Share

5. Gaung Perang Raka

Raka mengacak rambutnya berulang. Wajah putihnya  memerah ketika panas sinar matahari senja itu menerpa wajahnya. Amarah  membuat  wajahnya semakin memerah. Ia melangkah masuk ke sebuah bar mini, seratus meter dari kantornya. Tempat biasa ia menghabiskan waktu bersama teman-teman nongkrongnya. 

"Ah-haaa. Lama tidak melihatmu, Bestie." Setya sang pemilik bar, menyapa dari balik meja kasir. Sedikit berkelakar.

Raka hanya melirik sesaat, mengabaikan candaan Setya yang terdengar garing di telinganya. Ia lantas memberi kode kepada Setya.

"Sudah dapat ijin lagi?" Pria itu mengambil sloki kecil lalu meletakkannya tepat di hadapan Raka.

"Apakah aku sudah mengatakan pesananku?" Raka menatap tajam Setya.

Setya menghentikan gerakannya, lalu memperhatikan penampilan Raka yang kacau hari ini.

"Sesuatu yang buruk sedang terjadi, bukan? Jadi, satu sloki kecil ini, cukup untukmu melupakan semua masalah barang sejenak." Kini, pria itu mengambil botol yang berisi cairan warna kuning kecoklatan.

"Aku tidak sedang bercanda! Berikan padaku yang biasa aku minum!" Raka melempar satu bungkus kacang goreng, yang tepat mengenai pelipis Setya. Mini bar teraneh dengan menu spesial kacang goreng, yang justru menjadi menu andalan.

"Itu terlalu ringan, Ka. Sangat ringan. Untuk melewati hari ini, kamu memerlukan yang sedikit lebih keras dari biasanya."

"Masih saja mengoceh, aku akan angkat kaki dari sini." Raka menatap kesal Setya.

Pria itu justru mengedikkan bahunya. Ia mengabaikan perintah Raka, dan tetap mengeluarkan botol kuning kecoklatan yang memang sejak tadi ingin diambilnya.

"Sialan kau, Set! Aku tidak akan datang kemari lagi!" Raka berdiri, memutar badannya dan meninggalkan Setya yang menatap tidak percaya sahabatnya itu. 

'Apakah masalahnya kali ini begitu pelik?' Setya hanya mampu melepas kepergian Raka dengan tatapan tidak mengerti.

-0-

Raka meninggalkan mini bar Setya tanpa tujuan yang jelas. Ia menghentikan mobilnya  lalu keluar, berjalan tak tentu arah. Ia sedang tidak berminat melakukan apa pun. Jam di tangannya sedang berhenti di angka lima. Ia menghentikan langkahnya, duduk di pinggir jalan, tepat di depan sebuah sekolah dasar. Ada penjual cilot yang baru saja datang dan sedang mengatur tempatnya untuk mangkal. Tanpa pikir panjang, Raka mendatangi pedagang cilot itu.

"Cicip satu ya?" ujar Raka tanpa menanti jawaban sang penjual. Ia mengambil satu lalu dengan tangkas dilemparkan ke dalam mulutnya. Dikunyahnya pelan lalu cepat. Ia mengulangi lagi. Ambil satu cilot, dilemparkannya lagi ke dalam mulutnya. Merasa ini adalah obat yang tepat untuk mengusir gundah gulananya hari ini, Raka mengangsurkan satu lembar uang kertas berwarna biru.

"Kasih sambal kacang aja. Buat yang pedes ya, Bang." Raka mengambil lagi satu cilot dan melempar ke dalam mulutnya.

Malu? Raka tidak lagi mengingat rasa itu. Mengabaikan banyak pasang mata mengarah padanya, Raka membawa pergi bungkusan berkuah coklat itu. Ia mengambil satu lalu memasukkannya ke dalam mulutnya. Tidak berhenti mengunyah, otak Raka juga tidak berhenti memikirkan kejadian yang menimpanya hari ini.

Hari pertama sang asisten baru bekerja, sudah membuat neraka untuk dirinya. Ia hanya diberi waktu satu bulan untuk berubah. Menjadi CEO yang sesungguhnya. Bukan lagi CEO jadi-jadian seperti sebelumnya.

Senja semakin gelap. Tanda jika sang malam akan menggantikan kedudukannya.

Raka membuka pintu mobilnya sambil terus mengunyah bulatan kecil berkuah kacang entah untuk yang ke berapa. Ia mengucap nama asisten baru di sela-sela kunyahannya.

"Apa yang harus aku lakukan terhadapmu??" desisnya. Ia mendadak mencengkeram kuat bungkusan cilot di tangannya.

Bayangan Rara memenuhi kepalanya, seakan mengejek dirinya yang sudah gagal menjadi CEO. Cengkeramannya semakin erat dan tanpa disadari, bungkusan cilot itu pecah dan membasahi sebagian kemeja dan celana Raka.

"Raraaaaaa!!!!!!"raung Raka penuh amarah. "Aku akan membuat perhitungan denganmu!!!"

-0-

Pagi itu, Rara bangun lebih pagi dari biasanya. Kali ini ia tidak berangkat ke apartemen bosnya. Ia disuruh berangkat langsung ke kantor tanpa perlu mampir ke apartemen mewah itu. Rara mengeluarkan sepeda listriknya. Dilihatnya sediaan listrik di sepeda itu. Dirasa cukup untuk mengantarkannya ke kantor baru, Rara hanya membersihkan sebentar sepeda listrik berwarna merah dan hitam itu.

Ia menyantap sarapan pagi yang ia beli di tetangga sebelah. Nasi rames. Semoga membuatnya lebih bertenaga untuk menghadapi hari ini, bertemu dengan bos baru yang sangat menjengkelkan. Semoga tidak ada halangan yang berarti, bersitegang dengan sang atasan.

Tugas kali ini sangat berat, yaitu  menjadi pemimpin bayangan bagi sang bos, untuk menjadi CEO yang sebenarnya. Ia merasa tidak yakin dapat melakukan tugasnya dengan baik.

Tarikan nafas panjang Rara mencerminkan jika gadis itu sedikit pesimis untuk melewati hari ini seperti rencananya. 'Kuatkan aku, Tuhan.' Rara merapal doa penyemangat untuk dirinya sendiri.

Dua puluh menit kemudian, Rara sudah dalam perjalanan menuju kantor baru, dan ia hanya membutuhkan waktu sepuluh menit untuk mencapainya.

"Apakah kau sudah tidak sabar untuk menggantikan tempatku hingga datang sepagi ini?" suara Raka  tiba-tiba menyapa telinga Rara saat gadis itu mengantri di lift lantai satu.

Sinyal perang sudah dikirimkan oleh sang atasan. Rara memejamkan mata, menulikan telinga untuk beberapa saat sebelum ia menyapa bosnya yang sangat menyebalkan.

"Selamat Pagi, Pak." Rara sedikit membungkukkan badannya. 

Raka mendengus, melewati gadis itu lalu dengan cepat menekan tombol lift.

Rara diam di belakang Raka. 'Mengapa tidak lewat lift khusus? Apakah memang sengaja mencari masalah denganku?' 

Rara bermonolog sendiri. Ia kini mencurigai semua sikap sang bos. Abaikan saja atau justru diladeni? Sekalian buat sang bos naik darah saban hari?

"Jangan merencanakan hal busuk terhadapku. Aku bisa membaca dengan jelas apa yang  kau rencanakan padaku." 

Wow! Surprise! Dia bisa telepati? Rara mendeham. 

"Tidak, Pak. Saya tidak berani. Kecuali jika keadaan kepepet." Ups. Rara keceplosan.

Raka mendelik hebat. 'Benar-benar gadis tidak tahu diri!' 

Pria itu menatap lekat asistennya yang kini lebih memilih menundukkan kepalanya.

"Apa kau berharap menemukan uang di bawah sana?"

Astaga! Rara menghirup banyak oksigen, mengisi paru-parunya yang tiba-tiba sesak. 

'Sabar, Ra. Sabar. Kamu harus kuaaatttt!' 

Ting.

Pintu lift terbuka. Raka melangkahkan kakinya lebar-lebar. Seakan enggan diikuti Rara. Ia benci setengah mati dengan gadis di belakangnya, yang tengah berlari-lari kecil mengejarnya. Raka semakin mempercepat jalannya, dan langsung menutup pintu ruangannya begitu dirinya seratus persen berada di dalam ruangan.

Rara berdiri tepat di depan pintu, ketika pintu di depannya menutup sendiri dengan suara begitu keras. Rara berjingkat kaget.  Ingin rasanya gadis itu berteriak  kesal. Nyaris saja satu bulir airmata amarah turun dari sudut matanya. Namun Rara, dengan cepat mengerjapkan kedua  matanya hingga hanya tersisa sedikit di ujung sudut matanya.

'Jangan menangis. Jangan sampai dia melihat air matamu.' Rara memutar tubuhnya, mengambil tempat di satu meja kosong, tepat di samping meja sekretaris.

"Karyawan baru ya?" tanya sang sekretaris, jauh dari wajah ramah. Ia menatap Rara dengan pandangan tidak suka. 

"Suruh dia pulang, San." Suara Raka tiba-tiba menggema di interkom. "Dia tidak diterima di sini!"

Seluruh badan Rara menjadi menegang.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status