Share

3. Sang Asisten

Kedua mata Raka masih terpejam, namun telinganya menangkap suara yang tidak biasa di luar kamarnya. Siapa yang berada di apartemennya sepagi ini? Seingatnya, ia tidak mempekerjakan asisten rumah tangga untuk mengurusi apartemennya. Lalu, siapakah yang sedang berada di apartemennya pagi ini? Mamakah? Raka terus bertanya-tanya sendiri. 

Mimpi yang sama, kembali mengganggunya semalam, membuatnya sulit untuk memejamkan mata. Bayangan gadis yang dicintainya dalam diam menari dalam benaknya. Keinginan untuk mengungkapkan perasaannya waktu itu, kembali menguap, ketika mendengar kabar jika gadis itu tidak lagi ada di Indonesia.  

Lelah mencari jejak si gadis, Raka lebih memilih untuk menghabiskan waktu bersama teman-teman SMA-nya, dibanding menjalankan perusahaan pemberian papanya dengan serius.  Setidaknya, ia masih bisa mengenang masa-masa sekolah, saat dimana ia mengenal cinta pertama kali, dan mungkin untuk terakhir kalinya.

Raka kembali mempertajam indera dengarnya. Kali ini, ia mendengar dentingan sendok yang beradu dengan cangkir. Aroma wangi kopi menyeruak lembut ke dalam kamarnya, membuatya terbuai sesaat, membayangkan secangkir kopi  hitam panas.

Pupil matanya tiba-tiba membesar. Jangan katakan jika asisten barunya sudah datang sepagi ini. Memikirkan hal itu, Raka menjadi panik. Bukankah  orang itu akan bekerja di kantor? Mengapa malah datang ke apartemen? Sejak kapan dia punya kartu akses masuk ke apartemennya?

Raka dengan cepat meraih jubah tidurnya,  keluar dengan tergesa dari kamarnya. Betapa terkejut Raka  begitu netranya, mendapati seorang gadis tengah sibuk menata sarapan di meja makan kecil di tengah ruangan.

Seorang gadis? Raka berdiri termangu.

Mengapa mamanya justru mengirim seorang gadis untuk menjadi asistennya? Mengapa bukan pria saja? Apakah mereka tidak takut jika suatu saat dirinya akan melakukan hal-hal buruk terhadap gadis itu? Sebagai aksi pemberontakan akan pemaksaan kehendak terhadapnya?

“Heh! Siapa kamu?” hardik Raka tidak terima peralatan miliknya disentuh bahkan dipakai oleh orang lain selain dirinya. Lancang sekali gadis ini! Berani-beraninya menyentuh peralatan dapurku tanpa seijinku? 

Pria muda yang masih  mendekati gadis itu lalu dengan kasar, merampas sendok dan garpu yang ada di tangan gadis itu. Gadis itu terkejut mendapati perlakuan kasar dari Raka,  dan langsung  menghentikan kegiatannya.

Ia bergeming. Berpura-pura tidak mendengar semua perkataan Raka. Ia mengabaikan hardikan kejam Raka dan tidak memedulikan sikap penolakan atasan barunya.

Yang ia ingat hanyalah, bahwa ia harus melakukan tugasnya dengan sebaik-baiknya. Abaikan segala sesuatu yang akan menghambat pekerjaannya. Ia meletakkan piring dengan perlahan, lalu memutar tubuhnya yang semula membelakangi Raka.

“Selamat pagi, Pak. Sarapan pagi sudah siap. Silakan Pak Raka membersihkan badan lebih dulu baru kemudian sarapan.”

Raka berjalan mengitari meja makan dan gadis itu, hingga tiga putaran. Seolah ingin memastikan jika semua kejadian pagi ini sesuai harapannya, hanya sebuah bunga tidur. Namun sayangnya, kehadiran gadis itu adalah sebuah kenyataan yang hakiki pagi ini. Kenyataan yang tidak bisa ia pungkiri kebenarannya.

Raka mendengus kesal. Ia menarik kasar kursi makan dan menghempaskan tubuhnya di atas kursi. Diaduknya kopi yang masih mengepulkan asap panas. Aromanya kembali menggelitik indera penciuman Raka, dan sesaat berhasil membuai pria itu. Hampir saja ia menyeruputnya.

“Siapa namamu?” tanyanya dengan nada begitu ketus dan dingin. Dia kaget sendiri. Eh, untuk apa aku menanyakan namanya? Aku tidak menyetujui kehadirannya di sini, mengapa aku harus repot-repot mengetahui namanya.

“Nama saya Rara, Pak.”

Raka menunggu lanjutannya, tapi gadis itu kembali diam. Raka membatin, hanya Rara?

“Hanya itu?” liriknya sekilas. Gadis itu mengangguk.

“Nama  apa itu? Mengapa begitu singkat? Yakin tidak ada tambahan lagi?”  Pria itu lantas tertawa sendiri. “Untuk apa aku meributkan namamu. Tidak ada untungnya sama sekali.”

Raka menatap penuh selidik gadis yang kini berdiri menghadap ke arahnya. Lumayan. Penampilan lumayan, tidak buruk juga tidak begitu cantik. Cukuplah. Pria itu mulai memberi penilaian.

"Berapa umurmu?"

'Haruskah aku menjawab pertanyaan itu?' Batin Rara sesaat, lalu membalas tatapan Raka beberapa detik untuk kemudian kembali menundukkan pandangannya. 

"Dua puluh empat, Pak." Pada akhirnya, Rara membuka suaranya juga. 

Raka kembali menatap cangkir kecil di depannya. “Siapa yang memberimu kartu akses masuk apartemenku? Apakah mama?”

Rara diam. Ia memilih untuk tidak menjawab. Ia yakin pria itu sudah tahu jawabannya tanpa ia harus menjawabnya.

“Tsk. Mama benar-benar sudah kebablasan. Sebenarnya ada apa sih dengan mereka? Aku kan bukan anak kecil lagi,” rutuknya, bangkit dari duduknya, kembali melangkah masuk ke dalam kamarnya.

Raka menghentikan langkahnya. Pria itu memutar tubuhnya, menatap tajam asisten pilihan mamanya itu.

“Dengar! Kau ada di sini bukan atas permintaanku. Kau di sini atas perintah kedua orang tuaku. Jadi, jangan merasa menang dulu. Aku punya aturan sendiri. Bukan aku yang akan mengikuti kemauanmu, tapi kau yang harus mengikuti kemauanku. Silakan saja jika kau hendak melaporkan semua kejadian pagi ini, tapi ingat, aku akan memberi perhitungan sendiri padamu!”

Gadis bernama Rara hanya diam , mendengar semua peringatan Raka. Bukannya merasa takut, tapi dirinya justru penasaran. Akan seperti apa pekerjaannya beberapa hari ke depan?

Rara memilih duduk hingga pria itu kembali ke ruangan tempatnya beradar. Pria dingin, angkuh dan sangat susah diatur. Itu adalah kesan pertama yang ditangkap oleh Rara.

Kening  Rara tiba-tiba berkerut. Mengingat gaya bicara pria itu, ia seperti pernah bertemu sebelumnya.  Dikoreknya memori otak kecilnya, mencari penggalan sosok pria  yang mungkin sempat tertinggal di sana. Sayang, usahanya gagal. Memorinya sama sekali tidak menyimpan sosok putra atasannya.  Tapi mengapa perasaannya begitu kuat akan pria itu?

Ponselnya tiba-tiba bergetar, membuatnya berdiri lalu melangkah keluar apartemen, menjawab panggilan dari bos besarnya.

Tiga puluh menit kemudian Raka keluar dari kamarnya. Ia sudah berpakaian lengkap dengan menenteng jas di tangan kanannya. Raka mulai menyantap sarapan dan menghabiskan kopinya. Alisnya terangkat sedikit, bergumam kecil memberi penilaian hasil kerja asisten pilihan mamanya. Ia sama sekali tidak menyadari , jika asisten barunya sudah tidak lagi ada di ruangan itu.

“Tidak begitu buruk. Lumayan untuk mengawali pagi ini,” gumamnya lalu beranjak meninggalkan meja makan. Ia melangkah keluar apartemen, berjalan menuju lift yang akan membawanya ke parkiran mobil di lantai dasar.

Raka  celingukan. Mencari  kemana perginya gadis tadi? Akan tetapi hal itu tidak berlangsung lama. Merasa asisten kiriman sang mama, sudah tidak lagi ada di dekatnya, Raka merasa bebas.

Raka berjalan santai sambil berdendang riang, menuju mobil sedan hitam yang kini sudah menunggu tepat beberapa langkah di depannya.    Dan seperti biasa, ia masuk ke dalam lalu mulai sibuk dengan ponselnya, memeriksa email yang masuk pagi itu. Perjalanan hari ini  lebih cepat dari biasanya. Sedikit merasa heran dengan laju kendaraan yang begitu pelan tidak seperti biasa. Namun Raka tidak mempermasalahkan hal itu. Dirinya disibukkan dengan laporan komplen yang masuk begitu banyak.

Sesaat sebelum dirinya turun, Raka melirik ke arah supir. “Kita akan berangkat rapat jam sembilan nanti. Jangan sampai kau lupa untuk mengambil beberapa laporan di anak cabang sebelum rapat dimulai.”

“Baik, Pak.”

Deg. Suara itu. Raka sekali lagi menatap ke arah sang supir, menyelidiki siapa sebenarnya yang sudah menjadi supirnya pagi ini. Matanya membesar seketika.

“Kau!!! Sedang apa kau di situ? Sejak kapan kau duduk di situ?”  Pria itu berteriak tidak terima. Tidak terima dan merasa terhina jika dirinya tadi diantar oleh seorang gadis . Mau ditaruh di mana wajahnya bila teman-temannya mengetahui hal ini.

Rara keluar dari mobil lalu sedikit membungkukkan badannya. “Maaf, Pak. Mulai hari ini dan seterusnya, saya akan mengikuti kemana pun Bapak pergi. Dan untuk pagi ini, saya mengantar Bapak ke kantor, karena supir biasanya baru akan datang pukul sepuluh atas perintah tuan besar.”

Raka terkejut setengah mati. Ia tidak mengira akan seperti ini.

“Aaaaarrrrrggggh!!!! Sialan! Mengapa jadi begini??! “ teriak Raka mulai merasa frustasi. Apakah dirinya sudah mengambil keputusan yang salah?

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status