Share

Asisten Kesayangan CEO Angkuh
Asisten Kesayangan CEO Angkuh
Penulis: Lavender My Name

1. Rencana Perjodohan

“Bagaimana? Apakah si bodoh itu bersedia menerima perjodohan yang sudah aku rencanakan?” Widjanarko menatap sosok pria tinggi tegap dengan rambut cepak klimis, yang berdiri tepat di depan meja kerjanya.

Pria muda itu diam seribu bahasa seraya menundukkan kepalanya. Ia tidak berani menjawab pertanyaan tuan besarnya.

“Doni! Aku sedang berbicara denganmu,” bentak Widjanarko, tidak sabar mendengar laporan orang kepercayaannya.

“Maafkan saya, Tuan. Saya tidak berhasil menjalankan tugas saya.” Doni kembali menundukkan kepalanya, seiring dengan helaan nafas berat pria bertubuh besar berusia sekitar lima puluh tahunan.

“Dasar anak tidak berbakti! Tidak tahukah jika dirinya sedang berada dalam posisi yang sangat berbahaya?!” Widjanarko dengan cepat kembali berusaha menenangkan dirinya ketika dirasa kepalanya mulai terasa berat.

Doni semakin merasa bersalah. Tugasnya kali ini benar-benar berat. Membujuk tuan mudanya agar bersedia menikahi putri lawan bisnis orang tuanya, demi menyelamatkan perusahaan yang dikelolanya dari ambang kehancuran.

Widjanarko mengetuk mejanya berkali-kali dengan ujung telunjuk kanannya. Bagaimana dirinya bisa menyadarkan putra semata wayangnya itu? Perusahaan yang ia berikan pada Raka, belum dikatakan berhasil. Pendapatan perusahaan itu masih naik turun dari tahun ke tahun. Pria muda itu justru sibuk bermain-main. Dan kini, perusahaan sedang dalam keadaan genting. Bukannya dirinya tidak mau membantu, tapi ia ingin putranya itu berjuang sendiri, tidak lagi mengandalkan kedua orang tuanya.

Perjodohan mungkin menjadi alternatif terbaik. Dengan demikian, putranya itu bisa mendapatkan suntikan dana dari rival bisnisnya, sekaligus mendapatkan pendamping hidup yang bisa merawatnya.

Bagaimana jika Raka tetap saja menolak rencana perjodohan itu?

Widjanarko kembali menarik nafas panjang. Pikirannya melalang buana. Tiba-tiba dirinya teringat seseorang. Seseorang yang mungkin saja bisa menjadi penolongnya. Seseorang yang akan menjadi senjata untuk menekan putranya yang keras kepala itu, agar bisa sadar secepatnya. Seseorang yang mungkin saja bisa membuat Raka bertekuk lutut padanya.

Senyum lebar mengembang seketika di wajah lelah Widjanarko. Jika Raka menolak rencana perjodohan ini, tidak mengapa. Ia sudah menemukan pengganti yang tepat. Ia yakin dengan ide barunya ini.  Ia harus segera menelpon istrinya. Ratih pasti akan setuju dengan rencananya ini. Pria itu berdiri dari duduknya.

“Don! Siapkan mobil. Jemput Ibu, suruh datang kemari sekarang juga!” Titah Widjanarko segera dilaksanakan Doni.

Hahahaha. Dasar anak bodoh! Kau kira akan selamat kali ini? Tidak akan. Papa punya kejutan untukmu, dan kau tidak akan berani untuk menolaknya. Senyum Widjanarko mengembang lebih lebar.

Widjanarko menatap ke luar jendela ruang kerjanya yang berada di lantai sebelas. Wajahnya kali ini tidak lagi suntuk dan resah, melainkan bersinar penuh semangat.

-0-

“Aku sudah mengatakan padamu berkali-kali. Aku tidak akan pernah menyetujui rencana papa!” Untuk kesekian kali Doni terkena semprotan dari tuan mudanya.

Setelah dirinya menjemput nyonya besar, ia kembali ke kantor tuan mudanya.  Misinya masih sangat jelas , membujuk tuan muda untuk menerima perjodohan yang sudah direncanakan orang tuanya demi menyelamatkan perusahaannya.

“Apa artinya menikah tapi tidak saling mencintai? Kau sendiri tahu itu’kan? Mengapa kau justru menjerumuskan atasanmu ke jurang penderitaan?” hardik Raka. Mata tajamnya menguliti Doni habis-habisan. Ia benar-benar tidak habis pikir, mengapa asistennya justru tidak memihak dirinya.

“Tapi, Tuan… Semua ini juga untuk menyelamatkan perusahaan.” Doni masih terus merayu atasannya itu.

“Mati atau hidup perusahaan ini, bukan urusanmu. Aku yang akan bertanggungjawab, bukan kau!” raung Raka. Ia benar-benar sudah tidak bisa lagi mentolerir sikap asistennya itu.

“Pergi kau dari hadapanku! Jangan pernah lagi datang ke kantor ini!”

Doni tercekat. Tubuhnya menegang. Ia sama sekali tidak mengira jika atasannya akan mengusir dirinya. Lama Doni berdiri di tempatnya. Ia masih berusaha mencerna perintah atasannya barusan.

“Apakah kau lupa dimana letak pintunya?”

Doni mengangkat wajahnya, menatap atasannya.

Raka sama sekali tidak memandang ke arah Doni. Ia menatap layar laptopnya dengan tatapan kosong. Emosi sedang menguasai dirinya. Ia benci semua orang yang berseberangan dengannya saat ini. Ia benci semua orang yang mendukung rencana perjodohannya.

“Maafkan, atas kelancangan saya Tuan Muda. Percayalah, suatu saat nanti Tuan akan mengerti mengapa saya melakukan semua ini.” Doni berusaha tegar. “Terima kasih sudah mempekerjakan saya selama ini.  Saya pamit.”

Dengan langkah gontai, Doni melangkah meninggalkan ruangan yang selama tujuh tahun ini menjadi tujuan hidupnya. Ia tidak tahu hendak kemana. Yang pasti ia harus mencari seseorang yang bisa menyembuhkan luka hatinya saat ini.

Sepeninggal Doni, Raka langsung membuang semua yang ada di atas meja kerjanya. Laptop yang baru saja ia beli beberapa bulan yang lalu, tidak luput dari amukannya. Gara-gara orang tuanya, ia harus kehilangan orang kepercayaannya . Gara-gara mereka, ia harus memecat orang yang paling setia padanya selama ini.

Pria itu jatuh terduduk di samping meja kerjanya. Kedua tangannya menarik-narik rambutnya. Apa yang harus ia lakukan? Ia tidak mau menerima perjodohan gila itu. Ia sama sekali tidak tertarik dengan gadis yang akan dijodohkan dengannya itu. Secantik apa pun gadis itu, ia tidak akan pernah tertarik padanya. Hatinya sudah lama mati. Hanya ada satu yang bisa memenangkan hatinya, tapi ia sudah tidak mengetahui keberadaannya. Gadis itu sudah membawa pergi hatinya.

Suara ketukan di pintu diabaikan oleh Raka. Ia sama sekali tidak berniat menerima tamu hari ini. Perasaannya begitu buruk. Biarkan saja. Jika  perusahaan ini hancur, ya hancur saja. Ia sudah tidak peduli lagi. Salah siapa juga mengapa menjadi parah begini? Ia hanya meminjam dana tidak sampai lima trilyun untuk menyelamatkan perusahaan tapi harus memenuhi persyaratan gila itu.

“Aku tidak menerima tamu. Pergilah!” Raka bangkit dari duduknya di lantai, kembali duduk di kursi kerjanya menatap ke arah hiruk pikuk jalanan di depan perkantorannya. 

“Apakah kamu juga tidak menerima kedatangan Mama, Sayang?”

Terdengar suara lembut dari sela-sela ketukan yang masih terdengar. Punggung Raka seketika tegak. Ia tidak ingin terlihat begitu payah di hadapan mamanya. Dengan cepat, Raka merapikan ruangannya meski ala kadarnya. Ia menyimpan laptopnya yang sudah tercerai berai, meletakkannya di lemari di bawah meja kerjanya.

Dengan cepat, pria itu melangkah membukakan pintu ruangannya, dan langsung mendapati wajah teduh wanita yang sudah melahirkannya di dunia ini.

“Ada apa Mama kemari?”

Ratih menghujani wajah putra tunggalnya itu dengan berpuluh-puluh ciuman, dan baru berakhir setelah Raka merengek. Ia terkekeh.

“Mumpung kamu belum ada yang punya. Jadi Mama masih bebas menciumi wajahmu  seperti waktu kamu  bayi dulu.”

“Apaan sih, Ma,” sungut pria muda itu kembali ke kursi kerjanya.

Ratih memandangi ruangan itu, mencoba mencari foto seorang gadis, dan… Nihil. Ia sama sekali tidak menemukan foto wanita di ruangan itu.

“Raka…” panggil wanita itu dengan lembut. “Mama baru saja bertemu dengan papa kamu.”

Raka diam. Ia sama sekali tidak merespon laporan mamanya. Ia sudah tahu maksud kedatangan wanita itu. Pastilah sama dengan Doni, membujuk agar dirinya bersedia menerima perjodohan itu.

“Jawaban Raka tetap sama, Ma. Raka tidak akan setuju. Biar saja perusahaan ini hancur. Pokoknya Raka tidak akan menerima rencana itu. Titik.”

Ratih menghela nafasnya. “Kamu bahkan belum bertemu dengannya, tapi sudah main tolak. Memangnya kamu sudah melihat fotonya?”

“Raka tidak perlu melihat fotonya. Secantik apa pun dia, Raka tetap akan menolaknya.” Raka tetap bersikukuh dengan pendiriannya.

“Mengapa? Katakan pada mama, mengapa kamu menolak perjodohan ini? Ingat! Umurmu sudah tidak muda lagi. Sampai kapan kamu akan sendiri dan terus bermain-main? Siapa sebenarnya yang sedang kamu tunggu?” Lama kelamaan Ratih penasaran juga dengan alasan Raka menolak persyaratan mereka.

Raka diam tidak menjawab. Kalian tidak perlu tahu, batinnya.

Ratih memutar otaknya. Ia pikir dengan rayuan lembutnya, sang putra akan luluh, tapi ternyata ia salah besar. Raka tetap dengan pendiriannya.

“Baiklah-baiklah. Berarti kamu siap dengan semua resikonya?” Ratih menatap sang putra. Kali ini tidak dengan tatapan lembut, namun tatapan yang sangat tegas. Saatnya, rencana B dijalankan.

Raka dibuat ciut mendapati tatapan mamanya yang seperti itu.

“Mama tidak akan lagi memaksamu untuk menerima persyaratan itu, tapi kamu harus menerima persyaratan mama ini. TIDAK BOLEH MEMBANTAH!” Ratih memberi ultimatum.

Raka menatap tidak mengerti. Kali ini persyaratan apa lagi?

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status