Karena ketutupan dahan pohon dan sebuah spanduk membuat orang tidak dapat melihat langsung keberadaanku. Namun aku bisa melihat pemandangan di depanku secara jelas. Aku melihat seorang lelaki tinggi tegap keluar dari rumah itu. Janda itu melambai mesra dengan pria itu. Karena pria itu masih menoleh ke arah rumah, sehingga membuatku tak dapat melihat wajahnya secara langsung. Tapi melihat pakaian dan postur tubuhnya, aku merasa seperti sangat familiar.Dalam beberapa menit mereka berdua masih saling melempar kissbay dan rayuan gombal yang membuat siapapun yang melihat menjadi mual. Seperti aku yang geli melihat gelagat mereka yang malu-malu guk ... guk. "Mas Norman," gumamku lirih. Saat pria itu membalikkan tubuhnya, untuk menaiki motor yang terparkir di teras rumah itu. Mataku bulatku melebar seakan tak percaya dengan apa yang aku lihat, ngapain Mas Norman keluar dari rumah janda dengan keadaan rambut basah.Sepertinya ia habis mandi? Mandi di siang hari terik, di rumah janda?Kok a
Kamu memukulku, Mas?" tanyaku seakan tak percaya.Aku menatap mas Yudha dengan nyalang, mataku berkaca-kaca. Selama menikah ini lah pertama kali ia melayangkan tangannya ke tubuhku."Istri yang tak berbakti sepertimu, memang pantas di pukul!" ujarnya."Istri tidak berbakti? Kurang berbakti apa lagi aku padamu, Mas! Aku yang banting tulang menafkahi keluarga ini, sedangkan kamu ..." Kutunjuk wajah lelaki yang menjadi imamku itu dengan geram. "Kamu hanya makan tidur! Saat kamu lapar kamu hanya bisa menjerit dan memerintah! Apa fungsimu sebagai suami, Mas? Tak ada! Aku perempuan bersuami, tapi hidup layaknya seorang janda!" sungutku lantang. Meledak sudah bom di hati ini.Selama ini aku sudah cukup bersabar dengan semua sikap dan perilakunya. Tapi tidak kali ini. Habis sudah batas kesabaranku."Jadi sekarang kamu sudah berani melawanku, Zalia! Aku marah karena kamu tak tahu tugasmu sebagai seorang istri. Seharusnya kamu itu masak dulu sebelum berangkat. Ini suami pulang tak ada makanan d
Dengan langkah pasti aku menarik kembali koperku, membuka pintu rumah dan berjalan keluar. Alia semakin menangis menjerit memanggil namaku. "Zalia apa kamu tidak kasihan melihat anakmu ini? Ibu macam apa kamu ini, hanya memikirkan egoismu sendiri!" makinya membuat langkah kakiku terhenti.Aku menoleh ke belakang. Sebenarnya hati ini tak tega melihat putriku yang menjerit sedih begitu. Aku berjalan mendekati Mas Yudha, merampas Alia dari gendongannya saat ia lengah. Lalu bergerak mundur menjauhi dirinya."Aku berubah pikiran, Mas. Aku pergi membawa Alia," Mas Yudha mengerang kesal dengan tindakanku. "Jika kamu berani mendekat. Jangan salahkan aku untuk teriak. Biar semua orang di komplek ini tahu siapa kamu!" ancamku. Posisi kami yang kini berada di teras rumah memudahkanku untuk menekannya. Jika ia macam-macam, maka aku akan berteriak dan membuat suasana semakin ramai. Apa lagi luka yang ada di sudut bibirku bekas tamparannya tadi, bisa kujadikan bukti tindakan KDRT.Mas Yudha tamp
Setelah menempuh perjalanan satu jam, akhirnya aku sampai di rumah ibu. Hanya buah jeruk satu kilo yang kubeli di halte bis tadi, kubawa sebagai buah tangan. Agar jangan kosong-kosong sekali, saat aku pulang.Ibu terkejut melihat kedatangan kami secara tiba-tiba. "Loh ... kok pulang gak ngabar-ngarin, Zal. Yudha mana? Kalian pulang cuma berdua?" tanya Ibu. Matanya awas meneliti keberadaan Mas Yudha di belakangku. Dahi keriputnya semakin berkerut, saat mendapati yang di cari tak ada."Masuk, Nduk! Kalian pasti lapar. Ibu tadi masak semur jengkol sama goreng ikan asin, pasti kamu suka," ajak Ibuku. Baru mendengarnya namanya saja, cacing di perutku langsung bergoyang. Semur jengkol buatan ibu begitu nikmat. Kuah yang kental perpaduan antara rasa pedas dan manis membuat air liurku terasa ingin keluar. Aku masuk kerumah dan langsung menuju meja makan, Alia di sambut ibu dan duduk di pangkuannya.Aku mengambil nasi dan membuka tudung saji. Tempe goreng, ikan asin goreng, lalap timun dan
"Assalamualaikum," suara Mbak Zahra menyadarkanku dari lamunan. "Waalaikum salam, Mbak." sahutku. Aku yang sedang duduk di sofa bangkit mendekat pada Mbak Zahra dan menyalaminya.Mbak Zahra datang bersama anak bungsunya, Nabila. "Loh ... ada kamu, Zal?! Kapan sampai?" tanyanya kaget melihat keberadaanku. "Kemaren Mbak, sebelum magrib." jawabku. Nabila berlari ke taman samping, ke tempat Ibu dan Alia berada.Mbak Zahra duduk di hadapanku, menyenderkan punggungnya ke sofa sambil menyilangkan kakinya. Persis layaknya seorang nyonya. Nyonya besar."Suami kamu mana, Zal? Kok, Mbak gak nampak?" tanyanya lagi. Karena setiap pulang ke rumah Ibu, aku selalu bersama Mas Yudha. Padahal jarak antara rumahku dan Ibu hanya satu jam. Ibu tinggal di kota besar sedangkan aku di kabupaten. Tapi Mas Yudha tidak pernah mengizinkanku pulang sendiri. "Mas Yudha sedang sibuk, Mbak. Jadi hanya aku dan Alia saja yang pulang." jawabku bohong. Mbak Zahra mencebikkan bibirnya seolah mengejek. "Sibuk apa? Su
"Terserah lah! Asal jangan nyesel aja nantinya. Dan jangan nyusahin Ibu!" sentak Mbak Zahra padaku. "Apa kamu lupa, siapa yang dulu ngotot banget pengen nikah sama Yudha. Bahkan bela-belain berhenti kuliah! Sekarang malah ngotot ingin pisah, apa kamu gak malu, hah?" Aku menggigit bibir bawahku, sedih dan bercampur kesal. Aku sedih ternyata lelaki yang aku perjuangkan mati-matian justru membuatku kecewa. Namun aku juga kesal, kenapa Mbak Zahra sedari tadi selalu saja memojokkanku. Apa masalahnya padaku?"Jika aku tahu Mas Yudha seperti itu, tentu aku tidak akan mau menikah dengannya, Mbak. Namanya juga jodohku seperti itu, Mbak. Jika aku dapat suami penurut seperti Mas Hadi, tentu aku tidak akan bercerai darinya." balasku. Braakk ...Mbak Zahra mengebrak meja dengan kuat, membuat Ibu menjadi terkejut. Begitu pula dengan Nabila dan Alia yang duduk bersama kami."Apa maksud kamu, Zalia? Kamu mau menggoda suamiku, Mas Hadi? Dasar wanita genit kamu, ya?!" maki Mbak Zahra. Astagfirullah
Waktu berjalan seiring irama kehidupan ini. Tak pernah mau menunggu. Tak terasa sudah satu bulan aku di rumah Ibu. Ibu tak mengizinkanku untuk pindah, apalagi mengontrak rumah. Katanya rumah ini cukup besar jika harus ia tempati sendiri, ia ingin di hari tuanya berkumpul bersama anak dan cucu. Tentu aku tak tega mendengar permintaan Ibu. Atas saran Ibu, untuk sementara waktu aku tak perlu bekerja jadi buruh cuci lagi. Aku cukup di rumah membantu Ibu sambil memantau sekiranya usaha apa yang cocok denganku.Andai hidup ini adalah permainan game, maka aku akan memilih 'game over' dan memulai semuanya lagi dari awal!Namun kenyataannya tak semudah itu. Hari-hari kulalui di sini dengan begitu pahit. Ibu memang memperlakukanku begitu baik, kasih sayang yang ia berikan padaku dan Alia tak berkurang sedikitpun.Mbak Zahra masih sama seperti awal aku datang ke sini. Ia masih begitu sinis dan seolah tak suka akan kedatanganku. Sedangkan suamiku, Mas Yudha. Tak pernah sekalipun menelpon, setind
"Seperti yang sudah Ibu bilang tadi, itu uang pembagian hasil toko. Ibu sudah tua Zalia, Ibu juga tidak mungkin mengelola toko itu lagi. Itu sebabnya dulu Ibu memintamu untuk pulang. Ibu berencana membagi toko itu pada kalian berdua. Namun, kamu tak datang dan juga susah dihubungi, jadi ibu memutuskan untuk Zahra mengelola toko itu untuk sementara waktu. Sedangkan hasil dari pendapatan toko itu di bagi tiga." Ibu menjeda ucapannya sesaat sambil menarik napas lelah. Aku mendengarkan baik-baik penjelasan Ibu."10% dari hasil pendapatan bersih toko setiap bulan diwakafkan untuk para anak yatim dan duafa . Sedangkan sisanya di bagi tiga secara adil dan rata. Masing-masing dari kita mendapatkan jatah 30%. Sedangkan Mbakmu Zahra, karena ia ikut mengelola, maka ia juga mendapatkan tambahan upah layaknya karyawan toko. Ibu sudah tua Zalia, untuk apa lagi Ibu menimbun harta. Itu sebabnya Ibu membagikan hasil toko itu. Ibu juga tidak mungkin menjualnya pada orang lain. Kamu tahu sendiri kan, N