Raka tertawa sangat keras. Ia menikmati kemarahan Rara yang terlihat jelas dalam rekaman di laptopnya. Senyum penuh kemenangan tersungging di wajahnya.
"Aku akan melakukan segala cara untuk mengusirmu dari perusahaanku, meski papa dan mama, juga kakak sangat mendukungmu. Aku adalah bos di perusahaan ini. Aku yang berkuasa di sini. Karena kedatanganmu tidak pernah diterima, maka kau harus pergi dari sini, bagaimanapun caranya. Sekalipun aku harus menghadapi resiko yang sangat besar di akhir cerita nanti," gumam Raka dengan penuh dendam.
Raka kembali menekan angka dua belas, memanggil Susan untuk menghadapnya. Ia perlu melakukan sesuatu, dan kali ini ia membutuhkan pertolongan sekretaris menornya.
"Masuk. Aku memerlukan bantuanmu."
Susan sedikit ragu dengan telpon barusan. Bos-nya tiba-tiba menyuruhnya masuk? Apakah penantiannya selama ini membuahkan hasil? Susan menenangkan jantungnya yang melompat-lompat tidak karuan, setelah menerima telpon dari Raka. Ia sudah lama menaruh hati pada sang atasan, tapi tidak berani menunjukkan secara terang-terangan.
Dengan langkah yang sedikit gemetar, Susan berjalan masuk ke dalam ruangan Raka setelah ketukannya dijawab oleh Raka.
"Ehmm, maaf, Pak. Apakah ada tugas untuk saya?" Demi Tuhan, Susan sangat gugup kali ini. Ia memberanikan diri untuk menatap Raka, dan itu membuatnya mengumpat dalam hati. Betapa atasannya itu begitu sempurna. Tidak salah jika dirinya tergila-gila dengan atasannya itu, dan tidak terima jika ada wanita lain yang mendekati ruangan itu selain dirinya.
"Mendekatlah, dan jangan katakan kepada siapapun soal ini. Ini hanya antara kau dan aku. Kau mengerti?" tegas Raka menatap tajam Susan.
"Ba-baik, Pak."
-0-
Rara dengan setengah berlari menuju ke parkir basemen. Ia membawa mobil Doni untuk pergi ke toko komputer langganan Doni. Dirinya yang belum begitu hafal daerah yang disebutkan Doni, hanya bisa mengikuti semua yang disarankan Doni.
Di datanginya toko yang dimaksud Doni, namun sayangnya, untuk seri yang ia cari sedang dalam pemesanan. Rara menyusuri semua toko komputer yang ada di komplek perbelanjaan itu, akan tetapi ia mendapatkan jawaban yang sama.
Bulir-bulir keringat mulai menyembul, memenuhi kening dan pelipis Rara. Wajahnya yang putih memerah akibat paparan sinar matahari yang mulai beranjak tepat di atas kepala. Rara menghentikan langkahnya sejenak, lalu memutuskan untuk masuk ke dalam mini market yang berada tepat di samping kirinya.
Diambilnya minuman penambah ion tubuh yang ada di hadapannya. Ia merasa sangat kehausan dan kekeringan. Satu botol minuman penambah ion tubuh, akan sangat baik untuk tubuhnya yang mulai terkuras energinya.
"Dia tidak mau bertemu denganmu?" Sebuah suara dari rak belakang, terdengar begitu jelas di telinga gadis itu.
"Tidak, Ma. Icha juga tidak tahu. Papa bahkan belum memberikan foto Icha padanya, tapi dia sudah menolak lebih dulu." Suara gadis yang bernama Icha itu, terdengar begitu menyedihkan, mengundang rasa simpati Rara.
"Hmm. Mama jadi penasaran. Setampan apa sih pria itu sampai-sampai dia tiidak mau bertemu denganmu?" Suara wanita yang pertama kembali terdengar, kali ini dengan nada merendahkan.
"Iya, Ma."
"Jangan-jangan dia merasa tidak pantas. Bisa saja dia sudah pernah melihatmu, lalu merasa tidak selevel dengan kita, terus menolak perjodohan itu," ucap wanita itu dengan rasa percaya yang sangat tinggi.
"Tapi, Ma... Apa benar dia berasal dari keluarga biasa? Icha dengar dari Papa, kalau dia putra dari Om Widjanarko?"
Wanita pertama langsung terbatuk-batuk begitu mendengar perkataan anaknya. "Wid- Widjanarko? Dia putra Widjanarko?"
Rara terkejut. Pak Widjanarko akan menjodohkan putranya? Bukankah putranya hanya satu, dan dia adalah atasannya sekarang?
"Iya, Ma." Suara gadis bernama Icha itu terdengar semakin jelas. Rara menolehkan kepalanya, tampak seorang wanita dengan rambut disanggul tinggi, berjalan mendekati tempatnya berdiri, diikuti seorang gadis cantik di belakangnya.
"Tampaknya Mama memerlukan ini." Wanita bertubuh tinggi besar itu berhenti di samping Rara. " Permisi." Ia menyunggingkan senyum ke arah Rara dan bergerak mengambil minuman yang sama dengan Rara.
"Silakan." Rara menepikan tubuhnya, memberi cukup ruang kepada wanita itu. Ingin rasanya ia menyimak lebih jauh percakapan ibu dan anak di depannya, namun saat ia kembali melirik ke jam tangannya, Rara tercekat. Waktu yang ia miliki tinggal lima puluh lima menit lagi.
Gadis berkuncir ekor kuda itu segera melangkah ke kasir, membayar lalu segera meninggalkan mini market tersebut. Ia duduk sebentar, meneguk beberapa kali minuman ion di tangannya, kemudian beranjak meninggalkan tempat itu.
Dengan setengah berlari, Rara menyeberang jalan di depan deretan ruko.
Ciiiiit!
Tubuh Rara tiba-tiba terangkat keatas, berputar sebentar lalu kembali menapak tanah. Jantungnya berdetak sangat cepat.
"Kalau mau menyeberang lihat-lihat dong!" teriak penuh amarah dari pengemudi mobil sedan berwarna merah, sembari menjalankan kembali mobilnya.
Peluh Rara berjatuhan mengenai ujung hidung bangirnya. Ia sedang berusaha mengatur napasnya saat sebuah suara menyapa telinganya.
"Kamu tidak apa-apa?"
Rara menggelengkan kepala. "Tidak. Saya tidak apa-apa. Terima kasih. Saya harus segera pergi." Rara membungkukkan sedikit tubuhnya, tanpa memperhatikan dengan seksama pria berkacamata di depannya, dan segera berlalu.
"Heeii! Aaaa-aah... Yaa sudahlah. Sampai bertemu lagi kalau begitu." Pria itu menatap kepergian Rara, kemudian kembali ke mobilnya.
Melihat jarum jam tangannya, tanpa berpikir lama, Rara memutuskan untuk masuk ke dalam toko yang berada tepat di depannya. Ia harus segera membeli pesanan atasannya. Tanpa ia sadari, sepasang mata tengah memperhatikannya tepat di samping kasir.
"Aku sudah mendapatkannya. Jadi, lebih baik kau pulang. Istirahat dan tidur yang nyenyak."
Sebuah kalimat sindiran dari sosok yang tiba-tiba berdiri di samping Rara, membuat gadis itu terperangah.
Rara menatap nanar pria di sampingnya. Dengan sisa energi yang dimiliki, Rara berusaha tersenyum. Beribu sumpah serapah mengantri di ujung lidahnya, namun dengan sekuat tenaga, ia menekan keinginannya itu. Ia tidak boleh terpancing, dan harus tetap tenang."Mengapa tidak menghubungi saya?" Rara meletakkan brosur yang beberapa menit lalu diterimanya."Aku sudah mencoba menghubungimu, tapi tidak bisa."Rara mengeluarkan ponselnya. Benarkah tadi sang atasan menghubunginya? Dan senyumnya kembali mengembang. Bagaimana mungkin pria itu bisa menghubunginya, sedangkan dirinya sendiri tidak pernah memberikan nomor ponselnya."Tidak ada telpon yang masuk kecuali dari ..." Rara tidak meneruskan kalimatnya."Kecuali siapa?"Layar ponsel Rara berganti dengan foto seseorang beserta nomornya dan dua kalimat, panggilan masuk."Ibu Ratih. Bapak ingin berbicara dengan Ibu Ratih?" Rara menyodorkan ponselnya ke hadapan Raka. Bola mata Raka langsung membesar. Rara terkekeh penuh kemenangan."Saya duluan
Rara menatap Doni. Ia tidak paham dengan apa yang didengarnya barusan. Sebenarnya apa yang sudah terjadi selama ia keluar mencari apa yang diperintahkan padanya? "Aku tidak bisa menceritakan padamu sekarang. Nanti malam aku akan mampir ke rumahmu." Hanya itu yang bisa disampaikan oleh Doni. Ia tidak bisa berlama-lama berbincang dengan Rara. Yang bisa ia lakukan saat ini hanyalah bersikap baik dan mematuhi semua perintah Raka. Rara menyatukan ujung jempol dan telunjuknya, mengangkat tiga jari kanan yang tersisa, memaklumi keadaan Doni. Untuk saat ini, asisten yang diakui oleh Raka adalah Doni, sedangkan dirinya hanyalah asisten bayangan yang diutus Widjanarko, dan keberadaannya jelas diterima Raka dengan terpaksa.Rara melanjutkan langkahnya, masuk ke dalam lift, mengabaikan Dewa yang masih belum bisa memahami situasi yang sedang terjadi di sekitarnya, dan pria itu menjadi panik ketika pintu lift tertutup rapat dan tidak ada lagi orang di sekitarnya.-0-"Aku tidak pernah menerimanya
Lama tidak mendapatkan jawaban dari Raka, Widjanarko menghela napas. Ia menggelengkan kepala, salah satu cara mencegah tekanan emosinya agar tidak semakin meninggi. Rasa penyesalan mulai menggelayuti dirinya. Andai saja dulu ia tidak mengikuti permintaan Ratih, perusahaan fashionnya sekarang pasti sudah berkembang pesat. "Apa yang sebenarnya kamu inginkan? Papa berikan perusahaan sesuai dengan keinginanmu termasuk semua orang-orang dan dana serta semua asetnya. Tapi, apa yang kamu berikan sebagai bukti keberhasilanmu?" Raka lagi-lagi terdiam. Kenangannya kembali saat ia merongrong Widjanarko di suatu siang, agar dirinya diberi kedudukan penting di salah satu unit bisnis yang dimiliki Widjanarko. Semula Widjanarko ragu, tapi karena desakan Ratih akhirnya pria itu memberikan perusahaan fashionnya untuk dikelola oleh putra semata wayangnya. Namun sayang, apa yang diharapkan tidak kunjung tercapai. "Sekarang, datang ke kantor Papa. Bawa Rara bersamamu. Papa tunggu lima belas menit dari
Rara tidak segera melanjutkan kalimatnya, membuat suasana ruangan berukuran dua belas kali sepuluh meter persegi itu berubah menjadi sangat mencekam. Detak jam dinding berdesain kuno klasik adalah satu-satunya suara yang terdengar. Semua diam membatu, menanti kelanjutan kalimat yang entah, disengaja Rara atau tidak, terputus. "Kamu sengaja melakukan ini? Membuat kami semua menunggu kelanjutan cerita karanganmu?" tegur Raka begitu sinis, membuat Widjanarko melebarkan pupil matanya. "Raka! Bicaralah yang sopan. Jangan permalukan Papa!" hardik Widjanarko begitu keras, membuat suasana menjadi semakin mencekam. Widjanarko kembali menatap Rara. "Katakan apa yang sebenarnya sudah terjadi di sana? Apakah semua berjalan baik-baik saja atau ada kejadian yang tidak seharusnya terjadi di sana, diluar perhitunganmu?" Rara kali ini memberanikan diri untuk menatap Raka sebelum menjawab pertanyaan bos besarnya. Rasa bimbang yang sebelumnya menggelayuti hatinya, kini berubah menjadi keberanian. Ia
Rara memilih untuk diam, tidak mengemukakan pendapatnya. Semua hal yang menjadi pembicaraan anak-bapak ini diluar kendalinya, dan ia tidak punya hak untuk urun rembug. Sama halnya dengan Doni. Pria itu juga mengambil langkah yang sama dengan Rara, menjadi pendengar yang baik. "Kesepakatan apa yang bisa kita buat sore ini?" Suara Widjanarko memecah kesunyian. Raka diam menyimak. "Tidak ingin mengatakan keberatan?" tandas Widjanarko, mengarahkan tatapannya ke arah Raka. Menggeleng lemah, hanya itu yang dilakukan oleh Raka. Ia tidak punya perbendaharaan kata jika sudah berhadapan dengan Widjanarko, dan ia tidak akan pernah menang, jika berdebat dengan pria berusia hampir setengah abad itu, kecuali ada Ratih yang menjadi penyokongnya. "Baiklah. Mungkin hanya Rara yang bisa menjawab, langkah apa yang sebaiknya kita ambil untuk sekarang ini?" Deg. Rara tidak menduga jika Widjanarko akan meminta pendapatnya. Ia tidak ingin lagi bos kecilnya salah paham, yang berujung pada kecemburuan
Widjanarko sangat terkejut. "Kamu serius dengan perkataanmu, Rara? Kamu tidak takut akan akibatnya?" Rara tersenyum simpul. "Bapak sudah mengenal saya begitu lama. Saya akan melakukan pekerjaan saya dengan serius dan secara total. Setiap pekerjaan akan selalu ada resiko yang harus dihadapi, dan saya sudah siap dengan semua resiko yang akan saya hadapi ketika saya menerima tugas ini." Widjanarko menggelengkan kepalanya. Ia masih ragu untuk menyetujui usulan Rara. Lama ia menimbang, hingga akhirnya anggukan kepalanya menjadi awal terbitnya senyum di kedua sudut Rara. "Terima kasih atas kepercayaannya, Pak," ucap Rara dengan binar mata penuh semangat. Ketakutannya hilang sudah, seiring dengan anggukan setuju Widjanarko. Sambil menghela napas berat, Widjanarko kembali menganggukkan kepalanya. "Berhati-hatilah! Raka bukan orang yang mudah menyerah, kamu harus punya kesabaran ekstra untuk menundukkannya. Aku tidak pernah mengkhawatirkanmu di luar sana, tapi tidak dengan putraku sendiri.
Rara tersenyum, dan sekali lagi, senyumnya berhasil membuat Raka salah tingkah. Rara tidak menjawab namun tetap mengulas senyum di wajahnya. Jika atasannya paham, pasti tahu arti senyum yang tersungging di wajahnya. "Kenapa malah senyum? Aku tidak butuh senyumanmu. Apa kamu sedang sariawan?" Raka berusaha mengurai rasa canggung yang menyelimuti dirinya. Sungguh, senyum Rara mengandung racun baginya, dan ia berusaha mati-matian agar tidak terbuai. "Nggak, Pak. Gigi dan gusi saya, sehat semua, termasuk semua bagian dalam rongga mulut saya." "Iissh. Sudah. Hilangkan senyum itu dari wajahmu. Mengganggu saja," rutuk Raka. Ia menyerah, tidak sanggup melihat senyum Rara. "Baik, Pak." Namun, wajah Rara tetap tidak berubah, terlihat cerah dan bersemangat. Dan Raka harus rela tersiksa karena terus saja mencuri-curi pandang gadis di sebelahnya, hingga lehernya terasa pegal. "Don! Mampir ke apotik. Aku butuh obat. Leherku sakit." "Baik, Pak." Apakah ini salah satu strategi Rara? -0- Widj
Widjanarko mengusap wajahnya. Inilah yang ia takutkan sejak dulu. Oknum yang memanfaatkan ketidakpedulian Raka-lah yang akhirnya memanfaatkan peluang yang ada. Ia berhasil mengeruk keuntungan hingga menyebabkan perusahaan fashionnya nyaris kolaps seperti sekarang ini. "Kamu mencurigai seseorang?" tanya Widjanarko pada Rara. "Mungkin tidak hanya satu orang, Pak. Ada beberapa tapi saya harus mengumpulkan bukti dulu. Ini baru dugaan saya saja. Semoga itu salah." "Ya kalau tidak yakin ya jangan diomongin. Selidiki dulu baru bicara,"sungut Raka. Ia tidak mempercayai ucapan Rara. Tidak ada penyelewengan di perusahaannya, dan ia sangat yakin hal itu. Semua orang yang berada di perusahaaannya bukan orang baru. Mereka sudah bekerja lama dengan Widjanarko, jadi mustahil mereka melakukan kecurangan di belakangnya. Widjanarko hanya menatap putranya itu sekilas. Ia lebih mempercayai Rara ketimbang orang-orang itu. Mungkin Rara ada benarnya tapi jika keberadaan Rara tidak didukung sepenuhnya ol