"Zalia! Kamu masak apa?" tanya Mas Yudha yang tiba-tiba nimbrung duduk di meja makan. Aku menatap Mas Yudha horor. Selain pemalas ternyata suamiku ini juga jorok."Mas Mandi dulu sana! Atau cuci muka, kek. Jorok banget kamu!" tegurku. Sambil mendengus Mas Yudha beranjak, mengambil handuk yang terlampir diatas pintu kamar dan berjalan ke kamar mandi.Barulah setelah mandi dan mengenakan pakaian ia kembali bergabung dengan kami di meja makan.Mulutnya berdecak melihat makanan yang kusajikan. Hanya ada tempe goreng sebagai proteinnya."Tak ada ikan, atau ayam apa, Zal?" tanyanya. Aku memutar bola mata jengah. Selalu saja pertanyaan itu yang aku dengar saat ia membuka tudung nasi. Andai ia bekerja dan berikanku nafkah seperti suami-suami di luaran sana. Jangankan ayam dan ikan, daging sapi pun aku beli untuknya. Jika aku masak ayam atau ikan hari ini, besok kami akan makan apa? Tubuhku tak selamanya kuat menjadi buruh cuci seharian. Lagi pula kebanyakan ibu-ibu komplek sekarang pada beral
"Loh ... belum Mbak setrika? Gimana sih ... Mbak! Itu baju mau aku pakai sekarang?" omelnya. Namun aku tak peduli. Aku justru duduk santai di lantai, di samping Alia yang menghadap kipas angin. Ah ... sejuk sekali. Aku memang sengaja tidak menyetrika pakaian itu. Awalnya aku berniat memisahkan baju mertuaku dan menyetrika baju mertuaku saja. Namun betapa terkejutnya diriku. Ternyata semua buntalan itu berisi baju-baju Rika, Mbak Intan dan Mas Norman. Tentu saja aku menolak untuk menyetrika baju-baju mereka. Mereka pikir aku ini pembantu gratisan apa. Ogah!"Mbak! Ditanya kok gak di jawab, sih! Kenapa bajunya belum disetrika? Cepat setrika sekarang, nanti aku kesini lagi untuk mengambilnya!" perintah Rika layaknya seorang nyonya. Aku langsung berdiri dan mengambil buntalan itu dan meletakkan dihadapannya."Gak usah nunggu nanti. Sekarang kamu bawa pakaian ini pulang segera! Kamu dan Mbak Intan masih punya tangan untuk menyetrika baju kalian sendiri, kan?" ujarku marah. "Loh ... itu
Jam menunjukkan pukul sebelas malam saat pintu di gedor kuat oleh Mas Yudha. Pria itu pulang larut malam. Entah dari mana? Tanpa menghidupkan lampu, aku mengintip sedikit dari jendela, tampak Mas Yudha berjalan sempoyongan.Membuat hatiku geram. Bukannya kerja cari duit, pria ini justru keluyuran gak jelas. Sekali pulang malah dalam keadaan setengah teler.Dadaku bergemuruh hebat, dengan sejuta rasa dongkol di hati. "Zalia! Buka pintunya!" teriaknya lantang. Tangannya menggedor-gedor pintu begitu kuat.Aku bingung, di buka bikin kesal. Tapi di biarkan bikin gaduh!Ya Tuhan ... nasibku dapat suami kok gini amad, ya?"Zalia! Buka!" Lagi-lagi Mas Yudha berteriak. Aku berlari ke kamar mandi membawa seember air hingga menuju pintu depan.Betul tebakanku Mas Yudha kembali berteriak dan menggedor pintu dengan kencangnya. Pria ini selain tak tahu malu juga tak tahu diri.Byurrrrr ...Aku siram Mas Yudha dengan air seember yang aku bawa setelah aku membuka pintu. Wajahnya yang kuyu semakin kuy
Setelah Alia bangun dan mandi, aku menyuapinya dengan lontong yang kubeli tadi. "Ma ... mamam!" teriak gadis kecil itu membuatkan lamunanku."Astagfirullah al'azim," ucapku. Ternyata sedari tadi aku melamun hingga tak sadar bukan mulut putriku yang aku suapi, tapi gelas yang berisi air. "Maaf sayang. Maaf, ya, Nak!" ujarku dengan rasa bersalah. Aku kembali menyuapi Alia. Pikiranku menjadi tak fokus sejak berbicara dengan Mbak Ika tadi. Aku masih tak habis pikir, jika Mas Yudha tega melakukan itu. Apa betul ia main serong dengan janda ujung komplek? Atau Mbak Ika salah lihat.Jika Mas Norman aku masih percaya, karena ia memiliki uang. Namun Mas Yudha? Entahlah, aku bingung."Eh ... eh ... suami sedang sakit, kamu malah enak-enakan makan lontong telur di rumah. Benar-benar istri tak berbudi, kamu ini, ya, Zalia!" bentak Ibu yang tiba-tiba datang mengagetkanku. Ibu mertuaku ini nongol Sudah seperti jin iprit saja, tak bersuara dan tak berbunyi. Tahu-tahu sudah ngomel di depan mukaku."D
Karena ketutupan dahan pohon dan sebuah spanduk membuat orang tidak dapat melihat langsung keberadaanku. Namun aku bisa melihat pemandangan di depanku secara jelas. Aku melihat seorang lelaki tinggi tegap keluar dari rumah itu. Janda itu melambai mesra dengan pria itu. Karena pria itu masih menoleh ke arah rumah, sehingga membuatku tak dapat melihat wajahnya secara langsung. Tapi melihat pakaian dan postur tubuhnya, aku merasa seperti sangat familiar.Dalam beberapa menit mereka berdua masih saling melempar kissbay dan rayuan gombal yang membuat siapapun yang melihat menjadi mual. Seperti aku yang geli melihat gelagat mereka yang malu-malu guk ... guk. "Mas Norman," gumamku lirih. Saat pria itu membalikkan tubuhnya, untuk menaiki motor yang terparkir di teras rumah itu. Mataku bulatku melebar seakan tak percaya dengan apa yang aku lihat, ngapain Mas Norman keluar dari rumah janda dengan keadaan rambut basah.Sepertinya ia habis mandi? Mandi di siang hari terik, di rumah janda?Kok a
Kamu memukulku, Mas?" tanyaku seakan tak percaya.Aku menatap mas Yudha dengan nyalang, mataku berkaca-kaca. Selama menikah ini lah pertama kali ia melayangkan tangannya ke tubuhku."Istri yang tak berbakti sepertimu, memang pantas di pukul!" ujarnya."Istri tidak berbakti? Kurang berbakti apa lagi aku padamu, Mas! Aku yang banting tulang menafkahi keluarga ini, sedangkan kamu ..." Kutunjuk wajah lelaki yang menjadi imamku itu dengan geram. "Kamu hanya makan tidur! Saat kamu lapar kamu hanya bisa menjerit dan memerintah! Apa fungsimu sebagai suami, Mas? Tak ada! Aku perempuan bersuami, tapi hidup layaknya seorang janda!" sungutku lantang. Meledak sudah bom di hati ini.Selama ini aku sudah cukup bersabar dengan semua sikap dan perilakunya. Tapi tidak kali ini. Habis sudah batas kesabaranku."Jadi sekarang kamu sudah berani melawanku, Zalia! Aku marah karena kamu tak tahu tugasmu sebagai seorang istri. Seharusnya kamu itu masak dulu sebelum berangkat. Ini suami pulang tak ada makanan d
Dengan langkah pasti aku menarik kembali koperku, membuka pintu rumah dan berjalan keluar. Alia semakin menangis menjerit memanggil namaku. "Zalia apa kamu tidak kasihan melihat anakmu ini? Ibu macam apa kamu ini, hanya memikirkan egoismu sendiri!" makinya membuat langkah kakiku terhenti.Aku menoleh ke belakang. Sebenarnya hati ini tak tega melihat putriku yang menjerit sedih begitu. Aku berjalan mendekati Mas Yudha, merampas Alia dari gendongannya saat ia lengah. Lalu bergerak mundur menjauhi dirinya."Aku berubah pikiran, Mas. Aku pergi membawa Alia," Mas Yudha mengerang kesal dengan tindakanku. "Jika kamu berani mendekat. Jangan salahkan aku untuk teriak. Biar semua orang di komplek ini tahu siapa kamu!" ancamku. Posisi kami yang kini berada di teras rumah memudahkanku untuk menekannya. Jika ia macam-macam, maka aku akan berteriak dan membuat suasana semakin ramai. Apa lagi luka yang ada di sudut bibirku bekas tamparannya tadi, bisa kujadikan bukti tindakan KDRT.Mas Yudha tamp
Setelah menempuh perjalanan satu jam, akhirnya aku sampai di rumah ibu. Hanya buah jeruk satu kilo yang kubeli di halte bis tadi, kubawa sebagai buah tangan. Agar jangan kosong-kosong sekali, saat aku pulang.Ibu terkejut melihat kedatangan kami secara tiba-tiba. "Loh ... kok pulang gak ngabar-ngarin, Zal. Yudha mana? Kalian pulang cuma berdua?" tanya Ibu. Matanya awas meneliti keberadaan Mas Yudha di belakangku. Dahi keriputnya semakin berkerut, saat mendapati yang di cari tak ada."Masuk, Nduk! Kalian pasti lapar. Ibu tadi masak semur jengkol sama goreng ikan asin, pasti kamu suka," ajak Ibuku. Baru mendengarnya namanya saja, cacing di perutku langsung bergoyang. Semur jengkol buatan ibu begitu nikmat. Kuah yang kental perpaduan antara rasa pedas dan manis membuat air liurku terasa ingin keluar. Aku masuk kerumah dan langsung menuju meja makan, Alia di sambut ibu dan duduk di pangkuannya.Aku mengambil nasi dan membuka tudung saji. Tempe goreng, ikan asin goreng, lalap timun dan