Share

6. Karyawan Baru?

Tubuh Rara seketika menegang. Punggungnya secara spontan tegak. Entah apa yang ada dipikirannya saat itu. Kalimat Raka yang terdengar jelas di telinganya sekalipun hanya didengarnya lewat interkom, terus menggema di dalam telinganya. 

Sedangkan Susan, Sang Sekretaris, merasa mendapat dukungan setelah mendengar perintah Raka. Ia dengan gaya sok cantiknya, menyibakkan rambut bergelombang sebahunya ke belakang, menatap Rara dengan sangat sinis, dan segera bangkit dari duduknya. Ia sedang mengatur kata-kata pedas untuk dilontarkan pada Rara. Ia lupa jika beberapa hari yang lalu, Rara datang ke kantor Raka bersama Ratih, istri bos besarnya, Widjanarko. Ia lupa jika hanya orang penting dan berpengaruh saja, yang bisa berjalan begitu dekat dengan Ratih.

"Berani mengucapkan satu kata, aku akan langsung menelpon Pak Widjanarko untuk memecatmu!" Rara tidak melepaskan tatapannya dari Susan, sembari mengacungkan ponselnya ke depan wajahnya, membuat nyali Susan yang hendak mengatakan sesuatu, langsung menciut. Wanita itu dengan cepat kembali ke posisi semulanya.

Rara duduk diam ditempatnya. Ia terus berpikir apa yang akan ia lakukan hari ini. Berurusan dengan orang seperti Raka, harus menggunakan strategi yang tepat. Jika terlihat lemah, maka ia akan terus diintimidasi oleh pria itu, dan itu tidak boleh terjadi. Pria dengan ego tinggi yang begitu mementingkan harga dirinya, seperti Raka harus dihadapi dengan muka tebal.

Ya. Muka tebal. Rara seakan mendapatkan energi baru. Ia tersenyum tipis. Ia melirik ke arah Susan yang kini menundukkan kepala, menatap ta berdaya keyboard laptop di hadapannya. 

"Aku pergi dulu. Jika Pak Raka mencariku, katakan padanya jika aku akan kembali lagi kemari." Rara bangkit dari duduknya lalu beranjak pergi, tanpa menatap Susan yang terperangah mendengar perkataannya .

-0-

Raka mengetukkan pensil di atas  keyboard laptopn ya. Ia menatap kepergian Rara dari layar laptopnya.

"Berani juga gadis ini. Apa yang harus aku lakukan? Mungkin menghambat pekerjaannya bisa jadi ide yang bagus," gumam Raka. Tatapannya tidak lepas dari layar laptop. Terus mengawasi Rara hingga punggung gadis itu menghilang ke dalam lift.

Raka menekan angka 12, menghubungi Susan. Ia penasaran kemana asisten barunya itu pergi.

"Kemana dia? Pulang?" Raka masih memutar pensil di tangannya.

*Tidak tahu, Pak. Katanya mau keluar sebentar nanti kembali lagi kemari.

Gigi Raka saling beradu. Suara gemeletuk giginya menandakan betapa kesal dirinya mendengar kabar dari sang sekretaris. Apa yang harus ia lakukan agar gadis itu tidak lagi datang kemari? 

"Jika sudah datang lagi, suruh saja dia pulang. Katakan jika aku tidak membutuhkan apa pun darinya." Kalimat Raka terdengar jelas di telinga Susan, namun wanita berpenampilan menor itu segera menggelengkan kepalanya. Kening Raka berkerut, melihat apa yang dilakukan sekretarisnya itu.

"Mengapa kamu menggelengkan kepalamu? Kamu berani menolak perintahku?"

Susan menghentikan gelengan kepalanya, menjadi gugup. Rasa was-was dan khawatir membelit hati dan dirinya. Mana yang harus ia ikuti? Atasannya ini atau bos besarnya? Atasan dari atasannya sekarang  ini?

"Kenapa tidak segera menjawab? Kamu sudah berani memboikot perintahku?"

Susan menggelengkan kepalanya dengan cepat, tapi ia tetap bungkam. Ia tidak tahu harus menjawab apa.  

"Saya tidak berani, Pak."

"Tidak berani bagaimana? Atasan yang harus kamu patuhi adalah aku, bukan yang lain. Jika kamu takut maka rasa takut itu hanya ditujukan padaku, bukan pada sosok yang lain." Suara Raka terdengar menusuk hati kecil Susan. Bagaimanapun kedudukan Raka, atasannya sekarang ini, tidak sepadan dengan kedudukan bos besarnya. Namun, kenyataan jika ia harus taat kepada pria yang berbicara dengannya sekarang lewat interkom, membuat Susan dengan berat hati mengangguk pasrah.

"Saya akan menyuruhnya pulang begitu gadis itu tiba di sini, Pak." Suara Susan terdengar pasrah. Apalah dayanya. Ia hanya seorang karyawan yang menggantungkan hidupnya di perusahaan ini.

Raka tersenyum penuh kemenangan. "Bagus! Katakan pada gadis itu untuk pulang dan besok tidak perlu lagi datang kemari." Raka  meletakkan kembali telepon ke tempatnya.

Susan mendesah dalam hati. Ia tidak punya pilihan lain selain melakukan apa yang diperintahkan atasannya, atau ia harus rela keluar dari perusahaan ini secara tidak hormat. 

-0-

Rara berjalan meninggalkan lantai tempat kantor Raka berada. Ia berkeliling ke seluruh bagian perusahaan, menyusuri tiap lantai, mengunjungi per divisi, melihat langsung semua kegiatan di perusahaan itu.  Ia ingin tahu seperti apa operasional perusahaan yang harus ia benahi. Ia berencana untuk melihat satu per satu divisi yang ada di perusahaan itu,  termasuk bagian produksi perusahaan yang berada sekitar dua puluh lima kilometer dari kantor utama.

Seorang manajer datang menghampiri Rara ketika gadis itu menjejakkan kakinya pertama kali di lantai enam. Ia memperhatikan sosok Rara yang kala itu sedang berdiri tepat di depan ruangan divisi desain. Entah mengapa Rara memilih untuk mendatangi divisi itu. Ada sesuatu yang menggelitik hatinya saat melihat penampilan ruang desain yang terkesan biasa saja. Berbeda ketika ia berada di luar negeri. Mengapa orang-orang desain di sini berpenampilan begitu luar biasa, tidak sesuai dengan ruangan tempat mereka bekerja, seperti yang terlihat olehnya siang ini?

"Ada yang bisa saya bantu?" Suara bariton milik seorang pria berambut cepak, sedikit berwarna kekuningan.

Rara menolehkan kepalanya ke sebelah kiri. Ditatapnya pria yang tengah menatap dirinya dengan penuh keheranan.

"Ehm, Saya karyawa...." Belum sempat Rara menyelesaikan kalimatnya, tiba-tiba seseorang memanggil namanya, membuat pria di sampingnya semakin penasaran.

Pria berambut kekuningan itu, tidak melepaskan sedetik pun dari Rara. Ia semakin keheranan ketika asisten pribadi bosnya  menyapa ramah gadis itu.

'Apakah gadis ini karyawan baru yang diajukan Pak Doni ke pak bos?'

"Rara!" Doni terlihat begitu senang bertemu Rara. Wajahnya yang mendung beberapa hari ini seketika menjadi cerah. Ia merasa kehadiran Rara akan membawa perubahan bagus untuk perusahaan.

"Pak Doni." Rara sedikit menundukkan badannya. 

"Tsk. Jangan begitu sungkan. Kita sekarang rekan kerja. Aku justru harus banyak belajar padamu." Doni mengucapkan kalimat itu sungguh-sungguh. Kehadiran Rara seperti hujan yang datang ditengah kekeringan yang melanda tempatnya bekerja. 

"Tampaknya, hanya kamu yang bisa menjinakkan bos kecil," bisik Doni tepat di telinga Rara, membuat Rara terkekeh. Hal ini membuat pria yang sejak tadi berdiri tidak jauh dari Doni dan Rara, semakin heran.

"Hmm. Permisi Pak Doni. Apakah ada penerimaan karyawan baru?" Pria itu akhirnya tidak dapat menahan rasa ingin tahunya. Ia tidak melepaskan tatapannya dari Rara sedikit pun.

Doni baru sadar jika ada orang lain di dekatnya. Ia menatap pria itu lalu tersenyum saat menatap Rara kembali.

"Hmm. Bagaimana ya menjelaskannya? Dia baru juga tidak, lama juga tidak."

Jawaban Doni semakin membuat pria itu merana. 

                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                         

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status