Pov. IwanAku ulurkan tanganku pada wanita cantik yang kini telah sah menjadi istriku. Wanita yang tutur sapanya begitu lembut serta sabarnya yang tak terbatas. Tangan lembut itu meraih tanganku, mencium punggung tanganku penuh khidmat sebagai penghormatan padaku yang kini telah sah menjadi pemimpin dalam hidupnya. Nahkoda yang membawa kapal yang kami tumpangi untuk berlayar.Wajah bersemu merah malu-malu itu membuat hatiku terpesona. Semua yang hadir mengucapkan Alhamdulillah dan memberikan ucapan selamat pada kami. “Alhamdulillah kalian sudah sah menjadi suami-istri, Nak!” ujar Ibu yang membesarkanku itu dengan haru. Aku menyalaminya dengan penuh rasa sykur dalam hidup karena telah bertemu dengannya yang penuh kasih. Andai aku tak bertemu dengannya, aku tak akan pernah tahu akan jadi apa diriku ini. Entah bagaimana rasa sakit dan kekosongan dalam diriku jika tanpa adanya kasih sayanganya yang mengobati. Ibu memelukku dengan erat, ia menangis dalam pelukanku sambil menepuk punggu
"Yur ... sayur! Sayuuuuurrr ...!" teriak Mamang sayur bertubuh gempal dengan lantang. Mang Malik Abdullah namanya, tapi ia meminta kami memanggilnya dengan sebutan Mang Charlie. Katanya biar berasa seperti penyanyi kegemarannya itu. Ahayyy ...Walau dari segi wajah tidak memadai dan jauh dari kata mirip. Namun, potongan rambut dan gaya, ok, lah. Sudah cukup menyerupai.Karena sering keseleo lidah menyebutnya. Akhirnya aku hanya memanggilnya dengan sebutan Mang Ari saja.Mang Ari berdiri di samping motornya, memencet terompet berulang kali. Ia berdiri di pinggir jalan, depan rumah tetangga di sebelah rumahku. Mendengar trompet tuet-tuet, Mang Ari, membuat ibu-ibu komplek ini berhamburan mengerumuni Mang Ari. Membuat pria itu berasa seperti seorang artis yang lagi dikerumuni penggemar. Membuat siapapun yang melihat tingkah alay Mang Ari menjadi terkekeh geli."Ehh ... Neng Zalia, mau belanja apa Neng?" sapa Mang Ari saat aku menghampiri. Banyak ibu-ibu yang belanja sayur juga menyapa pad
"Zalia!" teriak Mas Yudha dari dapur. Aku yang sedang berkutat dengan cucian di sumur ini pun jadi terkejut.Jika sudah teriak seperti ini, itu tandanya sang Nahkoda pemalas sudah bangun. "Zalia! Kuping kamu dengar apa tidak aku panggil!" teriaknya lagi.Suaranya yang menggelegar menjadi alarm sumbang di siang hari. Dengan cepat aku menghampiri, dengan baju yang sedikit basah. Karena aku sedang mencuci, makanya bajuku basah. Aku mencuci semua baju yang bertumpuk itu secara manual dengan tangan, jangankan membeli mesin cuci, untuk makan sama bayar listrik aja masih susah."Apa sih, Mas. Teriak-teriak, malu di dengar tetangga!" jawabku. Masih berusaha sopan demi menjaga Marwah sang suami."Makanya kalau punya kuping dipakai!" hardik Mas Yudha begitu ketus. Membuatku lagi-lagi mengelus dada. Degh!Nyeri sekali rasa hati ini ya Allah. Sudah capek dari pagi kerja, mencuci semua cucian pelanggan untuk mengisi perut. Sekarang justru di bentak suami. Nelongso rasanya hatiku saat ini. Jika bu
Pagi mencuci, sore hari menyetrika. Begitulah pekerjaan yang aku kerjakan setiap hari. Aku kerjakan tanpa mengeluh. Walau terkadang harus sering sekali mengelus dada. "Zalia!" Lagi-lagi sebuah teriakan mengagetkanku. Aku yang sedang menyetrika pakaian menyahut. Dari suaranya saja aku sudah tahu, itu adalah suara ibu mertuaku. Orang sekitar biasa memanggilnya Bu Nani. Aku heran Ibu dan anak itu hobby sekali memanggilku dengan berteriak. Apa pita suaranya tak sakit?"Assalamualaikum," sindirku saat ibu terdengar memasuki rumah. Awal-awal menikah ibu selalu berlaku lembut padaku, ia juga tampak begitu penyayang. Tapi setelah orang tuaku, tak mengabulkan keinginan Mas Yudha, untuk meminjam uang pada orang tuaku. Sejak itu ibu bersikap cuek dan ketus padaku.Siapa juga yang mau meminjamkan uang pada seorang lelaki pemalas. Apa lagi uang yang ia pinjam jumlahnya sangat besar. Katanya untuk membeli sebuah rumah agar aku bisa hidup nyaman. Tapi belakangan niat buruknya kebaca, ia ingin men
"Zalia! Kamu masak apa?" tanya Mas Yudha yang tiba-tiba nimbrung duduk di meja makan. Aku menatap Mas Yudha horor. Selain pemalas ternyata suamiku ini juga jorok."Mas Mandi dulu sana! Atau cuci muka, kek. Jorok banget kamu!" tegurku. Sambil mendengus Mas Yudha beranjak, mengambil handuk yang terlampir diatas pintu kamar dan berjalan ke kamar mandi.Barulah setelah mandi dan mengenakan pakaian ia kembali bergabung dengan kami di meja makan.Mulutnya berdecak melihat makanan yang kusajikan. Hanya ada tempe goreng sebagai proteinnya."Tak ada ikan, atau ayam apa, Zal?" tanyanya. Aku memutar bola mata jengah. Selalu saja pertanyaan itu yang aku dengar saat ia membuka tudung nasi. Andai ia bekerja dan berikanku nafkah seperti suami-suami di luaran sana. Jangankan ayam dan ikan, daging sapi pun aku beli untuknya. Jika aku masak ayam atau ikan hari ini, besok kami akan makan apa? Tubuhku tak selamanya kuat menjadi buruh cuci seharian. Lagi pula kebanyakan ibu-ibu komplek sekarang pada beral
"Loh ... belum Mbak setrika? Gimana sih ... Mbak! Itu baju mau aku pakai sekarang?" omelnya. Namun aku tak peduli. Aku justru duduk santai di lantai, di samping Alia yang menghadap kipas angin. Ah ... sejuk sekali. Aku memang sengaja tidak menyetrika pakaian itu. Awalnya aku berniat memisahkan baju mertuaku dan menyetrika baju mertuaku saja. Namun betapa terkejutnya diriku. Ternyata semua buntalan itu berisi baju-baju Rika, Mbak Intan dan Mas Norman. Tentu saja aku menolak untuk menyetrika baju-baju mereka. Mereka pikir aku ini pembantu gratisan apa. Ogah!"Mbak! Ditanya kok gak di jawab, sih! Kenapa bajunya belum disetrika? Cepat setrika sekarang, nanti aku kesini lagi untuk mengambilnya!" perintah Rika layaknya seorang nyonya. Aku langsung berdiri dan mengambil buntalan itu dan meletakkan dihadapannya."Gak usah nunggu nanti. Sekarang kamu bawa pakaian ini pulang segera! Kamu dan Mbak Intan masih punya tangan untuk menyetrika baju kalian sendiri, kan?" ujarku marah. "Loh ... itu
Jam menunjukkan pukul sebelas malam saat pintu di gedor kuat oleh Mas Yudha. Pria itu pulang larut malam. Entah dari mana? Tanpa menghidupkan lampu, aku mengintip sedikit dari jendela, tampak Mas Yudha berjalan sempoyongan.Membuat hatiku geram. Bukannya kerja cari duit, pria ini justru keluyuran gak jelas. Sekali pulang malah dalam keadaan setengah teler.Dadaku bergemuruh hebat, dengan sejuta rasa dongkol di hati. "Zalia! Buka pintunya!" teriaknya lantang. Tangannya menggedor-gedor pintu begitu kuat.Aku bingung, di buka bikin kesal. Tapi di biarkan bikin gaduh!Ya Tuhan ... nasibku dapat suami kok gini amad, ya?"Zalia! Buka!" Lagi-lagi Mas Yudha berteriak. Aku berlari ke kamar mandi membawa seember air hingga menuju pintu depan.Betul tebakanku Mas Yudha kembali berteriak dan menggedor pintu dengan kencangnya. Pria ini selain tak tahu malu juga tak tahu diri.Byurrrrr ...Aku siram Mas Yudha dengan air seember yang aku bawa setelah aku membuka pintu. Wajahnya yang kuyu semakin kuy
Setelah Alia bangun dan mandi, aku menyuapinya dengan lontong yang kubeli tadi. "Ma ... mamam!" teriak gadis kecil itu membuatkan lamunanku."Astagfirullah al'azim," ucapku. Ternyata sedari tadi aku melamun hingga tak sadar bukan mulut putriku yang aku suapi, tapi gelas yang berisi air. "Maaf sayang. Maaf, ya, Nak!" ujarku dengan rasa bersalah. Aku kembali menyuapi Alia. Pikiranku menjadi tak fokus sejak berbicara dengan Mbak Ika tadi. Aku masih tak habis pikir, jika Mas Yudha tega melakukan itu. Apa betul ia main serong dengan janda ujung komplek? Atau Mbak Ika salah lihat.Jika Mas Norman aku masih percaya, karena ia memiliki uang. Namun Mas Yudha? Entahlah, aku bingung."Eh ... eh ... suami sedang sakit, kamu malah enak-enakan makan lontong telur di rumah. Benar-benar istri tak berbudi, kamu ini, ya, Zalia!" bentak Ibu yang tiba-tiba datang mengagetkanku. Ibu mertuaku ini nongol Sudah seperti jin iprit saja, tak bersuara dan tak berbunyi. Tahu-tahu sudah ngomel di depan mukaku."D