Share

2. Jadikan Dia Pria Seutuhnya

Raka menatap tidak mengerti wanita dewasa di depannya.

“Untuk apa, Ma? Doni sudah  cukup untuk menjadi asisten Raka. Tidak perlu orang lain lagi.” Ia benar-benar tidak paham maksud sang mama. Menerima seorang asisten lagi?

“Kamu akan menolak lagi?” Ratih kini tidak lagi bersikap ramah. Ia sendiri mulai gemas dengan putranya sendiri.

“Bukan begitu, Ma. Tapi, apa alasannya? Raka tidak perlu asisten lagi. Doni sudah lebih dari cukup untuk membantu Raka bekerja.”

Ratih menatap tajam putranya itu. Ingatannya kembali pada percakapan dengan suaminya beberapa jam yang lalu. Mungkin ini adalah salah satu cara agar Raka tidak lagi bergantung pada mereka, juga salah satu usaha mereka, agar Raka bersedia menikah, bersedia menerima seorang wanita untuk menemani hidupnya.

“Ingat kata mama barusan. JANGAN MEMBANTAH! Atau mama tidak akan lagi datang menjengukmu sekali pun menemuimu ketika kamu datang ke rumah mama?!” ancam Ratih.

Raka tidak berkutik. Ini adalah ancaman yang sangat mengerikan baginya. Tidak mendapatkan perhatian dari Ratih bagaikan kiamat baginya. Ratih adalah penyokong terbesarnya. Ratih adalah bidadari yang akan selalu melindunginya dari amarah Widjanarko. Ratih adalah penyelamatnya. Bagaimana bisa ia diabaikan oleh wanita penuh kasih itu? Mamanya sendiri?

Tidak! Ia tidak akan bisa melakukan apa pun jika sampai wanita yang begitu ia sayangi mengabaikannya. Batin Raka bergejolak. Mungkin persyaratan ini lebih ringan daripada sebelumnya. Mungkin ini lebih baik daripada perjodohan gila itu.

“Ba-Baik. Raka akan menerima persyaratan mama. Tapi, jangan sampai dia ikut menemani Raka kemana pun Raka pergi.”

Ratih mendelik. “Mengapa sekarang kamu justru memberi persyaratan kepada mama?”

Nyali Raka menciut demi melihat wajah seram Ratih.

“I-Iyaa… Terserah Mama. Semua terserah mama.” Akhirnya Raka menyerah. Ia putus asa karena tidak bisa lagi menolak keinginan mamanya itu.

“Jika sampai mama mendapat laporan  tentang sikapmu, maka jangan salahkan jika semuanya  hangus dalam waktu singkat,” ancam Ratih penuh penekanan.

Ratih melenggang anggun, meninggalkan ruangan kerja Raka. Meninggalkan putranya yang kini hanya bisa menyesali keputusannya.

-0-

“Akhirnya, selesai juga.”

Seorang gadis menggeliatkan tubuhnya, merenggangkan otot-otot badannya yang selama satu bulan ini terus duduk di depan computer, membuat laporan dari hasil penyelidikannya  di lapangan.

“Akan lebih baik laporan ini aku serahkan terlebih dahulu sebelum aku membeli tiket pulang,” gumamnya lagi sembari menata kertas-kertas laporan dalam satu map berwarna hijau.

Ponsel yang ada di sakunya bergetar.

“Selamat Siang, Tuan.” Gadis itu menjawab dengan begitu sopan panggilan itu.

*Apakah laporanmu sudah selesai?

Suara di ujung sana terdengar begitu berat.

“Sudah, Tuan. Laporan akan saya kirim sebentar lagi ke email Tuan, sedangkan berkasnya akan saya bawa dan saya serahkan begitu saya tiba di kantor Tuan.”

*Kamu tidak perlu datang ke kantor. Aku akan menyuruh Doni untuk mengambil laporanmu. Ada tugas lain untukmu dan aku harap kamu mau menerimanya.

Gadis itu tertegun. Tugas baru lagi? Haruskah? Ia sangat ingin beristirahat barang seminggu atau dua minggu.

*Halo? Ra, kamu masih di sana kan?

“Oh-Eh, siap, Pak.” Gadis itu terpaksa menyanggupi permintaan dadakan sang atasan.

*Tidak usah khawatir. Aku tahu kamu membutuhkan waktu untuk beristirahat. Tugas kali ini bisa kamu lakukan sambil bersenang-senang.

Terdengar suara kekehan di ujung sana. Gadis yang bernama Rara itu terkejut. Suara tawa tuan besarkah? Apa sebenarnya yang menjadi tugasnya kali ini?

*Segera pesan tiket pulang malam ini. Begitu kamu sampai langsung datang ke rumah saya. Kamu mengerti?

“Baik, pak.”

-0-

Taksi online yang membawa Rara dari bandara menuju kediaman Widjanarko sudah berhenti tepat di depan gerbang tinggi berwarna putih. Gadis itu segera keluar dari mobil, berjalan memasuki pintu gerbang yang tidak dikunci.

“Malam, Mbak Rara. Sudah ditunggu Tuan Besar sejak tadi,” sapa Eko begitu ramah, satpam kediaman Widjanarko yang diam-diam menaruh hati kepada Rara.

“Terima kasih.” Rara melangkah masuk ke halaman luas itu hingga dirinya dapat menangkap siluet dua orang yang sedang duduk di teras luas.

“Maaf, Tuan agak terlambat. Jalanan sangat macet menjelang malam seperti ini.”

“Tidak apa-apa. Untungnya bocah ingusan itu batal datang kemari. Jadi setidaknya kita bisa lebih leluasa untuk berbicara di sini. Bukan begitu, Ma?” tanya Widjanarko kepada Ratih, istrinya.

Ratih mengangguk setuju. “Lama tidak bertemu, Ra. Kamu baik-baik saja kan di sana?” senyum Ratih mengembang begitu tulus. Ia sangat menyayangi Rara, asisten suaminya yang sudah ia anggap seperti putrinya sendiri.

“Baik, Bu. Terima kasih atas semua bantuan Tuan dan Ibu selama ini.” Rara menunduk takzim.

“Ssshh. Berapa kali aku harus mengatakan padamu untuk berhenti memanggilku Tuan Besar. Jika kamu bisa memanggil istriku dengan panggilan Ibu, maka mulai malam ini panggil aku dengan panggilan Bapak, atau Ayah.”

Rara terkesiap. Ia tidak menyangka jika dua orang di hadapannya ini begitu menerima dirinya, yang hanya berasal dari keluarga biasa, setidaknya itu yang ia ketahui  untuk saat ini.

Mereka berkenalan delapan tahun lalu. Saat itu pasangan Ratih dan Widjanarko mendaftarkan diri mereka untuk menjadi orang tua asuh Rara, yang kala itu masih duduk di kelas tiga sekolah menengah pertama. Rara adalah siswa yang berprestasi namun berasal dari keluarga kurang mampu, dan ia membutuhkan biaya untuk menunjang pendidikannya. Selama empat tahun Ratih dan Widjanarko menjadi orang tua asuh Rara selama gadis itu duduk di bangku sekolah pertama sampai menengah atas sekolah unggulan di kota tempatnya tinggal. Dan hal itu kembali berlanjut hingga perguruan tinggi. Rara mengambil kuliah jurusan manajemen hingga meneruskan pendidikan S2-nya di Inggris. 

Itulah mengapa Ratih begitu ingin menjadikan Rara sebagai putrinya. Rara yang pintar, sopan dan begitu patuh kepada orang tuanya termasuk mereka orang tua asuhnya. Sekarang, Ratih tidak ingin lagi menjadikan Rara sebagai putri angkatnya, melainkan menjadikan gadis itu sebagai menantunya. Meski itu masih sebatas keinginannya saja. 

“Tidak usah kaget begitu. Bukankah kita sudah saling mengenal lebih dari delapan tahun? Sudah  sewajarnya hubungan kita tidak lagi hanya sebatas orang yang baru kenal, atasan dan bawahan. Kita adalah partner kerja sekarang. Apakah kamu mengerti?” Ratih menatap Rara begitu dalam. Ingin rasanya ia menikahkan Rara dengan Raka. Eh? Ratih kaget sendiri dengan sekelebat keinginan yang melintas di benaknya. Mungkinkah suaminya memiliki rencana itu? Seketika Ratih menatap Widjanarko, yang masih  memperhatikan penampilan Rara yang tampak sangat lelah.

“Pa?” Ratih masih menatap Widjanarko dengan begitu intens.

“Ada apa, Ma?” Widjanarko tidak juga memahami arti tatapan Ratih.

“Apakah ada rencana Papa yang Mama tidak ketahui?”

“Tidak ada. Mama tahu semua yang ada di pikiran Papa.” Senyum simpul Widjanarko kembali terbit di sudut bibirnya.

“Jadi, apakah  karena plan A tidak berjalan sesuai rencana, maka papa sudah menyiapkan plan B? Tebakan Mama tidak salah?” Ratih harap-harap cemas mendengar jawaban suaminya itu.

“Tidak. Sama sekali tidak salah.”

Wajah Ratih seketika berubah. Ia tidak dapat menyembunyikan kebahagiaannya. Semoga saja rencana dirinya dan suami bisa berjalan sempurna. Kedua orang itu tersenyum bahagia, tanpa memedulikan Rara yang merasa heran dengan ekspresi keduanya.

“Baiklah. Sekarang tugas baru untukmu adalah,  tolong ajari putraku yang bodoh itu menjadi pria seutuhnya.”

Glek. Rara meneguk air liurnya begitu cepat. 'Pri-Pria  se- seutuh-nya? Apa maksudnya itu?' Kedua bola mata Rara membesar, berputar ke sana kemari.

Ratih tergelak demi melihat wajah bingung Rara. “Pa, bahasamu itu loh. Kasian Rara. Dia gadis baik-baik. Jangan kotori otaknya dengan bahasa-bahasa yang tidak jelas begitu.”

“Oh, iya. Maafkan Bapak, Ra. Maksudnya, ajari Raka untuk mengerti bagaimana seorang pria harus bersikap. Jangan hanya bersenang-senang saja yang ia tahu. Meski anak bodoh itu tidak pernah bermain wanita seperti teman-temannya, tapi kebiasaannya yang hanya bersenang-senang ke sana kemari itu sangat buruk bagi dirinya, yang seorang pemimpin sebuah perusahaan.”

Rara tercenung mendengar penjelasan Widjanarko.

“Apakah kamu sudah paham?”

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status