Share

4. Ancaman Nadhira

Rara berjalan menyusuri jalan setapak, beberapa blok sebelum rumah bercat pink, tempanya tinggal. Sikap bos barunya membuat dirinya merasa sedikit pesimis. Ia tidak yakin bisa melakukan tugasnya kali ini dengan sempurna. Mungkin beberapa diktat besar lebih mudah ia taklukkan, dibandingkan pria bodoh yang seharian ini terus saja memaki dan menghina dirinya.

Rara menatap langit luas yang membentang di depannya. Andai ia memilih untuk tetap di luar negeri, apakah Pak Widjanarko akan bersikeras memberikan tugas ini kepadanya?

Saku jas hitamnya kembali bergerak-gerak pelan. Sebuah panggilan kembali harus diterima Rara, yang berniat memanjakan dirinya dengan semangkuk mie ayam di pojok blok rumahnya. 

"Ya, ."

Rara menyimak sembari memejamkan kedua matanya. 

"Baik, Bu. Tiga puluh menit lagi saya sudah ada di sana."

Rara mempercepat langkahnya. Mungkin ini resiko yang harus ia terima. Biaya pendidikan yang diterimanya selama ini cukup besar. Ini adalah satu-satunya cara agar bisa membalas budi  Pak Widjanarko dan istrinya, Ratih.

-0-

"Mama tidak mau tahu!" ucap Ratih penuh ketegasan. Ia menatap sebal ke arah putra semata wayangnya. Wanita itu sudah tidak tahu lagi bagaimana menyadarkan putra satu-satunya.

"Apa perlu Mama memanggil pulang Nadhira, Ka?" Nada Ratih terdengar putus asa.

Wajah Raka seketika berubah. Duduknya sudah tidak lagi nyaman.  "Untuk apa, Ma?"

"Untuk menghukummu!" Kilatan amarah sangat terlihat jelas di wajah Ratih.

"Ini adalah kesempatanmu, Raka. Mama menugasi Rara untuk menjadi asistenmu bukan asal tunjuk. Kakakmu itu sudah lama meminta Rara, untuk menemaninya mengelola perusahaan di Inggris sana. Tapi Mama dan Papa selalu menolak permintaannya. Kau. Kau yang sama sekali tidak punya kemampuan, justru tidak menghargai gadis itu sama sekali, Nilai Rara seribu kali lebih baik daripada kemampuanmu!"

Wajah Raka memerah. Ia tidak terima dibandingkan dengan orang lain, terlebih lagi asisten barunya itu. Kebenciannya semakin menjadi. Keistimewaan apa yang dimiliki gadis itu hingga kedua orang tuanya ditambah lagi kakak perempuan satu-satunya, begitu memuja gadis itu?

Ratih melangkah menjauhi Raka ketika ketukan di pintu ruang utama menggema. 

"Akhirnya kamu datang juga. Maafkan Ibu, ya? Seharusnya kamu sudah bisa beristirahat hari  ini."

"Tidak apa-apa, Bu." 

"Baiklah. Sekarang kamu ikut Ibu ke ruang rapat. Sebentar lagi Nadhira akan menelpon kita."

Langkah Ratih terayun anggun diikuti Rara yang tetap semangat mengikuti wanita cantik yang melangkah di depannya, meski membuang jauh rasa lelah yang sudah menggelayuti dirinya sejak ia keluar dari kantor ini.

Raka hanya duduk memandangi kepergian keduanya. Seribu satu umpatan sudah terucap dalam hatinya, dan itu semua tertuju pada asisten barunya. Fix. Ia sangat membenci gadis bernama Rara.

Pria itu bergeming. Masih duduk di tempatnya. Ia sama sekali tidak tertarik untuk mengikuti dari belakang. 

"Apakah kamu  sudah  bisa mengambil keputusan yang tepat, hingga enggan menyimak pembicaraan Mama dengan kakakmu?" sindir Ratih ketika menyadari jika putranya bergeming di tempat duduknya. 

Raka tersentak. Mau tidak mau, akhirnya mengikuti Ratih. Ia merasa heran. Ada apa dengan mamanya ini? Mengapa beliau sekarang begitu membencinya? Mengapa begitu menyanjung gadis menyebalkan itu? Tatapan Raka terus terpusat pada punggung Rara. 

Hingga mereka tiba di sebuah ruangan dengan meja besar dikelilingi banyak kursi. Dering ponsel Ratih menggema. Rara dengan cepat menyambungkan perangkat peralatan untuk melakukan teleconference.

Semua yang dilakukan Rara tidak lepas dari pengawasan Raka. Pria itu berharap Rara melakukan kesalahan yang dapat mempermalukan dirinya sendiri tapi sayangnya, keinginan Raka tidak terkabul. Rara menyelesaikan semua dengan sempurna. Gadis itu dengan lihai menyambungkan semua kabel yang Raka sendiri tidak tahu fungsi masing-masing kabel. 

Tak berapa lama, layar besar di ruangan itu menampilkan wajah cantik Nadhira. Senyum cerah tersungging di sana.

"Halo, Mama!!" Nadhira melambaikan tangan kanannya. "Rara juga di sini?" tanyanya ketika gadis itu menempatkan diri di belakang kursi yang ditempati Ratih.

"Lah kalau tidak ada Rara, buat apa Mama melakukan teleconference sama kamu, Nad?"

Nadhira terkekeh. "Ehm, lalu? Ada hal serius yang perlu kita diskusikan hari ini?"

Ratih melirik sejenak ke arah Raka yang saat ini justru memilih untuk diam, dan menghindari tatapan Nadhira, yang sejak tadi selalu melirik dirinya.

Berceritalah Ratih tentang apa yang sedang dialami perusahaan Raka, dan sebab mengapa Rara sekarang ada di sini bersama mereka, bukan di Inggris. Nadhira menyimak dengan serius. Terkadang ia memprotes beberapa kalimat yang disampaikan oleh Ratih.

"Pantas saja. Bulan kemarin, Nadhira meminta papa  menyetujui permintaan Nadhira, agar Rara ditugaskan membantu Nadhira di sini. Tapi, papa langsung menolaknya."

"Bisa saja keinginan kamu itu terkabul hari ini," jawab Ratih sambil mendesah panjang.

"Benarkah?" Sejenak wajah Nadhira mengembang ceria, namun wanita itu langsung mengernyitkan keningnya. "Serius, Ma?"

Ratih mengangguk. "Kemampuan Rara tidak diperlukan di sini. Adikmu itu  kemampuannya jauh di atas rata-rata, dan ia lebih mampu menjalankan perusahaan ini sendiri." Nada bicara Ratih terdengar putus asa.

Nadhira dengan cepat mengalihkan tatapannya ke arah Raka.

"Hei, Kau bocah ingusan!" hardiknya tanpa ada nada lembut sedikit pun.

Ia sudah lama ingin memarahi adiknya itu, tapi selalu saja dihalangi sang mama. Tapi kali ini, ia akan menggunakan kesempatan dengan sebaik-baiknya.

Ratih bergeming. Ia menyimak perseteruan putra-putrinya. Rara dibuat salah tingkah karena di satu sisi Nadhira memujinya setinggi langit, tapi Raka menghinanya dengan berapi-api.

"Kalau kamu memang pintar, mengapa kondisi keuangan perusahaan nyaris mendekati kebangkrutan, heh?" Nadhira benar-benar memanfaatkan kesempatan ini. 

"Kakak tidak tahu situasinya." Raka berkilah berusaha menyelamatkan diri.

"Tidak tahu bagaimana? Jangan dikira Kakak melepaskanmu begitu saja!. Semua pergerakan dan polah tingkahmu tidak luput dari pengawasan Kakak!" tegas Nadhira. Kepalanya mendadak sakit. Entah cara apa lagi, yang bisa menyadarkan adik semata wayangnya itu, dari kebodohan yang selama ini mengitarinya.

"Jangan membuat malu mama dan papa, Raka!" Kalimat pamungkas ini, berhasil menciutkan kesombongan Raka.

"Jadi, katakan pada kakak. Apakah kamu masih menolak Rara untuk menemanimu mengelola perusahaan atau kamu akan kakak jadikan karyawan biasa di perusahaan ini?"

"Ap-Apaaa?!!! Maksud kakak apa?! Lalu, siapa yang akan memimpin perusahaan ini?" Raka terbeliak, tidak percaya mendengar ancaman Nadhira.

"Rara." Jawaban singkat Nadhira membuat Raka berteriak tidak percaya.

"Kakak!!! Jangan bercanda!"

"Kakak tidak bercanda. Sangat serius. Papa pasti akan setuju dengan ide kakak."

Bagai buah simalakama. Raka dibuat benar-benar tidak berdaya. Ia tidak diberi waktu untuk berpikir.

"Waktu terus berjalan, Raka." Nadhira terus   menekan adik satu-satunya itu.

Raka dihadapkan pada situasi yang tidak ada pilihan sama sekali untuknya mengelak. Semua yang dikatakan Nadhira nyaris benar semua. Selama perusahaan fashion itu berada dalam tangannya, ia belum mampu mendatangkan keuntungan yang mampu membuat kedua orang tuanya tersenyum bangga. Bukannya  bekerja dengan serius dan penuh rasa tanggung jawab, Raka justru menjadikan kedudukannya sebagai CEO perusahaan sebagai mainan

"Haruskah kakak menghitung mundur?"

Raka masih tetap diam, dengan seribu sumpah serapah dalam batinnya.

"Lima... Empat... Tiga ... Dua..."

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status