Share

6. Rasain kamu, Mas!

Jam menunjukkan pukul sebelas malam saat pintu di gedor kuat oleh Mas Yudha. Pria itu pulang larut malam. Entah dari mana? Tanpa menghidupkan lampu, aku mengintip sedikit dari jendela, tampak Mas Yudha berjalan sempoyongan.

Membuat hatiku geram. Bukannya kerja cari duit, pria ini justru keluyuran gak jelas. Sekali pulang malah dalam keadaan setengah teler.

Dadaku bergemuruh hebat, dengan sejuta rasa dongkol di hati.

"Zalia! Buka pintunya!" teriaknya lantang. Tangannya menggedor-gedor pintu begitu kuat.

Aku bingung, di buka bikin kesal. Tapi di biarkan bikin gaduh!

Ya Tuhan ... nasibku dapat suami kok gini amad, ya?

"Zalia! Buka!" Lagi-lagi Mas Yudha berteriak. Aku berlari ke kamar mandi membawa seember air hingga menuju pintu depan.

Betul tebakanku Mas Yudha kembali berteriak dan menggedor pintu dengan kencangnya. Pria ini selain tak tahu malu juga tak tahu diri.

Byurrrrr ...

Aku siram Mas Yudha dengan air seember yang aku bawa setelah aku membuka pintu. Wajahnya yang kuyu semakin kuyu saja saat aku siram. Ia tampak kaget, dengan rahang yang mengeras dan wajah yang memerah menatapku nanar.

"Apa kau sudah gila, Zalia?! Suami pulang bukannya di sambut baik malah di guyur air seperti ini!" sungutnya. Beberapa tetangga yang lewat memperhatikan kami dengan minat. Mungkin mereka pikir sebentar lagi akan ada drama live pertengkaran rumah tangga gratis dengan tema 'suami mabuk di guyur air seember oleh istri'.

"Kamu yang gak punya otak, Mas. Seharian keluyuran bukannya kerja, malah mabuk-mabukan gak jelas!" sungutku tak kalah lantang. Sudah cukup aku bersabar dengan tingkahnya selama ini. Ingin rasanya ku tentang lelaki yang ada di hadapanku ini.

"Gak usah ngatur-ngatur kamu. Terserah aku mau pulang jam berapa, mau kemana. Itu semua hakku. Kamu gak usah cerewet! Tugasmu itu cuma dirumah." tandasnya. Dengan tubuh basah dan sempoyongan Mas Yudha ingin masuk ke rumah. Dengan cepat aku menahan tubuhnya. Aku tahu betul kebiasaan Mas Yudha saat mabuk. Ia pasti akan muntah sembarangan di rumah, dan itu artinya akan ada kerja tambahan lagi untukku.

Aku mendorong tubuh sempoyongan itu hingga ia terjerembab jatuh ke bawah.

"Kamu gak boleh masuk ke dalam rumah jika masih dalam ke adaan mabuk, Mas! Malam ini kamu tidur di luar!"

Mata Mas Yudha menatapku menyalang, matanya merah menyala-nyala. Namun aku tak takut. Sudah cukup aku diam saja selama ini.

"Jangan kurang ajar sama suami kamu, Zalia! Ini juga rumahku! Berani sekali kamu melarang aku untuk masuk!" bentaknya.

"Tapi aku yang membayar kontrakannya setiap bulan. Jadi aku yang lebih berhak untuk memutuskan. Jika kamu mau tidur, sana, pulang saja kerumah ibumu! Biar ibumu yang mengurus semua muntahmu nanti!" balasku tak kalah lantangnya. Aku berlalu pergi menutup pintu dengan rapat.

Tak kuhiraukan suara lantang Mas Yudha yang masih terdengar di luar. Ia memaki dan mengumpat diriku dengan marah. Dasar lelaki pemalas yang hanya bisa menyusahkan.

Jika biasanya aku hanya akan menangis dan meratap dengan semua sikapnya padaku. Tapi kali ini tidak lagi. Aku tak mau lagi di perlakukan semena-mena olehnya. Tidak akan!

Rasain kamu, Mas!

🍁🍁🍁

Pagi yang cerah, seindah kicau burung di pagi hari. Setelah sholat subuh dan mengepak semua pakaian pelanggan yang sudah di setrika aku membuka pintu serta jendela agar udara pagi masuk ke dalam rumah.

Aku tak melihat batang hidung Mas Yudha di teras. Sepertinya semalam ia pulang kerumah Ibunya. Aku tak peduli. Toh, ada dan tak ada dia sama saja. Tak ada bedanya!

Aku mengambil dompet dan keluar rumah sebentar, berjalan ke arah kiri. Alia masih tidur, jadi kutinggal sebentar. Kelang lima rumah dari rumahku ada kedai kecil yang menjual aneka makanan sarapan pagi. Dari lontong, nasi uduk serta aneka gorengan. Aku ingin membeli sebungkus lontong plus telor untuk sarapan pagiku dan Alia. Sebelum aku mengajaknya pergi berkeliling mengantarkan pakaian yang sudah kucuci kemaren. Cepat diantar maka cepat aku mendapatkan uang untuk biaya hidup kami.

Tiga hari lagi, Ibu pemilik kontrakan rumah akan datang menagih uang sewa. Jika aku tak cepat kerja maka mau ku bayar pakai apa sewa rumah itu. Ngandelin Mas Yudha, cuma mimpi indah di siang bolong.

"Eh ... ada neng Zalia. Tumben Neng, mau pesan apa?" sapa Buk Siti penjual sarapan pagi itu ramah.

Aku tersenyum. "Zalia pesan lontong sayur pakai telor satu, buk. Bungkus, ya!" pintaku.

"Sebentar, ya, Neng. Ibu bungkusan dulu," ujar Bu Siti. Aku mengangguk. Mau duduk, tapi bangku panjang itu sudah penuh berjejel dengan para ibu-ibu yang mengantri membeli sarapan pagi. Bahkan ada yang juga makan di tempat.

"Zalia ... Mbak mau nanya, kamu jangan marah, ya!" ujar Mbak Ika tetangga yang tinggal di gang ujung, gang cempaka. Ia tampak ragu-ragu.

"Memangnya mau tanya apa, Mbak?" tanyaku.

"Gini Zal ..." Mbak Ika berdiri dari duduknya, ia menarik tubuhku untuk sedikit menjauh dari kerumunan para ibu-ibu yang salah satu diantaranya adalah ratu gosip. Siapa lagi kalau bukan Mbak Wulan istrinya Mas Irwan, seorang karyawan bank swasta.

"Ada apa sih, Mbak. Kenapa harus jauh-jauh begini?" tanyaku heran. Ia mengajakku hingga di bawah pohon rumah sebelah.

"Kemaren mbak lihat suami kamu, keluar dari rumah janda yang tinggal di ujung komplek sana. Mbak cuma mau ingatin kamu, Zal. Hati-hati! Itu janda selain gatal juga jualan! Mbak gak mau kamu di bodohi suamimu!" ujar Mbak Ika membuat mataku membulat sempurna.

"Serius Mbak? Mbak gak bohong, kan?" tanyaku memastikan.

"Ngapain Mbak bohong, bukan suamimu saja. Tapi Norman, kakak iparmu itu juga sering ke sana," jelas Mbak Ika.

"Mas Norman suaminya Mbak Intan?" tanyaku serasa tak percaya. Karena selama ini Mbak Intan seolah menyombongkan diri jika suaminya itu bucin padanya. Walau terkadang aku suka iri melihat kemewahan yang di pamerkan Mbak Intan. Mas Norman suaminya seorang mandor pabrik tekstil. Selain gajinya yang gede. Mas Norman juga tipe pria yang tak pelit sama istri.

"Memangnya siapa lagi, Zalia! Eh ... udah dulu, ya, Zal. Pesanan Mbak udah siap," Mbak Ika pergi ke tempat Bu Siti mengambil pesanannya. Ia berlalu pergi meninggalkanku yang berdiri kaku di sini.

Hatiku remuk dan geram. Sangat geram, sudah pengangguran tak berguna, ternyata suamiku juga main gila dengan janda. Bikin aku ingin memotong adik kecilnya itu dengan golok.

Awas saja kamu mas, kalau sampai ketahuan kamu juga main serong di belakangku! Tak ada maaf bagimu, Mas!

Comments (1)
goodnovel comment avatar
Ida Nurjanah
aduh ,suami model ky gitu tinggalin aja.....ga guna dan mau enak nya aja ,ayo tinggalin cepet ....ntar ketularan spilis dri janda yg salome ,celup sana sini .
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status