Tubuh Rara seketika menegang. Punggungnya secara spontan tegak. Entah apa yang ada dipikirannya saat itu. Kalimat Raka yang terdengar jelas di telinganya sekalipun hanya didengarnya lewat interkom, terus menggema di dalam telinganya.
Sedangkan Susan, Sang Sekretaris, merasa mendapat dukungan setelah mendengar perintah Raka. Ia dengan gaya sok cantiknya, menyibakkan rambut bergelombang sebahunya ke belakang, menatap Rara dengan sangat sinis, dan segera bangkit dari duduknya. Ia sedang mengatur kata-kata pedas untuk dilontarkan pada Rara. Ia lupa jika beberapa hari yang lalu, Rara datang ke kantor Raka bersama Ratih, istri bos besarnya, Widjanarko. Ia lupa jika hanya orang penting dan berpengaruh saja, yang bisa berjalan begitu dekat dengan Ratih.
"Berani mengucapkan satu kata, aku akan langsung menelpon Pak Widjanarko untuk memecatmu!" Rara tidak melepaskan tatapannya dari Susan, sembari mengacungkan ponselnya ke depan wajahnya, membuat nyali Susan yang hendak mengatakan sesuatu, langsung menciut. Wanita itu dengan cepat kembali ke posisi semulanya.
Rara duduk diam ditempatnya. Ia terus berpikir apa yang akan ia lakukan hari ini. Berurusan dengan orang seperti Raka, harus menggunakan strategi yang tepat. Jika terlihat lemah, maka ia akan terus diintimidasi oleh pria itu, dan itu tidak boleh terjadi. Pria dengan ego tinggi yang begitu mementingkan harga dirinya, seperti Raka harus dihadapi dengan muka tebal.
Ya. Muka tebal. Rara seakan mendapatkan energi baru. Ia tersenyum tipis. Ia melirik ke arah Susan yang kini menundukkan kepala, menatap ta berdaya keyboard laptop di hadapannya.
"Aku pergi dulu. Jika Pak Raka mencariku, katakan padanya jika aku akan kembali lagi kemari." Rara bangkit dari duduknya lalu beranjak pergi, tanpa menatap Susan yang terperangah mendengar perkataannya .
-0-
Raka mengetukkan pensil di atas keyboard laptopn ya. Ia menatap kepergian Rara dari layar laptopnya.
"Berani juga gadis ini. Apa yang harus aku lakukan? Mungkin menghambat pekerjaannya bisa jadi ide yang bagus," gumam Raka. Tatapannya tidak lepas dari layar laptop. Terus mengawasi Rara hingga punggung gadis itu menghilang ke dalam lift.
Raka menekan angka 12, menghubungi Susan. Ia penasaran kemana asisten barunya itu pergi.
"Kemana dia? Pulang?" Raka masih memutar pensil di tangannya.
*Tidak tahu, Pak. Katanya mau keluar sebentar nanti kembali lagi kemari.
Gigi Raka saling beradu. Suara gemeletuk giginya menandakan betapa kesal dirinya mendengar kabar dari sang sekretaris. Apa yang harus ia lakukan agar gadis itu tidak lagi datang kemari?
"Jika sudah datang lagi, suruh saja dia pulang. Katakan jika aku tidak membutuhkan apa pun darinya." Kalimat Raka terdengar jelas di telinga Susan, namun wanita berpenampilan menor itu segera menggelengkan kepalanya. Kening Raka berkerut, melihat apa yang dilakukan sekretarisnya itu.
"Mengapa kamu menggelengkan kepalamu? Kamu berani menolak perintahku?"
Susan menghentikan gelengan kepalanya, menjadi gugup. Rasa was-was dan khawatir membelit hati dan dirinya. Mana yang harus ia ikuti? Atasannya ini atau bos besarnya? Atasan dari atasannya sekarang ini?
"Kenapa tidak segera menjawab? Kamu sudah berani memboikot perintahku?"
Susan menggelengkan kepalanya dengan cepat, tapi ia tetap bungkam. Ia tidak tahu harus menjawab apa.
"Saya tidak berani, Pak."
"Tidak berani bagaimana? Atasan yang harus kamu patuhi adalah aku, bukan yang lain. Jika kamu takut maka rasa takut itu hanya ditujukan padaku, bukan pada sosok yang lain." Suara Raka terdengar menusuk hati kecil Susan. Bagaimanapun kedudukan Raka, atasannya sekarang ini, tidak sepadan dengan kedudukan bos besarnya. Namun, kenyataan jika ia harus taat kepada pria yang berbicara dengannya sekarang lewat interkom, membuat Susan dengan berat hati mengangguk pasrah.
"Saya akan menyuruhnya pulang begitu gadis itu tiba di sini, Pak." Suara Susan terdengar pasrah. Apalah dayanya. Ia hanya seorang karyawan yang menggantungkan hidupnya di perusahaan ini.
Raka tersenyum penuh kemenangan. "Bagus! Katakan pada gadis itu untuk pulang dan besok tidak perlu lagi datang kemari." Raka meletakkan kembali telepon ke tempatnya.
Susan mendesah dalam hati. Ia tidak punya pilihan lain selain melakukan apa yang diperintahkan atasannya, atau ia harus rela keluar dari perusahaan ini secara tidak hormat.
-0-
Rara berjalan meninggalkan lantai tempat kantor Raka berada. Ia berkeliling ke seluruh bagian perusahaan, menyusuri tiap lantai, mengunjungi per divisi, melihat langsung semua kegiatan di perusahaan itu. Ia ingin tahu seperti apa operasional perusahaan yang harus ia benahi. Ia berencana untuk melihat satu per satu divisi yang ada di perusahaan itu, termasuk bagian produksi perusahaan yang berada sekitar dua puluh lima kilometer dari kantor utama.
Seorang manajer datang menghampiri Rara ketika gadis itu menjejakkan kakinya pertama kali di lantai enam. Ia memperhatikan sosok Rara yang kala itu sedang berdiri tepat di depan ruangan divisi desain. Entah mengapa Rara memilih untuk mendatangi divisi itu. Ada sesuatu yang menggelitik hatinya saat melihat penampilan ruang desain yang terkesan biasa saja. Berbeda ketika ia berada di luar negeri. Mengapa orang-orang desain di sini berpenampilan begitu luar biasa, tidak sesuai dengan ruangan tempat mereka bekerja, seperti yang terlihat olehnya siang ini?
"Ada yang bisa saya bantu?" Suara bariton milik seorang pria berambut cepak, sedikit berwarna kekuningan.
Rara menolehkan kepalanya ke sebelah kiri. Ditatapnya pria yang tengah menatap dirinya dengan penuh keheranan.
"Ehm, Saya karyawa...." Belum sempat Rara menyelesaikan kalimatnya, tiba-tiba seseorang memanggil namanya, membuat pria di sampingnya semakin penasaran.
Pria berambut kekuningan itu, tidak melepaskan sedetik pun dari Rara. Ia semakin keheranan ketika asisten pribadi bosnya menyapa ramah gadis itu.
'Apakah gadis ini karyawan baru yang diajukan Pak Doni ke pak bos?'
"Rara!" Doni terlihat begitu senang bertemu Rara. Wajahnya yang mendung beberapa hari ini seketika menjadi cerah. Ia merasa kehadiran Rara akan membawa perubahan bagus untuk perusahaan.
"Pak Doni." Rara sedikit menundukkan badannya.
"Tsk. Jangan begitu sungkan. Kita sekarang rekan kerja. Aku justru harus banyak belajar padamu." Doni mengucapkan kalimat itu sungguh-sungguh. Kehadiran Rara seperti hujan yang datang ditengah kekeringan yang melanda tempatnya bekerja.
"Tampaknya, hanya kamu yang bisa menjinakkan bos kecil," bisik Doni tepat di telinga Rara, membuat Rara terkekeh. Hal ini membuat pria yang sejak tadi berdiri tidak jauh dari Doni dan Rara, semakin heran.
"Hmm. Permisi Pak Doni. Apakah ada penerimaan karyawan baru?" Pria itu akhirnya tidak dapat menahan rasa ingin tahunya. Ia tidak melepaskan tatapannya dari Rara sedikit pun.
Doni baru sadar jika ada orang lain di dekatnya. Ia menatap pria itu lalu tersenyum saat menatap Rara kembali.
"Hmm. Bagaimana ya menjelaskannya? Dia baru juga tidak, lama juga tidak."
Jawaban Doni semakin membuat pria itu merana.
Sang Manajer Umum, yang bernama Dewa manggut-manggut mendengarkan penjelasan Doni. Ia kini tidak lagi berani menatap gadis yang ada di depannya. Penjelasan asisten atasannya, membuat dirinya segera memutuskan untuk mengambil langkah aman, tidak terlalu banyak bertanya terhadap kondisi perusahaan sekarang. "Kebetulan bertemu denganmu di sini. Ada sesuatu yang harus aku jelaskan padamu sebelum kamu bertanya tentang sesuatu hal. Tapi....- Tunggu dulu... Apakah - kamu sudah .... ?" Doni tidak menyelesaikan kalimatnya. Memperhatikan Rara yang sejak tadi memilih diam, membuat Doni meragukan keputusannya.Rara hanya menyengir kuda, sedangkan Doni langsung menepuk jidatnya."Pantas saja jika Pak Widjanarko begitu membanggakan dirimu." Doni menatap Rara begitu intens. "Tidak benar sama sekali. Pak Widjanarko terlalu berlebihan, tapi... Apakah Bapak tahu jawaban dari pertanyaan saya?" Rara membalas tatapan Doni, sambil mengeluarkan ponselnya.Gerakan Rara yang tertangkap sudut mata Dewa, me
Senyum dingin Raka menyambut kedatangan Doni di ruangan bernuansa serba hitam itu. Hawa membunuh menyapu bulu kuduk Doni, membuat pria itu agak ragu untuk meneruskan langkahnya mendekati meja sang atasan."Bukankah aku menyuruhmu untuk menemuiku lebih dulu?" Mata Raka tertuju tepat ke wajah Doni. Doni salah tingkah. Ia lupa jika semua kamera cctv di kantor ini terintegrasi dengan laptop Raka. Hawa dingin ini pastilah karena bosnya melihat pertemuannya dengan Rara. "Iya, Pak."Raka mengetuk jari telunjuknya di atas laptopnya. Ia harus segera membeli laptop baru. Laptop Susan yang sementara ini ia gunakan, membuat geraknya terbatas. Hampir semua file di laptop Susan berisi video kosmetik dan fashion yang sama sekali tidak ia mengerti, dan terkadang membuat dirinya panas dingin sendiri karena ada beberapa film dewasa di sana."Suruh anak baru itu untuk membelikan laptop baru untukku. Beli yang kapasitasnya besar dan bisa dipakai untuk main game sepanjang hari."Doni tercengang. 'Lagi?
Raka tertawa sangat keras. Ia menikmati kemarahan Rara yang terlihat jelas dalam rekaman di laptopnya. Senyum penuh kemenangan tersungging di wajahnya. "Aku akan melakukan segala cara untuk mengusirmu dari perusahaanku, meski papa dan mama, juga kakak sangat mendukungmu. Aku adalah bos di perusahaan ini. Aku yang berkuasa di sini. Karena kedatanganmu tidak pernah diterima, maka kau harus pergi dari sini, bagaimanapun caranya. Sekalipun aku harus menghadapi resiko yang sangat besar di akhir cerita nanti," gumam Raka dengan penuh dendam. Raka kembali menekan angka dua belas, memanggil Susan untuk menghadapnya. Ia perlu melakukan sesuatu, dan kali ini ia membutuhkan pertolongan sekretaris menornya. "Masuk. Aku memerlukan bantuanmu." Susan sedikit ragu dengan telpon barusan. Bos-nya tiba-tiba menyuruhnya masuk? Apakah penantiannya selama ini membuahkan hasil? Susan menenangkan jantungnya yang melompat-lompat tidak karuan, setelah menerima telpon dari Raka. Ia sudah lama menaruh hati p
Rara menatap nanar pria di sampingnya. Dengan sisa energi yang dimiliki, Rara berusaha tersenyum. Beribu sumpah serapah mengantri di ujung lidahnya, namun dengan sekuat tenaga, ia menekan keinginannya itu. Ia tidak boleh terpancing, dan harus tetap tenang."Mengapa tidak menghubungi saya?" Rara meletakkan brosur yang beberapa menit lalu diterimanya."Aku sudah mencoba menghubungimu, tapi tidak bisa."Rara mengeluarkan ponselnya. Benarkah tadi sang atasan menghubunginya? Dan senyumnya kembali mengembang. Bagaimana mungkin pria itu bisa menghubunginya, sedangkan dirinya sendiri tidak pernah memberikan nomor ponselnya."Tidak ada telpon yang masuk kecuali dari ..." Rara tidak meneruskan kalimatnya."Kecuali siapa?"Layar ponsel Rara berganti dengan foto seseorang beserta nomornya dan dua kalimat, panggilan masuk."Ibu Ratih. Bapak ingin berbicara dengan Ibu Ratih?" Rara menyodorkan ponselnya ke hadapan Raka. Bola mata Raka langsung membesar. Rara terkekeh penuh kemenangan."Saya duluan
Rara menatap Doni. Ia tidak paham dengan apa yang didengarnya barusan. Sebenarnya apa yang sudah terjadi selama ia keluar mencari apa yang diperintahkan padanya? "Aku tidak bisa menceritakan padamu sekarang. Nanti malam aku akan mampir ke rumahmu." Hanya itu yang bisa disampaikan oleh Doni. Ia tidak bisa berlama-lama berbincang dengan Rara. Yang bisa ia lakukan saat ini hanyalah bersikap baik dan mematuhi semua perintah Raka. Rara menyatukan ujung jempol dan telunjuknya, mengangkat tiga jari kanan yang tersisa, memaklumi keadaan Doni. Untuk saat ini, asisten yang diakui oleh Raka adalah Doni, sedangkan dirinya hanyalah asisten bayangan yang diutus Widjanarko, dan keberadaannya jelas diterima Raka dengan terpaksa.Rara melanjutkan langkahnya, masuk ke dalam lift, mengabaikan Dewa yang masih belum bisa memahami situasi yang sedang terjadi di sekitarnya, dan pria itu menjadi panik ketika pintu lift tertutup rapat dan tidak ada lagi orang di sekitarnya.-0-"Aku tidak pernah menerimanya
Lama tidak mendapatkan jawaban dari Raka, Widjanarko menghela napas. Ia menggelengkan kepala, salah satu cara mencegah tekanan emosinya agar tidak semakin meninggi. Rasa penyesalan mulai menggelayuti dirinya. Andai saja dulu ia tidak mengikuti permintaan Ratih, perusahaan fashionnya sekarang pasti sudah berkembang pesat. "Apa yang sebenarnya kamu inginkan? Papa berikan perusahaan sesuai dengan keinginanmu termasuk semua orang-orang dan dana serta semua asetnya. Tapi, apa yang kamu berikan sebagai bukti keberhasilanmu?" Raka lagi-lagi terdiam. Kenangannya kembali saat ia merongrong Widjanarko di suatu siang, agar dirinya diberi kedudukan penting di salah satu unit bisnis yang dimiliki Widjanarko. Semula Widjanarko ragu, tapi karena desakan Ratih akhirnya pria itu memberikan perusahaan fashionnya untuk dikelola oleh putra semata wayangnya. Namun sayang, apa yang diharapkan tidak kunjung tercapai. "Sekarang, datang ke kantor Papa. Bawa Rara bersamamu. Papa tunggu lima belas menit dari
Rara tidak segera melanjutkan kalimatnya, membuat suasana ruangan berukuran dua belas kali sepuluh meter persegi itu berubah menjadi sangat mencekam. Detak jam dinding berdesain kuno klasik adalah satu-satunya suara yang terdengar. Semua diam membatu, menanti kelanjutan kalimat yang entah, disengaja Rara atau tidak, terputus. "Kamu sengaja melakukan ini? Membuat kami semua menunggu kelanjutan cerita karanganmu?" tegur Raka begitu sinis, membuat Widjanarko melebarkan pupil matanya. "Raka! Bicaralah yang sopan. Jangan permalukan Papa!" hardik Widjanarko begitu keras, membuat suasana menjadi semakin mencekam. Widjanarko kembali menatap Rara. "Katakan apa yang sebenarnya sudah terjadi di sana? Apakah semua berjalan baik-baik saja atau ada kejadian yang tidak seharusnya terjadi di sana, diluar perhitunganmu?" Rara kali ini memberanikan diri untuk menatap Raka sebelum menjawab pertanyaan bos besarnya. Rasa bimbang yang sebelumnya menggelayuti hatinya, kini berubah menjadi keberanian. Ia
Rara memilih untuk diam, tidak mengemukakan pendapatnya. Semua hal yang menjadi pembicaraan anak-bapak ini diluar kendalinya, dan ia tidak punya hak untuk urun rembug. Sama halnya dengan Doni. Pria itu juga mengambil langkah yang sama dengan Rara, menjadi pendengar yang baik. "Kesepakatan apa yang bisa kita buat sore ini?" Suara Widjanarko memecah kesunyian. Raka diam menyimak. "Tidak ingin mengatakan keberatan?" tandas Widjanarko, mengarahkan tatapannya ke arah Raka. Menggeleng lemah, hanya itu yang dilakukan oleh Raka. Ia tidak punya perbendaharaan kata jika sudah berhadapan dengan Widjanarko, dan ia tidak akan pernah menang, jika berdebat dengan pria berusia hampir setengah abad itu, kecuali ada Ratih yang menjadi penyokongnya. "Baiklah. Mungkin hanya Rara yang bisa menjawab, langkah apa yang sebaiknya kita ambil untuk sekarang ini?" Deg. Rara tidak menduga jika Widjanarko akan meminta pendapatnya. Ia tidak ingin lagi bos kecilnya salah paham, yang berujung pada kecemburuan