Share

8. Menyerahlah!

Senyum dingin Raka menyambut kedatangan Doni di ruangan bernuansa serba hitam itu. Hawa membunuh menyapu bulu kuduk Doni, membuat pria itu agak ragu untuk meneruskan langkahnya mendekati meja sang atasan.

"Bukankah aku menyuruhmu untuk menemuiku lebih dulu?" Mata Raka tertuju tepat ke wajah Doni. Doni salah tingkah. Ia lupa jika semua kamera cctv di kantor ini terintegrasi dengan laptop Raka. Hawa dingin ini  pastilah karena bosnya melihat pertemuannya dengan Rara. 

"Iya, Pak."

Raka mengetuk jari telunjuknya di atas laptopnya. Ia harus segera membeli laptop baru. Laptop Susan yang sementara ini ia gunakan, membuat geraknya terbatas. Hampir semua file di laptop Susan berisi video kosmetik dan fashion yang sama sekali tidak ia mengerti, dan terkadang membuat dirinya panas dingin sendiri karena ada beberapa film dewasa di sana.

"Suruh anak baru itu untuk membelikan laptop baru untukku. Beli yang kapasitasnya besar dan bisa dipakai untuk main game sepanjang hari."

Doni tercengang. 'Lagi? Apakah kehadiran Rara belum juga menyadarkan bos-nya itu jika kondisi perusahaan yang ia pimpin sedang di ujung tanduk?'

"Pak...."

"Tidak usah membantah. Lakukan saja." Raka mengalihkan tatapannya dari Doni. Wajah Rara saat berbincang dengan Doni yang tertangkap olehnya di layar laptop, kembali membuat emosinya tersulut.

'Mengapa gadis itu masih bisa tertawa? Apakah penolakan yang ia lakukan tadi sama sekali tidak membuatnya menyerah?' Raka kini mengambil pena dan secarik kertas. Ia menuliskan beberapa kalimat.

"Berikan ini pada gadis itu. Dan katakan padanya, aku harus sudah menggunakan laptop itu dua jam lagi.  Jangan sampai melewati batas waktu yang sudah aku berikan!" 

'Mari kita lihat. Siapa yang akan menyerah lebih dulu?' Senyum penuh misteri Raka membuat Doni mengkhawatirkan Rara. Apakah gadis itu sanggup menghadapi Raka?

"Baik, Pak."

"Ya sudah. Pergi sana!. Ingat pesanku tadi."

Doni mengangguk kemudian berjalan mundur dan memutar tubuhnya, berjalan keluar meninggalkan ruangan Raka. Ia berjalan cepat. Ia belum menyimpan nomor Rara, dan saat ini ia tidak tahu sedang ada di mana gadis itu. Jika sampai ia terlambat menemukan Rara, maka gadis itu akan mendapatkan masalah. 

Dengan setengah berlari, Doni berjalan menuju ruang keamanan untuk mengetahui Rara lewat kamera cctv yang ada di semua ruang di gedung ini. 

"Tampilkan padaku semua ruangan sekarang juga." Perintahnya terucap seiring dengan nafasnya yang tersengal-sengal. Ia berpacu dengan waktu. Setidaknya, ia harus membantu Rara. Jangan sampai gadis itu mendapat masalah baru.

Doni meneliti setiap bagian gedung itu, mencari sosok Rara. Lebih dari lima menit Doni akhirnya berhasil menemukan Rara yang kala itu baru saja berhenti di depan lift lantai lima. Ia bergegas keluar dari ruang operator keamanan, menuju ke lantai  empat. Ia memilih untuk menunggu Rara di depan pintu lift lantai empat.

Langkah kaki Doni dibuat begitu lebar agar bisa segera mencapai pintu lift lantai empat. Ia harus bergerak cepat. Waktu kini sudah berkurang lima belas menit, yang artinya Rara hanya memiliki seratus lima menit lagi. 

Doni baru mencapai seperempat bagian dari lantai empat, saat pintu lift yang kebetulan berhadapan dengannya, terbuka. Begitu sosok Rara terlihat, Doni dengan setengah berlari menyusul gadis yang saat ini tengah menengok ke sebelah kanan tempatnya berdiri.

"Rara!" seru Doni sedemikian keras, membuat semua orang yang baru saja keluar dari lift melihat ke arahnya.

"Aku tidak memanggil kalian. Sana pergi!" Doni menatap kesal mereka yang menatap dirinya dengan mimik ingin tahu.

"Ya. Ada apa, Pak?" Rara sedikit mengernyitkan wajahnya melihat wajah Doni yang kini penuh dengan keringat. Sangat berbeda saat mereka bertemu beberapa menit yang lalu. 

Doni mengangkat tangannya, meminta Rara untuk menahan pertanyaannya dulu. Ia ingin menetralkan pernapasannya yang kembang kempis sejak tadi. Seakan paham dengan kondisi Doni, Rara mengangguk dan menunggu hingga Doni berhasil mengatur pernapasannya kembali.

Doni menatap Rara yang kini mengangsurkan satu botol kecil air mineral yang ada di rak tak jauh dari tempat mereka berada. 

"Mungkin Bapak membutuhkan air mineral?" 

Doni menggelengkan kepalanya dengan cepat. "Waktumu tinggal sembilan puluh lima menit lagi. Segera pergi ke toko komputer. Belilah laptop dengan spek untuk gamer. Yang terbaik." Doni menatap Rara begitu serius.

Rara mencoba memahami perintah Doni. "Bapak memerlukan laptop baru?"

"Bukan, Rara. Bukan. Bukan aku, tapi bos barumu. Dan beliau hanya memberimu waktu dua jam sejak aku menerima perintah itu dan kini..." Doni melihat ke arah arlojinya di tangan kirinya. "Waktumu semakin berkurang. Sembilan puluh menit lagi, sebelum waktu yang diberikan habis."

Rara masih terpengkur mendengar perkataan Doni.

"Ayolah, Rara! Aku tidak ingin kamu terkena masalah. Cepat pergi dari sini! Temukan laptop sesuai dengan yang aku katakan tadi!"

Rara, tanpa ia sadari, kini menjadi gugup. Ia menatap arloji di tangan kanannya, mencoba menghitung waktu yang ia butuhkan untuk kembali sampai di gedung ini. 

"Dan ini..." Doni menyerahkan secarik kertas yang sudah dilipatnya kepada Rara. "Beliau menitipkan ini untukmu. Buka saja di jalan. Sekarang bergegaslah," ucap Doni terus mendesak Rara.

Rara menggenggam erat kertas itu, dan masuk kembali ke dalam lift, menekan angka satu, menuju lobi. Begitu lift bergerak turun, Rara membuka lipatan kertas yang diberikan Doni. 

"Menyerahlah sekarang atau aku akan terus menekanmu untuk keluar dari perusahaan ini!" 

Mata Rara membulat sempurna. Diremasnya kertas itu hingga tidak lagi berbentuk. 

'Sialan! Kau benar-benar mengajakku berperang?' desis Rara penuh amarah.

Kaugnay na kabanata

Pinakabagong kabanata

DMCA.com Protection Status