Sang Manajer Umum, yang bernama Dewa manggut-manggut mendengarkan penjelasan Doni. Ia kini tidak lagi berani menatap gadis yang ada di depannya. Penjelasan asisten atasannya, membuat dirinya segera memutuskan untuk mengambil langkah aman, tidak terlalu banyak bertanya terhadap kondisi perusahaan sekarang.
"Kebetulan bertemu denganmu di sini. Ada sesuatu yang harus aku jelaskan padamu sebelum kamu bertanya tentang sesuatu hal. Tapi....- Tunggu dulu... Apakah - kamu sudah .... ?" Doni tidak menyelesaikan kalimatnya. Memperhatikan Rara yang sejak tadi memilih diam, membuat Doni meragukan keputusannya.
Rara hanya menyengir kuda, sedangkan Doni langsung menepuk jidatnya.
"Pantas saja jika Pak Widjanarko begitu membanggakan dirimu." Doni menatap Rara begitu intens.
"Tidak benar sama sekali. Pak Widjanarko terlalu berlebihan, tapi... Apakah Bapak tahu jawaban dari pertanyaan saya?" Rara membalas tatapan Doni, sambil mengeluarkan ponselnya.
Gerakan Rara yang tertangkap sudut mata Dewa, membuat pria itu mulai merasa tidak nyaman. Sepintas, Rara menangkap kegugupan pria di hadapannya, dan langsung menyapa Dewa.
"Hmm. Kalau saya boleh tahu, nama Bapak siapa?" Rara menelisik wajah pria berkulit putih itu. Kegugupan yang sempat ia lihat, memancing Rara untuk bertanya dimana pria itu bertugas.
"Oh iya. Perkenalkan, nama saya Dewa. Saya dari Divisi Desain." Tanpa ditanya, Dewa menyebutkan divisi mana dia bekerja.
Rara tersenyum simpul. Tebakannya tidak meleset. Pria berpenampilan sedikit nyentrik itu, berasal dari divisi yang ruangannya berada tepat di depannya.
"Mungkin nanti atau lusa. Saya akan banyak merepotkan Bapak. Mohon kerjasamanya." Rara menjabat tangan Dewa, yang saat itu begitu dingin.
"Ba-Ba-ik."
"Jangan pernah mengatakan tentang hal ini sebelum aku memerintahkannya padamu. Aku akan memanggil semua kepala bagian untuk mengenalkan gadis ini pada kalian. Jadi, untuk sementara waktu tetaplah diam, dan berpura-puralah tidak tahu." Doni dengan tegas menekan Dewa.
Ada sesuatu yang harus ia dan Rara lakukan sebelum semua orang di perusahaan ini mengetahui siapa Rara sebenarnya. Ia sangat paham arti kehadiran Rara di perusahaan ini, dan ia tidak ingin mengacaukan semua rencana Rara demi kebaikan perusahaan, meski ia sendiri tidak tahu apa yang sudah Rara rencanakan.
"Siap, Pak Doni. Anda bisa mempercayai saya," ucap Dewa dengan sungguh-sungguh. Ia harus bisa mengambil hati kedua orang di depannya demi mengetahui berita terkini di perusahaan.
"Terima kasih. Dan Rara, ada baiknya kita ngopi sebentar di kantin. Kamu belum pernah merasakan kopi jahe di sini kan?" Doni melangkah lebih dulu meninggalkan lantai 6 menuju lantai di bawahnya.
"Boleh juga, Pak. Asal gratis saja." Rara menyusul di belakang Doni, meninggalkan Dewa yang masih berusaha memahami siapa yang baru saja ia temui selain asisten bosnya.
-0-
Dua cangkir kopi jahe yang masih mengepulkan asap panas, dibawa pelayan menuju meja nomor enam, tempat Rara dan Doni kini berada. Rara sibuk dengan pisang goreng di depannya sedangkan Doni sedang mengetik pesan kepada seseorang.
Baru saja Doni selesai menekan tanda kirim, ponselnya berdering.
"Iya, Pak. Sudah. Baru saja bertemu...."
Rara mengangkat wajahnya, menyimak siapa yang sedang menghubungi Doni saat ini.
"Baik.... Sepuluh menit lagi saya akan bertemu dengan Pak Raka.... Baik.... Siap."
Doni memasukkkan kembali ponselnya ke dalam saku jasnya. Ia mulai menyeruput sedikit kopi jahe di depannya. Ia menatap Rara yang kembali asyik dengan pisang goreng.
"Aku harus bertemu dengan Pak Raka."
Rara mengangguk. "Apakah Pak Raka baru saja menghubungi Pak Doni atau sejak beberapa hari yang lalu?"
Doni terkekeh lebih dulu sebelum menjawab pertanyaan Rara. Ia menggelengkan kepalanya, lalu kembali menyeruput kopi jahe yang perlahan mulai berkurang.
"Sejak kedatanganmu." Doni kini tidak hanya terkekeh melainkan juga tertawa. "Kamu sangat hebat, Rara. Semalam Pak Bos menelponku tengah malam. Kau harus tahu, aku bukan lagi asistennya sejak seminggu yang lalu, tapi semalam, beliau memaksaku agar aku kembali bekerja untuknya. Baru kali ini aku melihat Pak Raka begitu senewen terhadap seseorang. Bahkan, saat dirinya hendak dijodohkan dengan putri rival Pak Widjanarko, beliau tidak se-senewen sekarang."
Rara menyimak dalam diam. Reaksi Raka yang seperti ini jauh dari bayangannya. Ia tidak tahu jika dirinya akan begitu dibenci oleh pria itu. Otaknya yang hanya mengingat tentang tugas utamanya dari Widjanarko, benar-benar tidak memberi celah untuk sekedar membayangkan reaksi Raka terhadapnya. Akankah mereka dapat menjadi partner yang baik atau justru menjadi musuh di dalam selimut?
"Aku harus menemui beliau. Habiskan kopinya. Pembicaraan kita belum selesai. Ada banyak hal yang harus kamu tahu sebelum kamu menentukan langkah selanjutnya."
Rara dibuat tercenung dengan kalimat terakhir Doni. Sebenarnya, apa yang tengah berlangsung di perusahaan ini? Apakah kali ini tugasnya sangat berat?
Senyum dingin Raka menyambut kedatangan Doni di ruangan bernuansa serba hitam itu. Hawa membunuh menyapu bulu kuduk Doni, membuat pria itu agak ragu untuk meneruskan langkahnya mendekati meja sang atasan."Bukankah aku menyuruhmu untuk menemuiku lebih dulu?" Mata Raka tertuju tepat ke wajah Doni. Doni salah tingkah. Ia lupa jika semua kamera cctv di kantor ini terintegrasi dengan laptop Raka. Hawa dingin ini pastilah karena bosnya melihat pertemuannya dengan Rara. "Iya, Pak."Raka mengetuk jari telunjuknya di atas laptopnya. Ia harus segera membeli laptop baru. Laptop Susan yang sementara ini ia gunakan, membuat geraknya terbatas. Hampir semua file di laptop Susan berisi video kosmetik dan fashion yang sama sekali tidak ia mengerti, dan terkadang membuat dirinya panas dingin sendiri karena ada beberapa film dewasa di sana."Suruh anak baru itu untuk membelikan laptop baru untukku. Beli yang kapasitasnya besar dan bisa dipakai untuk main game sepanjang hari."Doni tercengang. 'Lagi?
Raka tertawa sangat keras. Ia menikmati kemarahan Rara yang terlihat jelas dalam rekaman di laptopnya. Senyum penuh kemenangan tersungging di wajahnya. "Aku akan melakukan segala cara untuk mengusirmu dari perusahaanku, meski papa dan mama, juga kakak sangat mendukungmu. Aku adalah bos di perusahaan ini. Aku yang berkuasa di sini. Karena kedatanganmu tidak pernah diterima, maka kau harus pergi dari sini, bagaimanapun caranya. Sekalipun aku harus menghadapi resiko yang sangat besar di akhir cerita nanti," gumam Raka dengan penuh dendam. Raka kembali menekan angka dua belas, memanggil Susan untuk menghadapnya. Ia perlu melakukan sesuatu, dan kali ini ia membutuhkan pertolongan sekretaris menornya. "Masuk. Aku memerlukan bantuanmu." Susan sedikit ragu dengan telpon barusan. Bos-nya tiba-tiba menyuruhnya masuk? Apakah penantiannya selama ini membuahkan hasil? Susan menenangkan jantungnya yang melompat-lompat tidak karuan, setelah menerima telpon dari Raka. Ia sudah lama menaruh hati p
Rara menatap nanar pria di sampingnya. Dengan sisa energi yang dimiliki, Rara berusaha tersenyum. Beribu sumpah serapah mengantri di ujung lidahnya, namun dengan sekuat tenaga, ia menekan keinginannya itu. Ia tidak boleh terpancing, dan harus tetap tenang."Mengapa tidak menghubungi saya?" Rara meletakkan brosur yang beberapa menit lalu diterimanya."Aku sudah mencoba menghubungimu, tapi tidak bisa."Rara mengeluarkan ponselnya. Benarkah tadi sang atasan menghubunginya? Dan senyumnya kembali mengembang. Bagaimana mungkin pria itu bisa menghubunginya, sedangkan dirinya sendiri tidak pernah memberikan nomor ponselnya."Tidak ada telpon yang masuk kecuali dari ..." Rara tidak meneruskan kalimatnya."Kecuali siapa?"Layar ponsel Rara berganti dengan foto seseorang beserta nomornya dan dua kalimat, panggilan masuk."Ibu Ratih. Bapak ingin berbicara dengan Ibu Ratih?" Rara menyodorkan ponselnya ke hadapan Raka. Bola mata Raka langsung membesar. Rara terkekeh penuh kemenangan."Saya duluan
Rara menatap Doni. Ia tidak paham dengan apa yang didengarnya barusan. Sebenarnya apa yang sudah terjadi selama ia keluar mencari apa yang diperintahkan padanya? "Aku tidak bisa menceritakan padamu sekarang. Nanti malam aku akan mampir ke rumahmu." Hanya itu yang bisa disampaikan oleh Doni. Ia tidak bisa berlama-lama berbincang dengan Rara. Yang bisa ia lakukan saat ini hanyalah bersikap baik dan mematuhi semua perintah Raka. Rara menyatukan ujung jempol dan telunjuknya, mengangkat tiga jari kanan yang tersisa, memaklumi keadaan Doni. Untuk saat ini, asisten yang diakui oleh Raka adalah Doni, sedangkan dirinya hanyalah asisten bayangan yang diutus Widjanarko, dan keberadaannya jelas diterima Raka dengan terpaksa.Rara melanjutkan langkahnya, masuk ke dalam lift, mengabaikan Dewa yang masih belum bisa memahami situasi yang sedang terjadi di sekitarnya, dan pria itu menjadi panik ketika pintu lift tertutup rapat dan tidak ada lagi orang di sekitarnya.-0-"Aku tidak pernah menerimanya
Lama tidak mendapatkan jawaban dari Raka, Widjanarko menghela napas. Ia menggelengkan kepala, salah satu cara mencegah tekanan emosinya agar tidak semakin meninggi. Rasa penyesalan mulai menggelayuti dirinya. Andai saja dulu ia tidak mengikuti permintaan Ratih, perusahaan fashionnya sekarang pasti sudah berkembang pesat. "Apa yang sebenarnya kamu inginkan? Papa berikan perusahaan sesuai dengan keinginanmu termasuk semua orang-orang dan dana serta semua asetnya. Tapi, apa yang kamu berikan sebagai bukti keberhasilanmu?" Raka lagi-lagi terdiam. Kenangannya kembali saat ia merongrong Widjanarko di suatu siang, agar dirinya diberi kedudukan penting di salah satu unit bisnis yang dimiliki Widjanarko. Semula Widjanarko ragu, tapi karena desakan Ratih akhirnya pria itu memberikan perusahaan fashionnya untuk dikelola oleh putra semata wayangnya. Namun sayang, apa yang diharapkan tidak kunjung tercapai. "Sekarang, datang ke kantor Papa. Bawa Rara bersamamu. Papa tunggu lima belas menit dari
Rara tidak segera melanjutkan kalimatnya, membuat suasana ruangan berukuran dua belas kali sepuluh meter persegi itu berubah menjadi sangat mencekam. Detak jam dinding berdesain kuno klasik adalah satu-satunya suara yang terdengar. Semua diam membatu, menanti kelanjutan kalimat yang entah, disengaja Rara atau tidak, terputus. "Kamu sengaja melakukan ini? Membuat kami semua menunggu kelanjutan cerita karanganmu?" tegur Raka begitu sinis, membuat Widjanarko melebarkan pupil matanya. "Raka! Bicaralah yang sopan. Jangan permalukan Papa!" hardik Widjanarko begitu keras, membuat suasana menjadi semakin mencekam. Widjanarko kembali menatap Rara. "Katakan apa yang sebenarnya sudah terjadi di sana? Apakah semua berjalan baik-baik saja atau ada kejadian yang tidak seharusnya terjadi di sana, diluar perhitunganmu?" Rara kali ini memberanikan diri untuk menatap Raka sebelum menjawab pertanyaan bos besarnya. Rasa bimbang yang sebelumnya menggelayuti hatinya, kini berubah menjadi keberanian. Ia
Rara memilih untuk diam, tidak mengemukakan pendapatnya. Semua hal yang menjadi pembicaraan anak-bapak ini diluar kendalinya, dan ia tidak punya hak untuk urun rembug. Sama halnya dengan Doni. Pria itu juga mengambil langkah yang sama dengan Rara, menjadi pendengar yang baik. "Kesepakatan apa yang bisa kita buat sore ini?" Suara Widjanarko memecah kesunyian. Raka diam menyimak. "Tidak ingin mengatakan keberatan?" tandas Widjanarko, mengarahkan tatapannya ke arah Raka. Menggeleng lemah, hanya itu yang dilakukan oleh Raka. Ia tidak punya perbendaharaan kata jika sudah berhadapan dengan Widjanarko, dan ia tidak akan pernah menang, jika berdebat dengan pria berusia hampir setengah abad itu, kecuali ada Ratih yang menjadi penyokongnya. "Baiklah. Mungkin hanya Rara yang bisa menjawab, langkah apa yang sebaiknya kita ambil untuk sekarang ini?" Deg. Rara tidak menduga jika Widjanarko akan meminta pendapatnya. Ia tidak ingin lagi bos kecilnya salah paham, yang berujung pada kecemburuan
Widjanarko sangat terkejut. "Kamu serius dengan perkataanmu, Rara? Kamu tidak takut akan akibatnya?" Rara tersenyum simpul. "Bapak sudah mengenal saya begitu lama. Saya akan melakukan pekerjaan saya dengan serius dan secara total. Setiap pekerjaan akan selalu ada resiko yang harus dihadapi, dan saya sudah siap dengan semua resiko yang akan saya hadapi ketika saya menerima tugas ini." Widjanarko menggelengkan kepalanya. Ia masih ragu untuk menyetujui usulan Rara. Lama ia menimbang, hingga akhirnya anggukan kepalanya menjadi awal terbitnya senyum di kedua sudut Rara. "Terima kasih atas kepercayaannya, Pak," ucap Rara dengan binar mata penuh semangat. Ketakutannya hilang sudah, seiring dengan anggukan setuju Widjanarko. Sambil menghela napas berat, Widjanarko kembali menganggukkan kepalanya. "Berhati-hatilah! Raka bukan orang yang mudah menyerah, kamu harus punya kesabaran ekstra untuk menundukkannya. Aku tidak pernah mengkhawatirkanmu di luar sana, tapi tidak dengan putraku sendiri.