafasku naik-turun dengan degup jantung yang melompat-lompat. Aku duduk pada kursi panjang dari bamboo yang ada di ruang tamu. Meletakkan plastic gorengan yang aku pegang dan mengambil gelas yang ada pada namapan yang selalu Mbok sediakan di atas meja, menuang air pada cerek yang tebuat dari guci tananh liat itu. Dinginnya air yang masuk ke dalam tenggorokan menyegarkan. Rasa dinginnya mermbat hingga ke ubun-ubun, jantungku yang berpacu kenca perlahan-lahan mulai normal dengan nafas yang mulai teratur.Mbok dudukk di hadapanku, ia masih menugggu jawaban dari mulutku, ras penasaran tergambar jelas di wajah keriputnya itu. “Sebenarnya ada apa? Kamu bikin Mbok cemas saja Nduk?” tanyanya lagi. “Tadi Fitri ketemu sama Mas Hendra MBok. Ia maksa Fitri untuk nikah dengannya, Mbok. Aku kan jadi takut kalau dipaksa seperti itu,” jelasku. Mbok tersenyum tipis
“Eh eh, main nyomot aja ini maksudnya bagaimana? Itu kan Fitri duluan yang pilih, kenapa main comot aja sih!” sentak Mbak Rini kesal. Aku juga kesal melihatnya.“Loh, baju ini kan belum di bayar, jadi boleh donk dibeli oleh siapa saja. Dan aku suka bajunya jadi aku yang bayar!” jawab Puput dengan santainya. Benar-benar ini orang, sepertinya ia memang sedang mencari masalah denganku. Entah ada dendam apa ia sama aku, suka sekali menyenggolku. “Iya, seperti sanggup beli saja! Mantan babu mana ada uang!” timpal Risma tak kalah mencibirku. Aku sudah tak tahan lagi.“Nggak usah nyindir status pekerjaan ya Mbak Risma yang terhormat. Adik ipar aku memang mantan pembantu, tapi aku rasa masih terhormat di bandingkan mantan biduan tempat karaoke yang menikah dengan suami orang!” ucap Mbak Rini tak kalah pedasnya. Tampaknya ia sudah tak tahan lagi mendengar ucapan Risma yang menjatuhkanku. Bersama Mbak Rini aku berasa bersama dengan kakak kandung perempuanku sendiri. Selalu ada di garda terde
“Eh jaga ucapanmu ya! Jangan samakan kami dengan kalian berdua!” balas Puput tak terima dengan apa yangbak Rini ucapkan. Wajahnya memerah menahan amarah dan rasa malu. Pengunjung toko ini mulai ramai, dan sepertinya pemilik toko ini tampak tak ingin melepaskan mereka berdua sebelum mereka membayar sejumlah uang atas pakaian yang mereka ambil.“Ada apa sih ribut-ribut begini? Ada pencuri?”“Nggak tahu juga, tadi pas kesini juga sudah ramai.”“Ada apaan sih?”“Iya, bikin penasaran aja!” Bisik-bisik Ibu yang berbelanja mulai terdengar membicarakan Puput dan Risma. Bahkan mereka ada yang slah paham hingga mengira Puput dan Risma ketahuan emncuri pakaian di toko itu. “Bukan Ibu-ibu, sini saya bisiskkkan!” ujar Mbak Rini yang mendekat pada kumpulan wanita berbeda usia itu. AKu sampai tercengang melihatnya, entah sejak kapan kakak Iparku itu pergi dariku. Ia sudah seperti seorang biang gosip yang ingin menyampaikan berita terhot dan terpopuler saat ini. “Huhhh … sombong ternyata kere!” s
Pov. IwanAku ulurkan tanganku pada wanita cantik yang kini telah sah menjadi istriku. Wanita yang tutur sapanya begitu lembut serta sabarnya yang tak terbatas. Tangan lembut itu meraih tanganku, mencium punggung tanganku penuh khidmat sebagai penghormatan padaku yang kini telah sah menjadi pemimpin dalam hidupnya. Nahkoda yang membawa kapal yang kami tumpangi untuk berlayar.Wajah bersemu merah malu-malu itu membuat hatiku terpesona. Semua yang hadir mengucapkan Alhamdulillah dan memberikan ucapan selamat pada kami. “Alhamdulillah kalian sudah sah menjadi suami-istri, Nak!” ujar Ibu yang membesarkanku itu dengan haru. Aku menyalaminya dengan penuh rasa sykur dalam hidup karena telah bertemu dengannya yang penuh kasih. Andai aku tak bertemu dengannya, aku tak akan pernah tahu akan jadi apa diriku ini. Entah bagaimana rasa sakit dan kekosongan dalam diriku jika tanpa adanya kasih sayanganya yang mengobati. Ibu memelukku dengan erat, ia menangis dalam pelukanku sambil menepuk punggu
"Yur ... sayur! Sayuuuuurrr ...!" teriak Mamang sayur bertubuh gempal dengan lantang. Mang Malik Abdullah namanya, tapi ia meminta kami memanggilnya dengan sebutan Mang Charlie. Katanya biar berasa seperti penyanyi kegemarannya itu. Ahayyy ...Walau dari segi wajah tidak memadai dan jauh dari kata mirip. Namun, potongan rambut dan gaya, ok, lah. Sudah cukup menyerupai.Karena sering keseleo lidah menyebutnya. Akhirnya aku hanya memanggilnya dengan sebutan Mang Ari saja.Mang Ari berdiri di samping motornya, memencet terompet berulang kali. Ia berdiri di pinggir jalan, depan rumah tetangga di sebelah rumahku. Mendengar trompet tuet-tuet, Mang Ari, membuat ibu-ibu komplek ini berhamburan mengerumuni Mang Ari. Membuat pria itu berasa seperti seorang artis yang lagi dikerumuni penggemar. Membuat siapapun yang melihat tingkah alay Mang Ari menjadi terkekeh geli."Ehh ... Neng Zalia, mau belanja apa Neng?" sapa Mang Ari saat aku menghampiri. Banyak ibu-ibu yang belanja sayur juga menyapa pad
"Zalia!" teriak Mas Yudha dari dapur. Aku yang sedang berkutat dengan cucian di sumur ini pun jadi terkejut.Jika sudah teriak seperti ini, itu tandanya sang Nahkoda pemalas sudah bangun. "Zalia! Kuping kamu dengar apa tidak aku panggil!" teriaknya lagi.Suaranya yang menggelegar menjadi alarm sumbang di siang hari. Dengan cepat aku menghampiri, dengan baju yang sedikit basah. Karena aku sedang mencuci, makanya bajuku basah. Aku mencuci semua baju yang bertumpuk itu secara manual dengan tangan, jangankan membeli mesin cuci, untuk makan sama bayar listrik aja masih susah."Apa sih, Mas. Teriak-teriak, malu di dengar tetangga!" jawabku. Masih berusaha sopan demi menjaga Marwah sang suami."Makanya kalau punya kuping dipakai!" hardik Mas Yudha begitu ketus. Membuatku lagi-lagi mengelus dada. Degh!Nyeri sekali rasa hati ini ya Allah. Sudah capek dari pagi kerja, mencuci semua cucian pelanggan untuk mengisi perut. Sekarang justru di bentak suami. Nelongso rasanya hatiku saat ini. Jika bu
Pagi mencuci, sore hari menyetrika. Begitulah pekerjaan yang aku kerjakan setiap hari. Aku kerjakan tanpa mengeluh. Walau terkadang harus sering sekali mengelus dada. "Zalia!" Lagi-lagi sebuah teriakan mengagetkanku. Aku yang sedang menyetrika pakaian menyahut. Dari suaranya saja aku sudah tahu, itu adalah suara ibu mertuaku. Orang sekitar biasa memanggilnya Bu Nani. Aku heran Ibu dan anak itu hobby sekali memanggilku dengan berteriak. Apa pita suaranya tak sakit?"Assalamualaikum," sindirku saat ibu terdengar memasuki rumah. Awal-awal menikah ibu selalu berlaku lembut padaku, ia juga tampak begitu penyayang. Tapi setelah orang tuaku, tak mengabulkan keinginan Mas Yudha, untuk meminjam uang pada orang tuaku. Sejak itu ibu bersikap cuek dan ketus padaku.Siapa juga yang mau meminjamkan uang pada seorang lelaki pemalas. Apa lagi uang yang ia pinjam jumlahnya sangat besar. Katanya untuk membeli sebuah rumah agar aku bisa hidup nyaman. Tapi belakangan niat buruknya kebaca, ia ingin men
"Zalia! Kamu masak apa?" tanya Mas Yudha yang tiba-tiba nimbrung duduk di meja makan. Aku menatap Mas Yudha horor. Selain pemalas ternyata suamiku ini juga jorok."Mas Mandi dulu sana! Atau cuci muka, kek. Jorok banget kamu!" tegurku. Sambil mendengus Mas Yudha beranjak, mengambil handuk yang terlampir diatas pintu kamar dan berjalan ke kamar mandi.Barulah setelah mandi dan mengenakan pakaian ia kembali bergabung dengan kami di meja makan.Mulutnya berdecak melihat makanan yang kusajikan. Hanya ada tempe goreng sebagai proteinnya."Tak ada ikan, atau ayam apa, Zal?" tanyanya. Aku memutar bola mata jengah. Selalu saja pertanyaan itu yang aku dengar saat ia membuka tudung nasi. Andai ia bekerja dan berikanku nafkah seperti suami-suami di luaran sana. Jangankan ayam dan ikan, daging sapi pun aku beli untuknya. Jika aku masak ayam atau ikan hari ini, besok kami akan makan apa? Tubuhku tak selamanya kuat menjadi buruh cuci seharian. Lagi pula kebanyakan ibu-ibu komplek sekarang pada beral