Kedua mata Raka masih terpejam, namun telinganya menangkap suara yang tidak biasa di luar kamarnya. Siapa yang berada di apartemennya sepagi ini? Seingatnya, ia tidak mempekerjakan asisten rumah tangga untuk mengurusi apartemennya. Lalu, siapakah yang sedang berada di apartemennya pagi ini? Mamakah? Raka terus bertanya-tanya sendiri.
Mimpi yang sama, kembali mengganggunya semalam, membuatnya sulit untuk memejamkan mata. Bayangan gadis yang dicintainya dalam diam menari dalam benaknya. Keinginan untuk mengungkapkan perasaannya waktu itu, kembali menguap, ketika mendengar kabar jika gadis itu tidak lagi ada di Indonesia.
Lelah mencari jejak si gadis, Raka lebih memilih untuk menghabiskan waktu bersama teman-teman SMA-nya, dibanding menjalankan perusahaan pemberian papanya dengan serius. Setidaknya, ia masih bisa mengenang masa-masa sekolah, saat dimana ia mengenal cinta pertama kali, dan mungkin untuk terakhir kalinya.
Raka kembali mempertajam indera dengarnya. Kali ini, ia mendengar dentingan sendok yang beradu dengan cangkir. Aroma wangi kopi menyeruak lembut ke dalam kamarnya, membuatya terbuai sesaat, membayangkan secangkir kopi hitam panas.
Pupil matanya tiba-tiba membesar. Jangan katakan jika asisten barunya sudah datang sepagi ini. Memikirkan hal itu, Raka menjadi panik. Bukankah orang itu akan bekerja di kantor? Mengapa malah datang ke apartemen? Sejak kapan dia punya kartu akses masuk ke apartemennya?
Raka dengan cepat meraih jubah tidurnya, keluar dengan tergesa dari kamarnya. Betapa terkejut Raka begitu netranya, mendapati seorang gadis tengah sibuk menata sarapan di meja makan kecil di tengah ruangan.
Seorang gadis? Raka berdiri termangu.
Mengapa mamanya justru mengirim seorang gadis untuk menjadi asistennya? Mengapa bukan pria saja? Apakah mereka tidak takut jika suatu saat dirinya akan melakukan hal-hal buruk terhadap gadis itu? Sebagai aksi pemberontakan akan pemaksaan kehendak terhadapnya?
“Heh! Siapa kamu?” hardik Raka tidak terima peralatan miliknya disentuh bahkan dipakai oleh orang lain selain dirinya. Lancang sekali gadis ini! Berani-beraninya menyentuh peralatan dapurku tanpa seijinku?
Pria muda yang masih mendekati gadis itu lalu dengan kasar, merampas sendok dan garpu yang ada di tangan gadis itu. Gadis itu terkejut mendapati perlakuan kasar dari Raka, dan langsung menghentikan kegiatannya.
Ia bergeming. Berpura-pura tidak mendengar semua perkataan Raka. Ia mengabaikan hardikan kejam Raka dan tidak memedulikan sikap penolakan atasan barunya.
Yang ia ingat hanyalah, bahwa ia harus melakukan tugasnya dengan sebaik-baiknya. Abaikan segala sesuatu yang akan menghambat pekerjaannya. Ia meletakkan piring dengan perlahan, lalu memutar tubuhnya yang semula membelakangi Raka.
“Selamat pagi, Pak. Sarapan pagi sudah siap. Silakan Pak Raka membersihkan badan lebih dulu baru kemudian sarapan.”
Raka berjalan mengitari meja makan dan gadis itu, hingga tiga putaran. Seolah ingin memastikan jika semua kejadian pagi ini sesuai harapannya, hanya sebuah bunga tidur. Namun sayangnya, kehadiran gadis itu adalah sebuah kenyataan yang hakiki pagi ini. Kenyataan yang tidak bisa ia pungkiri kebenarannya.
Raka mendengus kesal. Ia menarik kasar kursi makan dan menghempaskan tubuhnya di atas kursi. Diaduknya kopi yang masih mengepulkan asap panas. Aromanya kembali menggelitik indera penciuman Raka, dan sesaat berhasil membuai pria itu. Hampir saja ia menyeruputnya.
“Siapa namamu?” tanyanya dengan nada begitu ketus dan dingin. Dia kaget sendiri. Eh, untuk apa aku menanyakan namanya? Aku tidak menyetujui kehadirannya di sini, mengapa aku harus repot-repot mengetahui namanya.
“Nama saya Rara, Pak.”
Raka menunggu lanjutannya, tapi gadis itu kembali diam. Raka membatin, hanya Rara?
“Hanya itu?” liriknya sekilas. Gadis itu mengangguk.
“Nama apa itu? Mengapa begitu singkat? Yakin tidak ada tambahan lagi?” Pria itu lantas tertawa sendiri. “Untuk apa aku meributkan namamu. Tidak ada untungnya sama sekali.”
Raka menatap penuh selidik gadis yang kini berdiri menghadap ke arahnya. Lumayan. Penampilan lumayan, tidak buruk juga tidak begitu cantik. Cukuplah. Pria itu mulai memberi penilaian.
"Berapa umurmu?"
'Haruskah aku menjawab pertanyaan itu?' Batin Rara sesaat, lalu membalas tatapan Raka beberapa detik untuk kemudian kembali menundukkan pandangannya.
"Dua puluh empat, Pak." Pada akhirnya, Rara membuka suaranya juga.
Raka kembali menatap cangkir kecil di depannya. “Siapa yang memberimu kartu akses masuk apartemenku? Apakah mama?”
Rara diam. Ia memilih untuk tidak menjawab. Ia yakin pria itu sudah tahu jawabannya tanpa ia harus menjawabnya.
“Tsk. Mama benar-benar sudah kebablasan. Sebenarnya ada apa sih dengan mereka? Aku kan bukan anak kecil lagi,” rutuknya, bangkit dari duduknya, kembali melangkah masuk ke dalam kamarnya.
Raka menghentikan langkahnya. Pria itu memutar tubuhnya, menatap tajam asisten pilihan mamanya itu.
“Dengar! Kau ada di sini bukan atas permintaanku. Kau di sini atas perintah kedua orang tuaku. Jadi, jangan merasa menang dulu. Aku punya aturan sendiri. Bukan aku yang akan mengikuti kemauanmu, tapi kau yang harus mengikuti kemauanku. Silakan saja jika kau hendak melaporkan semua kejadian pagi ini, tapi ingat, aku akan memberi perhitungan sendiri padamu!”
Gadis bernama Rara hanya diam , mendengar semua peringatan Raka. Bukannya merasa takut, tapi dirinya justru penasaran. Akan seperti apa pekerjaannya beberapa hari ke depan?
Rara memilih duduk hingga pria itu kembali ke ruangan tempatnya beradar. Pria dingin, angkuh dan sangat susah diatur. Itu adalah kesan pertama yang ditangkap oleh Rara.
Kening Rara tiba-tiba berkerut. Mengingat gaya bicara pria itu, ia seperti pernah bertemu sebelumnya. Dikoreknya memori otak kecilnya, mencari penggalan sosok pria yang mungkin sempat tertinggal di sana. Sayang, usahanya gagal. Memorinya sama sekali tidak menyimpan sosok putra atasannya. Tapi mengapa perasaannya begitu kuat akan pria itu?
Ponselnya tiba-tiba bergetar, membuatnya berdiri lalu melangkah keluar apartemen, menjawab panggilan dari bos besarnya.
Tiga puluh menit kemudian Raka keluar dari kamarnya. Ia sudah berpakaian lengkap dengan menenteng jas di tangan kanannya. Raka mulai menyantap sarapan dan menghabiskan kopinya. Alisnya terangkat sedikit, bergumam kecil memberi penilaian hasil kerja asisten pilihan mamanya. Ia sama sekali tidak menyadari , jika asisten barunya sudah tidak lagi ada di ruangan itu.
“Tidak begitu buruk. Lumayan untuk mengawali pagi ini,” gumamnya lalu beranjak meninggalkan meja makan. Ia melangkah keluar apartemen, berjalan menuju lift yang akan membawanya ke parkiran mobil di lantai dasar.
Raka celingukan. Mencari kemana perginya gadis tadi? Akan tetapi hal itu tidak berlangsung lama. Merasa asisten kiriman sang mama, sudah tidak lagi ada di dekatnya, Raka merasa bebas.
Raka berjalan santai sambil berdendang riang, menuju mobil sedan hitam yang kini sudah menunggu tepat beberapa langkah di depannya. Dan seperti biasa, ia masuk ke dalam lalu mulai sibuk dengan ponselnya, memeriksa email yang masuk pagi itu. Perjalanan hari ini lebih cepat dari biasanya. Sedikit merasa heran dengan laju kendaraan yang begitu pelan tidak seperti biasa. Namun Raka tidak mempermasalahkan hal itu. Dirinya disibukkan dengan laporan komplen yang masuk begitu banyak.
Sesaat sebelum dirinya turun, Raka melirik ke arah supir. “Kita akan berangkat rapat jam sembilan nanti. Jangan sampai kau lupa untuk mengambil beberapa laporan di anak cabang sebelum rapat dimulai.”
“Baik, Pak.”
Deg. Suara itu. Raka sekali lagi menatap ke arah sang supir, menyelidiki siapa sebenarnya yang sudah menjadi supirnya pagi ini. Matanya membesar seketika.
“Kau!!! Sedang apa kau di situ? Sejak kapan kau duduk di situ?” Pria itu berteriak tidak terima. Tidak terima dan merasa terhina jika dirinya tadi diantar oleh seorang gadis . Mau ditaruh di mana wajahnya bila teman-temannya mengetahui hal ini.
Rara keluar dari mobil lalu sedikit membungkukkan badannya. “Maaf, Pak. Mulai hari ini dan seterusnya, saya akan mengikuti kemana pun Bapak pergi. Dan untuk pagi ini, saya mengantar Bapak ke kantor, karena supir biasanya baru akan datang pukul sepuluh atas perintah tuan besar.”
Raka terkejut setengah mati. Ia tidak mengira akan seperti ini.
“Aaaaarrrrrggggh!!!! Sialan! Mengapa jadi begini??! “ teriak Raka mulai merasa frustasi. Apakah dirinya sudah mengambil keputusan yang salah?
Rara berjalan menyusuri jalan setapak, beberapa blok sebelum rumah bercat pink, tempanya tinggal. Sikap bos barunya membuat dirinya merasa sedikit pesimis. Ia tidak yakin bisa melakukan tugasnya kali ini dengan sempurna. Mungkin beberapa diktat besar lebih mudah ia taklukkan, dibandingkan pria bodoh yang seharian ini terus saja memaki dan menghina dirinya.Rara menatap langit luas yang membentang di depannya. Andai ia memilih untuk tetap di luar negeri, apakah Pak Widjanarko akan bersikeras memberikan tugas ini kepadanya?Saku jas hitamnya kembali bergerak-gerak pelan. Sebuah panggilan kembali harus diterima Rara, yang berniat memanjakan dirinya dengan semangkuk mie ayam di pojok blok rumahnya. "Ya, ."Rara menyimak sembari memejamkan kedua matanya. "Baik, Bu. Tiga puluh menit lagi saya sudah ada di sana."Rara mempercepat langkahnya. Mungkin ini resiko yang harus ia terima. Biaya pendidikan yang diterimanya selama ini cukup besar. Ini adalah satu-satunya cara agar bisa membalas bud
Raka mengacak rambutnya berulang. Wajah putihnya memerah ketika panas sinar matahari senja itu menerpa wajahnya. Amarah membuat wajahnya semakin memerah. Ia melangkah masuk ke sebuah bar mini, seratus meter dari kantornya. Tempat biasa ia menghabiskan waktu bersama teman-teman nongkrongnya. "Ah-haaa. Lama tidak melihatmu, Bestie." Setya sang pemilik bar, menyapa dari balik meja kasir. Sedikit berkelakar.Raka hanya melirik sesaat, mengabaikan candaan Setya yang terdengar garing di telinganya. Ia lantas memberi kode kepada Setya."Sudah dapat ijin lagi?" Pria itu mengambil sloki kecil lalu meletakkannya tepat di hadapan Raka."Apakah aku sudah mengatakan pesananku?" Raka menatap tajam Setya.Setya menghentikan gerakannya, lalu memperhatikan penampilan Raka yang kacau hari ini."Sesuatu yang buruk sedang terjadi, bukan? Jadi, satu sloki kecil ini, cukup untukmu melupakan semua masalah barang sejenak." Kini, pria itu mengambil botol yang berisi cairan warna kuning kecoklatan."Aku ti
Tubuh Rara seketika menegang. Punggungnya secara spontan tegak. Entah apa yang ada dipikirannya saat itu. Kalimat Raka yang terdengar jelas di telinganya sekalipun hanya didengarnya lewat interkom, terus menggema di dalam telinganya. Sedangkan Susan, Sang Sekretaris, merasa mendapat dukungan setelah mendengar perintah Raka. Ia dengan gaya sok cantiknya, menyibakkan rambut bergelombang sebahunya ke belakang, menatap Rara dengan sangat sinis, dan segera bangkit dari duduknya. Ia sedang mengatur kata-kata pedas untuk dilontarkan pada Rara. Ia lupa jika beberapa hari yang lalu, Rara datang ke kantor Raka bersama Ratih, istri bos besarnya, Widjanarko. Ia lupa jika hanya orang penting dan berpengaruh saja, yang bisa berjalan begitu dekat dengan Ratih."Berani mengucapkan satu kata, aku akan langsung menelpon Pak Widjanarko untuk memecatmu!" Rara tidak melepaskan tatapannya dari Susan, sembari mengacungkan ponselnya ke depan wajahnya, membuat nyali Susan yang hendak mengatakan sesuatu, lang
Sang Manajer Umum, yang bernama Dewa manggut-manggut mendengarkan penjelasan Doni. Ia kini tidak lagi berani menatap gadis yang ada di depannya. Penjelasan asisten atasannya, membuat dirinya segera memutuskan untuk mengambil langkah aman, tidak terlalu banyak bertanya terhadap kondisi perusahaan sekarang. "Kebetulan bertemu denganmu di sini. Ada sesuatu yang harus aku jelaskan padamu sebelum kamu bertanya tentang sesuatu hal. Tapi....- Tunggu dulu... Apakah - kamu sudah .... ?" Doni tidak menyelesaikan kalimatnya. Memperhatikan Rara yang sejak tadi memilih diam, membuat Doni meragukan keputusannya.Rara hanya menyengir kuda, sedangkan Doni langsung menepuk jidatnya."Pantas saja jika Pak Widjanarko begitu membanggakan dirimu." Doni menatap Rara begitu intens. "Tidak benar sama sekali. Pak Widjanarko terlalu berlebihan, tapi... Apakah Bapak tahu jawaban dari pertanyaan saya?" Rara membalas tatapan Doni, sambil mengeluarkan ponselnya.Gerakan Rara yang tertangkap sudut mata Dewa, me
Senyum dingin Raka menyambut kedatangan Doni di ruangan bernuansa serba hitam itu. Hawa membunuh menyapu bulu kuduk Doni, membuat pria itu agak ragu untuk meneruskan langkahnya mendekati meja sang atasan."Bukankah aku menyuruhmu untuk menemuiku lebih dulu?" Mata Raka tertuju tepat ke wajah Doni. Doni salah tingkah. Ia lupa jika semua kamera cctv di kantor ini terintegrasi dengan laptop Raka. Hawa dingin ini pastilah karena bosnya melihat pertemuannya dengan Rara. "Iya, Pak."Raka mengetuk jari telunjuknya di atas laptopnya. Ia harus segera membeli laptop baru. Laptop Susan yang sementara ini ia gunakan, membuat geraknya terbatas. Hampir semua file di laptop Susan berisi video kosmetik dan fashion yang sama sekali tidak ia mengerti, dan terkadang membuat dirinya panas dingin sendiri karena ada beberapa film dewasa di sana."Suruh anak baru itu untuk membelikan laptop baru untukku. Beli yang kapasitasnya besar dan bisa dipakai untuk main game sepanjang hari."Doni tercengang. 'Lagi?
Raka tertawa sangat keras. Ia menikmati kemarahan Rara yang terlihat jelas dalam rekaman di laptopnya. Senyum penuh kemenangan tersungging di wajahnya. "Aku akan melakukan segala cara untuk mengusirmu dari perusahaanku, meski papa dan mama, juga kakak sangat mendukungmu. Aku adalah bos di perusahaan ini. Aku yang berkuasa di sini. Karena kedatanganmu tidak pernah diterima, maka kau harus pergi dari sini, bagaimanapun caranya. Sekalipun aku harus menghadapi resiko yang sangat besar di akhir cerita nanti," gumam Raka dengan penuh dendam. Raka kembali menekan angka dua belas, memanggil Susan untuk menghadapnya. Ia perlu melakukan sesuatu, dan kali ini ia membutuhkan pertolongan sekretaris menornya. "Masuk. Aku memerlukan bantuanmu." Susan sedikit ragu dengan telpon barusan. Bos-nya tiba-tiba menyuruhnya masuk? Apakah penantiannya selama ini membuahkan hasil? Susan menenangkan jantungnya yang melompat-lompat tidak karuan, setelah menerima telpon dari Raka. Ia sudah lama menaruh hati p
Rara menatap nanar pria di sampingnya. Dengan sisa energi yang dimiliki, Rara berusaha tersenyum. Beribu sumpah serapah mengantri di ujung lidahnya, namun dengan sekuat tenaga, ia menekan keinginannya itu. Ia tidak boleh terpancing, dan harus tetap tenang."Mengapa tidak menghubungi saya?" Rara meletakkan brosur yang beberapa menit lalu diterimanya."Aku sudah mencoba menghubungimu, tapi tidak bisa."Rara mengeluarkan ponselnya. Benarkah tadi sang atasan menghubunginya? Dan senyumnya kembali mengembang. Bagaimana mungkin pria itu bisa menghubunginya, sedangkan dirinya sendiri tidak pernah memberikan nomor ponselnya."Tidak ada telpon yang masuk kecuali dari ..." Rara tidak meneruskan kalimatnya."Kecuali siapa?"Layar ponsel Rara berganti dengan foto seseorang beserta nomornya dan dua kalimat, panggilan masuk."Ibu Ratih. Bapak ingin berbicara dengan Ibu Ratih?" Rara menyodorkan ponselnya ke hadapan Raka. Bola mata Raka langsung membesar. Rara terkekeh penuh kemenangan."Saya duluan
Rara menatap Doni. Ia tidak paham dengan apa yang didengarnya barusan. Sebenarnya apa yang sudah terjadi selama ia keluar mencari apa yang diperintahkan padanya? "Aku tidak bisa menceritakan padamu sekarang. Nanti malam aku akan mampir ke rumahmu." Hanya itu yang bisa disampaikan oleh Doni. Ia tidak bisa berlama-lama berbincang dengan Rara. Yang bisa ia lakukan saat ini hanyalah bersikap baik dan mematuhi semua perintah Raka. Rara menyatukan ujung jempol dan telunjuknya, mengangkat tiga jari kanan yang tersisa, memaklumi keadaan Doni. Untuk saat ini, asisten yang diakui oleh Raka adalah Doni, sedangkan dirinya hanyalah asisten bayangan yang diutus Widjanarko, dan keberadaannya jelas diterima Raka dengan terpaksa.Rara melanjutkan langkahnya, masuk ke dalam lift, mengabaikan Dewa yang masih belum bisa memahami situasi yang sedang terjadi di sekitarnya, dan pria itu menjadi panik ketika pintu lift tertutup rapat dan tidak ada lagi orang di sekitarnya.-0-"Aku tidak pernah menerimanya