Share

8. Mas Norman.

Karena ketutupan dahan pohon dan sebuah spanduk membuat orang tidak dapat melihat langsung keberadaanku. Namun aku bisa melihat pemandangan di depanku secara jelas.

Aku melihat seorang lelaki tinggi tegap keluar dari rumah itu. Janda itu melambai mesra dengan pria itu. Karena pria itu masih menoleh ke arah rumah, sehingga membuatku tak dapat melihat wajahnya secara langsung. Tapi melihat pakaian dan postur tubuhnya, aku merasa seperti sangat familiar.

Dalam beberapa menit mereka berdua masih saling melempar kissbay dan rayuan gombal yang membuat siapapun yang melihat menjadi mual. Seperti aku yang geli melihat gelagat mereka yang malu-malu guk ... guk.

"Mas Norman," gumamku lirih. Saat pria itu membalikkan tubuhnya, untuk menaiki motor yang terparkir di teras rumah itu. Mataku bulatku melebar seakan tak percaya dengan apa yang aku lihat, ngapain Mas Norman keluar dari rumah janda dengan keadaan rambut basah.

Sepertinya ia habis mandi? Mandi di siang hari terik, di rumah janda?

Kok aku seraya tak percaya, ya.

Mas Norman yang terkenal bucin pada istrinya, justru main janda?

Mas Norman tinggal di rumah Ibu mertuaku bersama istrinya. Letak rumah ibu mertua sekitar lima menit dari rumahku yang masih berada dalam satu komplek 'komplek perumahan lama' namanya.

Sedangkan rumah janda ini jaraknya lima menit dari rumahku yang sudah beda komplek dan beda RT. Secara garis besar, rumahku berada di tengah-tengah antara rumah ibu dan rumah janda ini.

Aku berdecak kagum, rumah janda ini sudah termasuk komplek perumahan elit. Dengan uang muka dan angsuran cukup tinggi. 'Perum Asri' namanya, tapi warga komplek kami bilang perumah orang kaya. Selain ukuran tanahnya yang cukup luas untuk setiap kapling dan tipe rumah juga cukup besar dari perumahan yang lain, yaitu tipe 84

Sedangkan aku, ah ... boro-boro mau ngambil ansuran perumahan, bayar kontrakan 300ribu sebulan aja rasa megap-megap.

Rumah yang aku kontrak memang merupakan perumahan yang tidak di huni oleh pemiliknya. Katanya sih untuk anaknya yang sudah menikah, karena anaknya pindah keluar kota, sehingga rumah itu tidak jadi di tempati. Makanya kami dapat mengontrak rumah beserta isinya itu.

Aku jadi penasaran bagaimana jika Mbak Intan tahu, kalau suaminya main serong dengan janda? Ah ... biarlah, bukan urusanku ini. Lagi pula Mbak Intan juga selalu ketus padaku. Sesama perempuan bukannya saling dukung, eh dia justru selalu menjatuhkanku.

Namun, bagaimana dengan Mas Yudha?

Apa dia juga main serong dengan janda itu juga?

Jika ia, berarti Mas Yudha dan Mas Norman?

Ya Allah ... kepalaku rasanya mau pecah di buatnya. Napasku terasa sesak, Astagfirullah al'azim, semoga saja itu tidak benar ya Allah.

"Dari mana aja kamu, Zalia? Kenapa jam segini, belum masak?" bentak Mas Yudha. Aku yang letih baru pulang ke rumah, sehabis mengantarkan pakaian, sudah mendapatkan sambutan bentakan.

Keringat di tubuhku belum kering, kaki yang letih berjalan belum sempat selonjor. Tapi, aku sudah dapat bentakan seolah aku hanya pergi bermain saja seharian ini.

Kata orang pernikahan itu ladang pahala, tapi tidak untukku. Pernikahanku ini sudah seperti neraka bagiku.

"Aku baru pulang, Mas. Aku capek! Bisa gak ngomel-ngomel" jawabku. Kuletakkan Alia yang sedang tidur di gendonganku keatas tikar yang ada di depan tv. Jika kuletakkan di kamar takutnya ia terbangun dengan cuaca yang panas begini.

"Makanya kalau gak mau suami ngomel. Sebelum pergi itu masak dulu. Atau setidaknya kamu pulang bawa makanan. Ini disuruh beli lontong, malah gak pakai telor! Gak becus banget kamu jadi istri!" lagi-lagi aku, aku lagi ... yang di salahin. Semuanya salah aku. Gak ada makanan salahku! Gak ada uang salahku, semua salahku. Sebenarnya yang kepala rumah tangga ini aku atau dia, sih.

"Memangnya kamu ada ngasih aku uang untuk belanja, Mas?" jawabku santai. Aku mengambil gelas dan mengisinya dengan air. Aku minum air itu hingga tandas. Tenggorokanku rasanya begitu kering.

Aku dan Alia tadi sudah makan sate di pinggir jalan, dekat simpang tadi, sepulang dari mengantar pakaian. Perutku yang melilit karena belum menyentuh nasi sejak pagi, rasanya sudah tak kuat lagi jika harus menunggu sampai rumah.

Lima ribu seporsi, adalah porsi yang jauh dari kata kenyang. Tapi cukup untuk mengganjal perut sementara. Bukannya tak mau membeli seperti orang banyak, tapi uang yang kudapat ini hanya cukup untuk membayar kontrakan yang sudah jatuh tempo.

"Kamu ini kalau di bilang suami malah jawab! Kamu kan, baru dapat upah. Apa salahnya sih, sisihkan sedikit untuk membelikanku makanan. Belikan ayam bakar sepotong, paling cuma sepuluh ribu!" ujar Mas Yudha enteng.

Ya Allah beri kesabaran hamba untuk menghadapi suami model Mas Yudha. Andai bercerai tidak di benci oleh agama, mungkin sejak dulu aku bercerai dengannya. Karena mengharapkan Mas Yudha berubah, sepertinya mengharapkan ayam bertelur emas. Tak akan jadi kenyataan.

"Kamu dengar gak yang aku omongin, Zalia?" bentak Mas Yudha lagi. Aku menutup mata sejenak dan menghembusnya secara perlahan. Mengatur deru hati yang mulai terbakar emosi.

"Aku dengar, Mas. Gak usah teriak-teriak! Aku bukan babumu! Sebelum kamu memarahiku seharusnya kamu introspeksi diri dulu, Mas! Memangnya kamu ada ngasih aku uang untuk belanja? Memangnya kamu ada ngasih nafkah untukku?" sungutku. Emosiku lepas juga akhirnya. Semakin disabar-sabarin, semakin menjadi.

"Lancang sekali kamu, Zalia!" sungut Mas Yudha.

Plakk ...

Mata ini terbelalak merasakan tangannya melayang ke pipi ini. Kuraba pipi yang terasa perih karena sudut bibirku yang pecah. Namun sakitnya menjalar hingga ke hati. Bahkan lebih sakit lagi di sana.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status