Share

2. Suami parasit.

"Zalia!" teriak Mas Yudha dari dapur. Aku yang sedang berkutat dengan cucian di sumur ini pun jadi terkejut.

Jika sudah teriak seperti ini, itu tandanya sang Nahkoda pemalas sudah bangun.

"Zalia! Kuping kamu dengar apa tidak aku panggil!" teriaknya lagi.

Suaranya yang menggelegar menjadi alarm sumbang di siang hari. Dengan cepat aku menghampiri, dengan baju yang sedikit basah. Karena aku sedang mencuci, makanya bajuku basah. Aku mencuci semua baju yang bertumpuk itu secara manual dengan tangan, jangankan membeli mesin cuci, untuk makan sama bayar listrik aja masih susah.

"Apa sih, Mas. Teriak-teriak, malu di dengar tetangga!" jawabku. Masih berusaha sopan demi menjaga Marwah sang suami.

"Makanya kalau punya kuping dipakai!" hardik Mas Yudha begitu ketus. Membuatku lagi-lagi mengelus dada.

Degh!

Nyeri sekali rasa hati ini ya Allah. Sudah capek dari pagi kerja, mencuci semua cucian pelanggan untuk mengisi perut. Sekarang justru di bentak suami. Nelongso rasanya hatiku saat ini. Jika bukan karena Alia, mungkin aku sudah akan mengibarkan bendera putih sebagai tanda menyerah.

"Aku lagi nyuci di belakang, Mas. Memangnya ada apa kamu teriak-teriak? Apa tak bisa menghampiriku di belakang?" jawabku kembali. Masih mencoba bersabar dengan sikap suami durjanaku ini.

"Gak usah cerewet. Aku lapar, siapkan makanan!" perintah Mas Yudha layaknya seorang mandor yang memerintah bawahan.

Lagi-lagi aku menekan dadaku yang kembali terasa nyeri, aku merasa tak ubahnya seperti babu, bukan seorang istri.

"Sudah kusiapkan di atas meja, Mas. Bangun tidur kamu bisa tinggal makan!" ujarku dalam. Memang aku sengaja menyindir, Mas Yudha.

Matahari sudah mulai meninggi, namun lelakiku ini baru bangun. Sekalinya bangun, dia justru teriak-teriak minta makan. Padahal semua sudah dihidangkan di atas meja makan.

"Makanan apa yang kamu hidangkan, Zalia! Hanya ini?" sungut Mas Yudha tak tahu terima kasih.

Ia membanting tudung nasi itu dengan kasar. Membuatku terkejut. Untung saja Alia yang sedang tidur di ruangan depan tidak terbangun mendengar suara keras bapaknya.

Kupandang tajam lelaki yang menjadi imamku ini, yang sangat memilih-milih pekerjaan itu.

"Jika mau makan enak, makanya kasih aku uang belanja, Mas. Jangan cuma tahunya makan tidur saja!" balasku. Mata Mas Yudha yang bulat semakin membulat besar.

Rasanya stok rasa sabar di hatiku sudah mulai menipis. Sejak menikah hingga kini, Mas Yudha begitu pemilih dalam bekerja, hampir semua kebutuhan rumah tangga aku yang memenuhi. Dari hasil menjadi upah buruh cuci para tetangga.

"Kamu kan setiap bulan dapat jatah kiriman dari orang tuamu. Mana uangnya, pasti sudah masuk ke rekeningmu, kan! Sini berikan padaku!" pinta Mas Yudha kasar padaku. Aku memejamkan mataku sejenak.

"Gak ada. Mulai bulan ini uang itu aku simpan untuk masa depan Alia. Lagi pula, ibu mengirimkan uang itu untuk kebutuhan cucunya, bukan untuk kamu, Mas! Kamu itu kepala rumah tangga, Mas. Kamu yang bertanggung jawab padaku dan Alia. Bukan ibuku yang janda!" sungutku tak habis pikir.

Entah di mana letak rasa malu lelaki ini. Sudah malas bekerja, dan jarang memberi nafkah. Sekarang kiriman uang mertua untuk anaknya, mau ia pinta juga.

Ibuku memang orang berada. Almarhum bapakku seorang pensiunan tentara, selain dari gaji pensiunan almarhum bapak. Ibu juga memiliki toko pecah belah yang cukup besar di kampung, yang kini di kelola oleh Zahara, kakakku.

Setiap bulan Ibu mengirimkan uang sebesar dua juta rupiah untuk jajan serta kebutuhan Alia, putriku. Tapi mau sampai kapan, aku mengandalkan kiriman ibuku itu. Alia semakin hari semakin tumbuh besar, dan sebentar lagi kebutuhannya pun juga semakin bertambah.

Selama ini aku tak pernah cerita pada Ibu jika kehidupanku di sini susah, aku merasa sangat malu. Aku malu jika Ibu tahu, lelaki yang dulu begitu kucintai segenap hati, hingga berani menentang kedua orang tuaku dulu. Adalah lelaki yang tak bertanggung jawab dan pemalas.

"Loh kok! Kamu mulai perhitungan gitu, dek! Alia itu masih kecil, kebutuhannya juga belum banyak-banyak amat. Sini uangnya setengah! Mas mau makan di warung makan saja," perintah Mas Yudha.

Benar-benar tidak ada rasa malu. Mas Yudha memaksaku untuk memberikan uang kiriman orang tuaku itu, hanya untuk memenuhi perutnya sendiri.

"Gak ada. Kalau kamu mau makan enak, makanya kerja! Jika tidak, makan saja apa yang ada. Masih untung bisa makan, dari pada kelaparan!" sungutku.

Aku begitu kekeuh tidak mau memberikan uang itu. Tidak ada hak Mas Yudha sedikitpun atas uang itu.

Selama ini uang kiriman orang tuaku selalu aku berikan pada Mas Yudha setiap ia meminta. Alasannya untuk ongkos pergi kerja, tapi nyatanya, uang itu Mas Yudha habiskan untuk makan enak seorang diri di luaran sana.

Sedangkan untuk makanku dan Alia, ia seolah tak mau tahu menahu. Mau anak istrinya ini sudah makan atau tidak.

Belum lagi uang kontrakan sebesar tiga ratus ribu sebulan, Mas Yudha seolah menutup mata dan membiarkan ibu pemilik kontrakan menemuiku. Semuanya ia limpahkan padaku.

Brakkk ...

Prang ...

Mas Yudha mengebrak meja dengan marah lalu lanjut membanting piring. Begitu lah sifatnya jika marah saat keinginannya tidak di turuti. Terkadang aku berpikir, betapa bodohnya diriku. Kenapa dulu mau saja termakan janji manis pria tak bertanggung jawab ini, yang katanya akan membahagiakanku. Tapi nyatanya, jangankan membahagiakan. Memberikan kehidupan yang layak, bisa makan tiga kali sehari saja dia tak mampu!

Komen (2)
goodnovel comment avatar
Idadalia Mutiara79
lagian ngapain seh di kasih tau kalo orang tua ngirim uang...
goodnovel comment avatar
Rieca Chandra
Tinggalin aj biar jd gembel
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status