Share

10. SP 3

Rara menatap nanar pria di sampingnya. Dengan sisa energi yang dimiliki, Rara berusaha tersenyum. Beribu sumpah serapah mengantri di ujung lidahnya, namun dengan sekuat tenaga, ia menekan keinginannya itu. Ia tidak boleh terpancing, dan harus tetap tenang.

"Mengapa tidak menghubungi saya?" Rara meletakkan brosur yang beberapa menit lalu diterimanya.

"Aku sudah mencoba menghubungimu, tapi tidak bisa."

Rara mengeluarkan ponselnya. Benarkah tadi sang atasan menghubunginya? Dan senyumnya kembali mengembang. Bagaimana mungkin pria itu bisa menghubunginya, sedangkan dirinya sendiri tidak pernah memberikan nomor ponselnya.

"Tidak ada telpon yang masuk kecuali dari ..." Rara tidak meneruskan kalimatnya.

"Kecuali siapa?"

Layar ponsel Rara berganti dengan foto seseorang beserta nomornya dan dua kalimat, panggilan masuk.

"Ibu Ratih. Bapak ingin berbicara dengan  Ibu Ratih?" Rara menyodorkan ponselnya ke hadapan Raka. 

Bola mata Raka langsung membesar. Rara terkekeh penuh kemenangan.

"Saya duluan, Pak." Ia pamit sambil menerima panggilan dari Ratih.

Raka menggeram. Ia tidak mengira hasilnya akan seperti ini. Seharusnya ia yang jadi pemenang, tapi yang tertawa penuh kemenangan justru asisten baru yang sangat dibencinya, dan  itu hanya karena sebuah panggilan dari mamanya.    

-0-

"Doniiiiiii!" teriak Raka dari dalam ruangannya.

Suaranya yang begitu keras, membuat Susan yang sedang mengoleskan lipsticknya berjingkat kaget , hingga lipstick itu menghasilkan sebuah goresan panjang di pipinya. 

Doni yang kala itu sedang membuat jadwal pertemuan mingguan, langsung mendatangi ruangan Raka. Ia sangat tahu arti panggilan itu, dan ia harus segera menghadap bila tidak ingin lembur dadakan dititahkan Raka untuk seluruh divisi.

"Ada yang harus saya lakukan, Pak?" 

Tsk. Doni salah memilih kata, dan kini ia harus menerima akibatnya.

"Kamu suruh bagian personalia membuat SP 2 untuk karyawan baru itu. Katakan, jika bukan karena kebaikanku, ia akan langsung diusir dari perusahaan ini."

Doni mencelos. 

"Apa yang sedang kamu pikirkan? Cepat ke bagian personalia, dan segera buat apa yang aku perintahkan tadi!" 

Tanpa menganggukkan kepalanya, Doni berjalan mundur, memutar tubuhnya, berjalan meninggalkan Raka yang masih menatapnya tajam. Di dalam benaknya terbayang bagaimana ekspresi Rara, tapi, haruskah ia melaporkan semua ini kepada Widjanarko? Sang Bos Besar? Tidakkah ini akan sangat diperlukan Rara sehingga gadis itu akan selamat? 

Doni terus memikirkan apa yang sebaiknya ia lakukan. Bagaimanapun ia sekarang bekerja pada Raka, bukan Widjanarko. Sudah sepatutnya ia melakukan semua perintah Raka tanpa melakukan pengkhianatan di belakangnya, sekalipun itu demi seseorang yang sejatinya datang untuk membantu mereka.

Doni turun ke lantai empat, menuju ruangan kepala divisi personalia. Ia harus mengecek apakah data Rara sudah masuk ke file perusahaan. Jika sudah, status apa yang disandang Rara? Sebagai karyawan baru atau sebagai utusan khusus dari kantor pusat?

Di tengah perjalanannya menuju ruang personalia, ia bertemu dengan  Dewa, kepala divisi  desain. Pria berambut kuning itu dengan cepat menghampiri Doni yang jelas sedang tergesa-gesa.

"Pak Doni!" panggilnya dengan nada cukup keras.

Doni yang tengah terburu-buru dengan sangat terpaksa menghentikan langkahnya. 

"Aku sedang tidak ada waktu untuk sekedar menjawab pertanyaan singkatmu. Cukup kau ingat apa yang tadi aku katakan padamu," tandas Doni dengan nada dingin, lalu kembali melanjutkan langkahnya yang dibuat semakin lebar.

Dewa terpaksa gigit jari. Maksud hati ingin mendapat informasi terbaru tentang karyawan baru bernama Rara, tapi dirinya justru diacuhkan seperti ini.

-0-

Rara kembali mengantongi ponselnya. Ia memberi jawaban yang bertolak belakang dengan  pertanyaan Ratih mengenai hari-hari pertamanya bekerja bersama Raka, mengatakan semua baik-baik saja dan masih dalam batas wajar. Ia masih bisa mengatasi semuanya sendiri. 

Ia berhenti sejenak setelah langkahnya berada sekitar seratus meter dari toko terakhir yang ia datangi. Ia berusaha mengingat ucapan Raka dan itu membuat dirinya menghela nafas panjang. 

'Apa yang harus aku lakukan jika sudah kembali ke kantor? Haruskah aku bersikap seolah tidak terjadi apa-apa? Bagaimana dengan perintah yang sebelumnya di berikan padanya, bahwa ia hanya diberikan waktu dua jam untuk membawa pulang laptop dengan spek khusus gamer, dan kenyataannya ia gagal karena sang atasan sudah lebih dulu membeli, di tempat yang naasnya adalah tempat terakhir yang ia datangi dan barang ia cari sedang diambilkan pelayan di gudang toko?

Pesan singkat masuk ke ponsel Rara. Dengan cepat ia membuka kotak masuk dan membaca pesan tersebut. 

*Segera kembali ke kantor, ada surat cinta untukmu. Pesanku: Bersikaplah biasa seperti  tidak terjadi apa-apa.*

Rara tertegun. Apa lagi yang dilakukan oleh atasan barunya itu? Mengapa  begitu membencinya? Bukankah seharusnya ia didukung dan dimanjakan, karena kedatangannya untuk menyelamatkan perusahaan dari ambang kehancuran?

Dimanjakan? Rara segera meralat kata itu. Hal yang sama sekali tidak akan pernah ia dapatkan dari seorang Raka.

Rara membalas pesan Doni. 

*Tolong. Jangan pernah memberikan nomor ponsel saya pada siapapun.*

Nada pesan kembali terdengar.

*Pesan diterima. Segera datang ke kantor.*

Dua puluh menit kemudian, Rara sudah berjalan kembali di lobi. Ia melangkah ringan, meski batinnya sedang sibuk menenangkan emosinya yang masih meledak-ledak. Kini, ia merasa tidak lagi semangat seperti di awal saat ia menerima tugas ini. Dia merasa di-prank oleh bos besarnya. 

Ingin protes, tapi dirinya tahu diri. Ia tidak selayaknya melakukan hal itu, mengingat apa yang sudah ia terima dari pasangan suami Widjanarko dan Ratih. 

Ia terus melangkah hingga akhirnya berhenti tepat di pintu lift lantai empat yang masih bergerak turun dari lantai tujuh. Saat menunggu, tiba-tiba sebuah sapaan mengejutkan dirinya. 

"Hai, Rara!" Dewa ternyata sudah berdiri tepat di samping Rara.

"Selamat Siang, Pak Dewa."

Dewa mengembangkan senyumnya mengetahui sapaannya dijawab dengan begitu ramah oleh Rara. Kini, ia mulai sibuk mengamati wajah Rara, dengan begitu serius. Penilaian demi penilaian mulai terbetik di hatinya, dan itu semua membuatnya tersenyum bahagia. Bahagia karena mengenal sosok cantik karyawan baru di perusahaannya.

Ting. Pintu lift terbuka seiring dengan teguran diluar dugaan Rara, yang membuat dirinya mematung seketika.

"Mengapa kamu masih di sini? Bukankah personalia sudah menerbitkan SP 3 untukmu?"

Doni yang berdiri tepat di belakang Raka terkejut. "Pak, bukannya tadi Bapak memerintahkan untuk memberikan SP du..."

"Tiga. Aku berubah pikiran. Segera proses semuanya," ucap Raka melenggang keluar dari lift, meninggalkan Dewa yang terperangah, tidak paham dengan yang baru saja ia dengar. 'Siapa yang dapat SP3?' batinnya bingung.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status