Rara berjalan menyusuri jalan setapak, beberapa blok sebelum rumah bercat pink, tempanya tinggal. Sikap bos barunya membuat dirinya merasa sedikit pesimis. Ia tidak yakin bisa melakukan tugasnya kali ini dengan sempurna. Mungkin beberapa diktat besar lebih mudah ia taklukkan, dibandingkan pria bodoh yang seharian ini terus saja memaki dan menghina dirinya.
Rara menatap langit luas yang membentang di depannya. Andai ia memilih untuk tetap di luar negeri, apakah Pak Widjanarko akan bersikeras memberikan tugas ini kepadanya?
Saku jas hitamnya kembali bergerak-gerak pelan. Sebuah panggilan kembali harus diterima Rara, yang berniat memanjakan dirinya dengan semangkuk mie ayam di pojok blok rumahnya.
"Ya, ."
Rara menyimak sembari memejamkan kedua matanya.
"Baik, Bu. Tiga puluh menit lagi saya sudah ada di sana."
Rara mempercepat langkahnya. Mungkin ini resiko yang harus ia terima. Biaya pendidikan yang diterimanya selama ini cukup besar. Ini adalah satu-satunya cara agar bisa membalas budi Pak Widjanarko dan istrinya, Ratih.
-0-
"Mama tidak mau tahu!" ucap Ratih penuh ketegasan. Ia menatap sebal ke arah putra semata wayangnya. Wanita itu sudah tidak tahu lagi bagaimana menyadarkan putra satu-satunya.
"Apa perlu Mama memanggil pulang Nadhira, Ka?" Nada Ratih terdengar putus asa.
Wajah Raka seketika berubah. Duduknya sudah tidak lagi nyaman. "Untuk apa, Ma?"
"Untuk menghukummu!" Kilatan amarah sangat terlihat jelas di wajah Ratih.
"Ini adalah kesempatanmu, Raka. Mama menugasi Rara untuk menjadi asistenmu bukan asal tunjuk. Kakakmu itu sudah lama meminta Rara, untuk menemaninya mengelola perusahaan di Inggris sana. Tapi Mama dan Papa selalu menolak permintaannya. Kau. Kau yang sama sekali tidak punya kemampuan, justru tidak menghargai gadis itu sama sekali, Nilai Rara seribu kali lebih baik daripada kemampuanmu!"
Wajah Raka memerah. Ia tidak terima dibandingkan dengan orang lain, terlebih lagi asisten barunya itu. Kebenciannya semakin menjadi. Keistimewaan apa yang dimiliki gadis itu hingga kedua orang tuanya ditambah lagi kakak perempuan satu-satunya, begitu memuja gadis itu?
Ratih melangkah menjauhi Raka ketika ketukan di pintu ruang utama menggema.
"Akhirnya kamu datang juga. Maafkan Ibu, ya? Seharusnya kamu sudah bisa beristirahat hari ini."
"Tidak apa-apa, Bu."
"Baiklah. Sekarang kamu ikut Ibu ke ruang rapat. Sebentar lagi Nadhira akan menelpon kita."
Langkah Ratih terayun anggun diikuti Rara yang tetap semangat mengikuti wanita cantik yang melangkah di depannya, meski membuang jauh rasa lelah yang sudah menggelayuti dirinya sejak ia keluar dari kantor ini.
Raka hanya duduk memandangi kepergian keduanya. Seribu satu umpatan sudah terucap dalam hatinya, dan itu semua tertuju pada asisten barunya. Fix. Ia sangat membenci gadis bernama Rara.
Pria itu bergeming. Masih duduk di tempatnya. Ia sama sekali tidak tertarik untuk mengikuti dari belakang.
"Apakah kamu sudah bisa mengambil keputusan yang tepat, hingga enggan menyimak pembicaraan Mama dengan kakakmu?" sindir Ratih ketika menyadari jika putranya bergeming di tempat duduknya.
Raka tersentak. Mau tidak mau, akhirnya mengikuti Ratih. Ia merasa heran. Ada apa dengan mamanya ini? Mengapa beliau sekarang begitu membencinya? Mengapa begitu menyanjung gadis menyebalkan itu? Tatapan Raka terus terpusat pada punggung Rara.
Hingga mereka tiba di sebuah ruangan dengan meja besar dikelilingi banyak kursi. Dering ponsel Ratih menggema. Rara dengan cepat menyambungkan perangkat peralatan untuk melakukan teleconference.
Semua yang dilakukan Rara tidak lepas dari pengawasan Raka. Pria itu berharap Rara melakukan kesalahan yang dapat mempermalukan dirinya sendiri tapi sayangnya, keinginan Raka tidak terkabul. Rara menyelesaikan semua dengan sempurna. Gadis itu dengan lihai menyambungkan semua kabel yang Raka sendiri tidak tahu fungsi masing-masing kabel.
Tak berapa lama, layar besar di ruangan itu menampilkan wajah cantik Nadhira. Senyum cerah tersungging di sana.
"Halo, Mama!!" Nadhira melambaikan tangan kanannya. "Rara juga di sini?" tanyanya ketika gadis itu menempatkan diri di belakang kursi yang ditempati Ratih.
"Lah kalau tidak ada Rara, buat apa Mama melakukan teleconference sama kamu, Nad?"
Nadhira terkekeh. "Ehm, lalu? Ada hal serius yang perlu kita diskusikan hari ini?"
Ratih melirik sejenak ke arah Raka yang saat ini justru memilih untuk diam, dan menghindari tatapan Nadhira, yang sejak tadi selalu melirik dirinya.
Berceritalah Ratih tentang apa yang sedang dialami perusahaan Raka, dan sebab mengapa Rara sekarang ada di sini bersama mereka, bukan di Inggris. Nadhira menyimak dengan serius. Terkadang ia memprotes beberapa kalimat yang disampaikan oleh Ratih.
"Pantas saja. Bulan kemarin, Nadhira meminta papa menyetujui permintaan Nadhira, agar Rara ditugaskan membantu Nadhira di sini. Tapi, papa langsung menolaknya."
"Bisa saja keinginan kamu itu terkabul hari ini," jawab Ratih sambil mendesah panjang.
"Benarkah?" Sejenak wajah Nadhira mengembang ceria, namun wanita itu langsung mengernyitkan keningnya. "Serius, Ma?"
Ratih mengangguk. "Kemampuan Rara tidak diperlukan di sini. Adikmu itu kemampuannya jauh di atas rata-rata, dan ia lebih mampu menjalankan perusahaan ini sendiri." Nada bicara Ratih terdengar putus asa.
Nadhira dengan cepat mengalihkan tatapannya ke arah Raka.
"Hei, Kau bocah ingusan!" hardiknya tanpa ada nada lembut sedikit pun.
Ia sudah lama ingin memarahi adiknya itu, tapi selalu saja dihalangi sang mama. Tapi kali ini, ia akan menggunakan kesempatan dengan sebaik-baiknya.
Ratih bergeming. Ia menyimak perseteruan putra-putrinya. Rara dibuat salah tingkah karena di satu sisi Nadhira memujinya setinggi langit, tapi Raka menghinanya dengan berapi-api.
"Kalau kamu memang pintar, mengapa kondisi keuangan perusahaan nyaris mendekati kebangkrutan, heh?" Nadhira benar-benar memanfaatkan kesempatan ini.
"Kakak tidak tahu situasinya." Raka berkilah berusaha menyelamatkan diri.
"Tidak tahu bagaimana? Jangan dikira Kakak melepaskanmu begitu saja!. Semua pergerakan dan polah tingkahmu tidak luput dari pengawasan Kakak!" tegas Nadhira. Kepalanya mendadak sakit. Entah cara apa lagi, yang bisa menyadarkan adik semata wayangnya itu, dari kebodohan yang selama ini mengitarinya.
"Jangan membuat malu mama dan papa, Raka!" Kalimat pamungkas ini, berhasil menciutkan kesombongan Raka.
"Jadi, katakan pada kakak. Apakah kamu masih menolak Rara untuk menemanimu mengelola perusahaan atau kamu akan kakak jadikan karyawan biasa di perusahaan ini?"
"Ap-Apaaa?!!! Maksud kakak apa?! Lalu, siapa yang akan memimpin perusahaan ini?" Raka terbeliak, tidak percaya mendengar ancaman Nadhira.
"Rara." Jawaban singkat Nadhira membuat Raka berteriak tidak percaya.
"Kakak!!! Jangan bercanda!"
"Kakak tidak bercanda. Sangat serius. Papa pasti akan setuju dengan ide kakak."
Bagai buah simalakama. Raka dibuat benar-benar tidak berdaya. Ia tidak diberi waktu untuk berpikir.
"Waktu terus berjalan, Raka." Nadhira terus menekan adik satu-satunya itu.
Raka dihadapkan pada situasi yang tidak ada pilihan sama sekali untuknya mengelak. Semua yang dikatakan Nadhira nyaris benar semua. Selama perusahaan fashion itu berada dalam tangannya, ia belum mampu mendatangkan keuntungan yang mampu membuat kedua orang tuanya tersenyum bangga. Bukannya bekerja dengan serius dan penuh rasa tanggung jawab, Raka justru menjadikan kedudukannya sebagai CEO perusahaan sebagai mainan
"Haruskah kakak menghitung mundur?"
Raka masih tetap diam, dengan seribu sumpah serapah dalam batinnya.
"Lima... Empat... Tiga ... Dua..."
Raka mengacak rambutnya berulang. Wajah putihnya memerah ketika panas sinar matahari senja itu menerpa wajahnya. Amarah membuat wajahnya semakin memerah. Ia melangkah masuk ke sebuah bar mini, seratus meter dari kantornya. Tempat biasa ia menghabiskan waktu bersama teman-teman nongkrongnya. "Ah-haaa. Lama tidak melihatmu, Bestie." Setya sang pemilik bar, menyapa dari balik meja kasir. Sedikit berkelakar.Raka hanya melirik sesaat, mengabaikan candaan Setya yang terdengar garing di telinganya. Ia lantas memberi kode kepada Setya."Sudah dapat ijin lagi?" Pria itu mengambil sloki kecil lalu meletakkannya tepat di hadapan Raka."Apakah aku sudah mengatakan pesananku?" Raka menatap tajam Setya.Setya menghentikan gerakannya, lalu memperhatikan penampilan Raka yang kacau hari ini."Sesuatu yang buruk sedang terjadi, bukan? Jadi, satu sloki kecil ini, cukup untukmu melupakan semua masalah barang sejenak." Kini, pria itu mengambil botol yang berisi cairan warna kuning kecoklatan."Aku ti
Tubuh Rara seketika menegang. Punggungnya secara spontan tegak. Entah apa yang ada dipikirannya saat itu. Kalimat Raka yang terdengar jelas di telinganya sekalipun hanya didengarnya lewat interkom, terus menggema di dalam telinganya. Sedangkan Susan, Sang Sekretaris, merasa mendapat dukungan setelah mendengar perintah Raka. Ia dengan gaya sok cantiknya, menyibakkan rambut bergelombang sebahunya ke belakang, menatap Rara dengan sangat sinis, dan segera bangkit dari duduknya. Ia sedang mengatur kata-kata pedas untuk dilontarkan pada Rara. Ia lupa jika beberapa hari yang lalu, Rara datang ke kantor Raka bersama Ratih, istri bos besarnya, Widjanarko. Ia lupa jika hanya orang penting dan berpengaruh saja, yang bisa berjalan begitu dekat dengan Ratih."Berani mengucapkan satu kata, aku akan langsung menelpon Pak Widjanarko untuk memecatmu!" Rara tidak melepaskan tatapannya dari Susan, sembari mengacungkan ponselnya ke depan wajahnya, membuat nyali Susan yang hendak mengatakan sesuatu, lang
Sang Manajer Umum, yang bernama Dewa manggut-manggut mendengarkan penjelasan Doni. Ia kini tidak lagi berani menatap gadis yang ada di depannya. Penjelasan asisten atasannya, membuat dirinya segera memutuskan untuk mengambil langkah aman, tidak terlalu banyak bertanya terhadap kondisi perusahaan sekarang. "Kebetulan bertemu denganmu di sini. Ada sesuatu yang harus aku jelaskan padamu sebelum kamu bertanya tentang sesuatu hal. Tapi....- Tunggu dulu... Apakah - kamu sudah .... ?" Doni tidak menyelesaikan kalimatnya. Memperhatikan Rara yang sejak tadi memilih diam, membuat Doni meragukan keputusannya.Rara hanya menyengir kuda, sedangkan Doni langsung menepuk jidatnya."Pantas saja jika Pak Widjanarko begitu membanggakan dirimu." Doni menatap Rara begitu intens. "Tidak benar sama sekali. Pak Widjanarko terlalu berlebihan, tapi... Apakah Bapak tahu jawaban dari pertanyaan saya?" Rara membalas tatapan Doni, sambil mengeluarkan ponselnya.Gerakan Rara yang tertangkap sudut mata Dewa, me
Senyum dingin Raka menyambut kedatangan Doni di ruangan bernuansa serba hitam itu. Hawa membunuh menyapu bulu kuduk Doni, membuat pria itu agak ragu untuk meneruskan langkahnya mendekati meja sang atasan."Bukankah aku menyuruhmu untuk menemuiku lebih dulu?" Mata Raka tertuju tepat ke wajah Doni. Doni salah tingkah. Ia lupa jika semua kamera cctv di kantor ini terintegrasi dengan laptop Raka. Hawa dingin ini pastilah karena bosnya melihat pertemuannya dengan Rara. "Iya, Pak."Raka mengetuk jari telunjuknya di atas laptopnya. Ia harus segera membeli laptop baru. Laptop Susan yang sementara ini ia gunakan, membuat geraknya terbatas. Hampir semua file di laptop Susan berisi video kosmetik dan fashion yang sama sekali tidak ia mengerti, dan terkadang membuat dirinya panas dingin sendiri karena ada beberapa film dewasa di sana."Suruh anak baru itu untuk membelikan laptop baru untukku. Beli yang kapasitasnya besar dan bisa dipakai untuk main game sepanjang hari."Doni tercengang. 'Lagi?
Raka tertawa sangat keras. Ia menikmati kemarahan Rara yang terlihat jelas dalam rekaman di laptopnya. Senyum penuh kemenangan tersungging di wajahnya. "Aku akan melakukan segala cara untuk mengusirmu dari perusahaanku, meski papa dan mama, juga kakak sangat mendukungmu. Aku adalah bos di perusahaan ini. Aku yang berkuasa di sini. Karena kedatanganmu tidak pernah diterima, maka kau harus pergi dari sini, bagaimanapun caranya. Sekalipun aku harus menghadapi resiko yang sangat besar di akhir cerita nanti," gumam Raka dengan penuh dendam. Raka kembali menekan angka dua belas, memanggil Susan untuk menghadapnya. Ia perlu melakukan sesuatu, dan kali ini ia membutuhkan pertolongan sekretaris menornya. "Masuk. Aku memerlukan bantuanmu." Susan sedikit ragu dengan telpon barusan. Bos-nya tiba-tiba menyuruhnya masuk? Apakah penantiannya selama ini membuahkan hasil? Susan menenangkan jantungnya yang melompat-lompat tidak karuan, setelah menerima telpon dari Raka. Ia sudah lama menaruh hati p
Rara menatap nanar pria di sampingnya. Dengan sisa energi yang dimiliki, Rara berusaha tersenyum. Beribu sumpah serapah mengantri di ujung lidahnya, namun dengan sekuat tenaga, ia menekan keinginannya itu. Ia tidak boleh terpancing, dan harus tetap tenang."Mengapa tidak menghubungi saya?" Rara meletakkan brosur yang beberapa menit lalu diterimanya."Aku sudah mencoba menghubungimu, tapi tidak bisa."Rara mengeluarkan ponselnya. Benarkah tadi sang atasan menghubunginya? Dan senyumnya kembali mengembang. Bagaimana mungkin pria itu bisa menghubunginya, sedangkan dirinya sendiri tidak pernah memberikan nomor ponselnya."Tidak ada telpon yang masuk kecuali dari ..." Rara tidak meneruskan kalimatnya."Kecuali siapa?"Layar ponsel Rara berganti dengan foto seseorang beserta nomornya dan dua kalimat, panggilan masuk."Ibu Ratih. Bapak ingin berbicara dengan Ibu Ratih?" Rara menyodorkan ponselnya ke hadapan Raka. Bola mata Raka langsung membesar. Rara terkekeh penuh kemenangan."Saya duluan
Rara menatap Doni. Ia tidak paham dengan apa yang didengarnya barusan. Sebenarnya apa yang sudah terjadi selama ia keluar mencari apa yang diperintahkan padanya? "Aku tidak bisa menceritakan padamu sekarang. Nanti malam aku akan mampir ke rumahmu." Hanya itu yang bisa disampaikan oleh Doni. Ia tidak bisa berlama-lama berbincang dengan Rara. Yang bisa ia lakukan saat ini hanyalah bersikap baik dan mematuhi semua perintah Raka. Rara menyatukan ujung jempol dan telunjuknya, mengangkat tiga jari kanan yang tersisa, memaklumi keadaan Doni. Untuk saat ini, asisten yang diakui oleh Raka adalah Doni, sedangkan dirinya hanyalah asisten bayangan yang diutus Widjanarko, dan keberadaannya jelas diterima Raka dengan terpaksa.Rara melanjutkan langkahnya, masuk ke dalam lift, mengabaikan Dewa yang masih belum bisa memahami situasi yang sedang terjadi di sekitarnya, dan pria itu menjadi panik ketika pintu lift tertutup rapat dan tidak ada lagi orang di sekitarnya.-0-"Aku tidak pernah menerimanya
Lama tidak mendapatkan jawaban dari Raka, Widjanarko menghela napas. Ia menggelengkan kepala, salah satu cara mencegah tekanan emosinya agar tidak semakin meninggi. Rasa penyesalan mulai menggelayuti dirinya. Andai saja dulu ia tidak mengikuti permintaan Ratih, perusahaan fashionnya sekarang pasti sudah berkembang pesat. "Apa yang sebenarnya kamu inginkan? Papa berikan perusahaan sesuai dengan keinginanmu termasuk semua orang-orang dan dana serta semua asetnya. Tapi, apa yang kamu berikan sebagai bukti keberhasilanmu?" Raka lagi-lagi terdiam. Kenangannya kembali saat ia merongrong Widjanarko di suatu siang, agar dirinya diberi kedudukan penting di salah satu unit bisnis yang dimiliki Widjanarko. Semula Widjanarko ragu, tapi karena desakan Ratih akhirnya pria itu memberikan perusahaan fashionnya untuk dikelola oleh putra semata wayangnya. Namun sayang, apa yang diharapkan tidak kunjung tercapai. "Sekarang, datang ke kantor Papa. Bawa Rara bersamamu. Papa tunggu lima belas menit dari