Share

3. Menguji kesabaran.

Pagi mencuci, sore hari menyetrika. Begitulah pekerjaan yang aku kerjakan setiap hari. Aku kerjakan tanpa mengeluh. Walau terkadang harus sering sekali mengelus dada.

"Zalia!"

Lagi-lagi sebuah teriakan mengagetkanku. Aku yang sedang menyetrika pakaian menyahut. Dari suaranya saja aku sudah tahu, itu adalah suara ibu mertuaku. Orang sekitar biasa memanggilnya Bu Nani.

Aku heran Ibu dan anak itu hobby sekali memanggilku dengan berteriak. Apa pita suaranya tak sakit?

"Assalamualaikum," sindirku saat ibu terdengar memasuki rumah.

Awal-awal menikah ibu selalu berlaku lembut padaku, ia juga tampak begitu penyayang. Tapi setelah orang tuaku, tak mengabulkan keinginan Mas Yudha, untuk meminjam uang pada orang tuaku. Sejak itu ibu bersikap cuek dan ketus padaku.

Siapa juga yang mau meminjamkan uang pada seorang lelaki pemalas. Apa lagi uang yang ia pinjam jumlahnya sangat besar. Katanya untuk membeli sebuah rumah agar aku bisa hidup nyaman. Tapi belakangan niat buruknya kebaca, ia ingin mengubah sertifikat rumah itu atas nama dirinya. Tentu saja orang tuaku menolak. Almarhum bapakku bukanlah orang yang bodoh dan mudah untuk di tipu daya.

"Kamu sama orang tua gak ada sopan-sopannya! Nih sekalian!" sungut ibu. Ia melempar pakaian yang di buntel dengan selimut ke sebelahku. Tanpa membukanya saja aku sudah tahu, apa isi dari kain buntelan itu.

Aku menelan ludahku susah payah. Pekerjaan yang ada saja sudah membuat pinggang dan tubuhku letih. Ini malah ibu tambah lagi.

"Kenapa lihat-lihat, Ibu? Kerjakan itu! Kamu, kan, juga sedang setrika, jadi sekalian!" perintahnya. Padahal di rumahnya masih ada Rika. Adik bungsu Mas Yudha. Tapi ia selalu membawa pakaiannya ke rumahku untuk di setrika. Membuat pekerjaanku semakin bertambah banyak saja.

"Aku gak janji, Bu. Pekerjaanku masih banyak. Ibu suruh saja Rika untuk mengerjakannya!" tolakku secara halus.

"Kamu berani membantah ibu sekarang, Zalia! Kamu ini sebagai menantu tidak berguna sekali. Cuma sebatas menyetrika pakaian mertua saja tidak mau!"

Jleb.

Hati ini kembali meringis sakit. Jika hanya berupa baju ibu dan bapak saja, mungkin aku masih diam. Ini hampir semua baju penghuni rumah yang ibu bawa untuk aku setrikakan. Termasuk baju Rika dan Mbak Intan kakak Iparku yang sudah menikah.

Sedangkan menyetrika baju para pelangganku saja aku sudah kecapekan. Rasanya ingin sekali aku menangis mengingat perlakuan mereka semua padaku. Tapi kali ini, mereka semakin kelewatan. Semakin di diamkan tingkahnya semakin jadi.

"Maaf, Bu. Bukannya Zalia ingin membantah ibu. Tapi ibu bisa lihat sendiri, kan. Pekerjaan Zalia masih menumpuk. Zalia ini manusia, Bu. Bukan robot!" jawabku. Tanganku masih bergerak menggosok satu persatu pakaian pelangganku hingga licin.

Ibu tampak terkejut, karena selama ini aku tidak pernah berkata tegas, apalagi menolak dengan segala yang ia perintahkan. Walau terkadang apa yang ia suruh adalah sesuatu yang tak masuk di akal. Tapi kali ini aku sudah letih. Aku letih menuruti semua kemauan mereka. Aku letih untuk terus bersabar.

"Terserah kamu mau kerjakan nanti atau nanti malam, Zalia. Yang ibu tahu, setrikaan Ibu itu selesai! Awas kalau tidak selesai!" ancam ibu sambil berlalu pergi meninggalkanku dengan setumpuk pakaian yang harus aku kerjakan.

Aku hanya bisa mendengus dengan tingkah laku mertuaku ini. Tidak anak, tidak emak sama-sama cuma bisa menyakiti saja.

Aku menendang buntalan kain itu hingga menggelinding di dekat tembok. Biar saja, pakaian itu berjamur di sana. Mereka pikir aku ini babu apa!

🍃🍃🍃

Mentari pagi menyapa, kicau burung bersahutan membangunkan tubuh yang terasa remuk-redam. Pukul sepuluh malam aku baru selesai berjibaku menyelesaikan setrikaanku.

Jika bukan karena perut yang menjerit untuk selalu di isi, mungkin aku tak akan mau mengerjakan pekerjaan ini.

Dengan gerakan malas aku bangkit dari tidurku. Melirik sejenak pada lelaki yang bergelar suami ini. Mas Yudha tidur di ujung, bersebelahan dengan Alia yang di tengah. Entah dari mana ia seharian kemaren? Pulang-pulang langsung tidur dan tak bangun juga pagi ini. Jika ada lomba pura-pura mati, aku yakin Mas Yudha lah pemenangnya.

Aku bangkit dari ranjang menuju kamar mandi, membersihkan diri sebelum berjibaku kembali menyelesaikan pekerjaan yang tiada habisnya.

Ahh ... andai dulu aku tak tergoda janji manis suamiku. Mungkin dulu kuliahku selesai dan memegang ijazah sarjana. Bekerja layaknya wanita kantoran, bukan menjadi babu cuci seperti ini.

Setelah mandi, aku ke warung sebentar membeli bahan untuk dimasak. Setelah berkutat di dapur. Akhirnya nasi hangat yang masih mengepul, tempe goreng, sambal terasi dan sayur lodeh sudah terhidang di atas meja.

"Bunda!" panggil putriku, Alia. Ia berdiri diambang pintu dengan celana yang basah. Lantai juga basah dengan air ompol yang menggenang. Alia memang tidak kupakaikan diapers. Selain gak sehat di badan juga tak sehat di kantongku.

"Ayo kita mandi sayang," ajakku. Aku membawa Alia ke kamar mandi. Meninggalkannya sebentar untuk mengelap dan mengepel bekas ompolnya yang ada di lantai. Setelah itu baru memandikan putriku hingga bersih.

Setelah bersih dan wangi. Memakaikannya pakaian dan mengajaknya ke meja makan. Menyuapi putriku hingga kenyang. Agar saat aku bekerja di belakang nanti, ia tidak rewel dan tidak menggangguku.

Alia makan dengan lahap. Putriku ini memang tidak rewel dalam makanan, ia akan makan apa saja yang aku masak asalkan tidak pedas. Terkadang hatiku terenyuh membayangkan masa depannya nanti.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status