Share

Wanita Satu Milyar
Wanita Satu Milyar
Author: Edka22

Menjual Keperawanan

“Ayah Nona harus dioperasi dan membutuhkan biaya sekitar lima ratus juta.”

Masih terngiang-ngiang dengan jelas perkataan dokter Samuel di telinganya. Lima ratus juta bukanlah uang yang sedikit. Entah butuh berapa lama Tiara harus mengumpulkan uang sebesar itu, untuk biaya operasi Leo—sang ayah.

Tiara menyusuri jalanan yang gelap disertai dengan turunnya hujan yang lebat. Udara yang dingin tidak membuat Tiara merasa kedinginan. Pikirannya terlalu rumit hingga tidak bisa merespons apa pun termasuk embusan udara dingin.

Langkahnya begitu gontai, tiap-tiap langkah kakinya serasa tidak menapaki jalanan. Ayah—keluarganya yang tersisa setelah lima tahun lalu ibu dan kakak perempuannya meninggal karena korban tabrak lari, kini harus menderita penyakit gagal jantung.

Lalu sekarang? Apakah dia harus kehilangan ayahnya juga? Ah, rasanya ia ingin ikut mati saja jika memang ayahnya pun harus menyusul sang ibu dan sang kakak.

Dunia ini terlalu kejam untuk Tiara lalui sendiri. Dunia terlalu bahaya jika hidup seorang diri. Tidak ada tempat untuk berlindung ataupun sekadar bersandar.

Waktu sudah menunjukkan pukul sembilan malam, itu artinya waktunya untuk kerja sudah tiba. Tiara tidak peduli meskipun datang ke tempat kerja dalam keadaan basah kuyup. Bahkan jadi bahan tontonan dan cemoohan orang-orang yang membencinya. Tiara tidak peduli!

“Tiara!”

Suara seseorang menghentikan langkah Tiara yang hendak masuk ke klub lewat pintu belakang. Tiara menoleh ke sumber suara dan terlihatlah dengan jelas seorang pria tampan pemilik pupil warna coklat dan pipi mulus tanpa ada jambang ataupun kumis meski tipis.

Pria itu adalah Panji Putra pemilik klub King—tempat Tiara bekerja sekaligus teman dekat Tiara.

Panji melangkah dengan lebar menghampiri Tiara yang terlihat begitu kacau dan menyedihkan itu. Rambut panjangnya basah, bajunya basah jangan lupakan bibirnya berubah membiru dan kulitnya keriput akibat terlalu lama terkena air hujan.

“Apa yang terjadi denganmu, Tiara?” Panji khawatir. Secepatnya ia berlari ke loker untuk mengambil sesuatu yang bisa membuat tubuh Tiara hangat.

Di tangan Panji menenteng handuk berwarna putih. Lalu Panji menggosok-gosokan pada rambut Tiara yang basah setelah itu menyelimutkan pada tubuh Tiara. Sedangkan Tiara hanya diam.

Panji tahu Tiara sedang tidak baik-baik saja. Oleh karena itu, Panji membiarkan Tiara untuk menenangkan dirinya. Kadang, perhatian Panji pada Tiara membuat para pegawai lainnya merasa cemburu dan iri.

“Tenangkan dirimu dulu, Tiara. Aku tidak tahu apa yang terjadi denganmu hingga sampai seperti ini. Aku akan menunggumu untuk bicara. Sekarang diamlah di sini biar aku ambil baju ganti di loker milikmu.”

Baru saja Panji akan beranjak pergi tetapi, Tiara menahan tangan Panji hingga Panji pun menoleh ke arah Tiara.

“Ada apa?”

Dengan tatapan kosong ke depan Tiara berucap. “Tidak perlu repot-repot. Aku bisa ambil sendiri, aku akan langsung bekerja,” tolak Tiara.

Setelah itu Tiara beranjak lalu berjalan ke arah tempat di mana loker berada. Panji hanya bisa menghela napas panjang, saat Tiara selalu menolak perhatian kecil darinya.

Panji pun bertanya-tanya dalam benaknya. Sebenarnya apa yang terjadi dengan Tiara? Panji yakin ada sesuatu hal besar yang terjadi sehingga Tiara seperti mayat hidup.

Kini, Tiara ada di ruang ganti sendirian. Tiba di sana Tiara tidak langsung berganti pakaian ia hanyalah diam. Hingga beberapa detik kemudian tubuh Tiara serasa melemah terduduk di lantai. Tiara kembali menangis. Ia menutup mulutnya agar tangisannya tidak menimbulkan suara yang akan terdengar oleh siapa pun yang lewat atau memang hendak ke ruangan ganti.

“Tuhan... apa yang harus aku lakukan? Uang dari mana sebanyak itu? Uang gajiku saja selalu habis di tengah bulan untuk beli obat Ayah. Dan sekarang? Lima ratus juta!”

Tiara bingung, apa harus ia minta bantuan pada Panji? Meminjam uang darinya dengan jaminan setiap bulan gajinya dipotong untuk mencicil. Namun... berapa tahun ia harus mencicil uang sebesar itu?

“Argh!” Tiara menggeram.

“Tuhan... aku masih butuh Ayah. Aku mohon jangan dulu kau ambil nyawa ayahku.”

Hiks... Hiks... Hiks

Sungguh Tiara tiada berdaya. Sejurus kemudian Tiara menyeka air matanya. Dia kuat, dia wanita tangguh, gak boleh cengeng! Tuhan pasti akan memberinya jalan di setiap kesulitan hamba-Nya.

Tuhan pasti tahu Tiara mampu, maka Tiara pun akan tetap berusaha mendapatkan uang lima ratus juta dalam waktu singkat.

Tiara secepatnya berganti pakaian, ia sudah telat setengah jam. Sudah dipastikan ia akan dapat bully-an dari pegawai lain.

Di klub Tiara bekerja sebagai waiter. Ingat! Waiter. Bukan wanita yang suka menjajalkan tubuhnya untuk dinikmati banyak orang.

Namun penilaian orang tentang Tiara salah. Para tetangga mengira jika dirinya kerja di klub menjual diri. Hingga berita itu sampai ke telinga Leo dan langsung anfal. Tiara mengutuk siapa saja yang berani menyebarkan berita semacam itu. Apalah daya, semua terasa percuma dia hanyalah orang miskin yang tidak bisa membela harga dirinya sendiri.

Brugh ...

“Aww,” Tiara meringis saat tiba-tiba saja ada orang yang mendorong tubuhnya hingga terjatuh.

“Lo masih betah kerja di sini? Kalau masih betah profesional, dong. Jangan mentang-mentang kenal sama si Bos kamu ngelunjak!” maki seorang wanita yang memakai seragam sama seperti Tiara.

“Aku habis dari rumah sakit dulu ta—“

“Alah, alasan lo klasik! Sekarang cepat kerja! Gatiin gue, gue capek mau istirahat.”

“Baik.”

Rasanya Tiara ingin membalas makian Dewi. Sayangnya, ia tidak mau membuang-buang tenaganya untuk membalas perkataan pedas Dewi. Gak penting!

Pengunjung di Klub King begitu ramai. Maklum malam minggu hari yang sering dijadikan waktu untuk menikmati hidup. Hidup penuh maksiat.

Tak jarang Tiara hampir mendapatkan pelecehan. Beruntung ia bisa bela diri jika ada yang macam-macam siap saja akan kena pelintiran dan tinjuan di area selangkangan.

Malam semakin larut bukannya semakin sepi tapi malah semakin rame. Begitu banyak manusia-manusia yang tidak takut mati, tidak takut Tuhan dan tidak takut akan dosa semua berkumpul. Tiara sudah mulai kelelahan ia beberapa kali hampir terjatuh, namun masih bisa menopang tubuhnya.

Gawai milik Tiara bergetar, gawai yang ia simpan di antara dadanya. Bukan tanpa alasan menyimpan gawainya di sana, ini bertujuan agar saat ada yang menghubungi getarannya mampu terasa.

Secepatnya Tiara mengambil gawainya dan tertulis nama rumah sakit di layar gawai.

“Hallo.”

“... ...”

“Apa?!”

Tiara bergeming lalu air matanya kembali luruh. Pihak rumah sakit mengatakan jika Leo—ayahnya kembali anfal dan secepatnya harus melakukan operasi.

Bagaimana ini? Dari mana Tiara bisa dapa uang sebanyak itu. Entah setan dari mana hingga terlintas di benak Tiara untuk melakukan hal itu.

“Apa aku harus melakukannya? Hanya itu hal yang berharga dan pasti harganya mahal,” Tiara bergumam.

Sejurus kemudian, dia berjalan menyusuri koridor demi koridor tujuannya hanya satu ruangan Panji. Tiara sudah bulat akan melakukan hal itu, hanya sekali saja tidak masalah. Batinnya terus berperang.

Brak...

Suara pintu dibuka dengan keras.

Orang yang berada di dalam sana langsung mendongakkan kepalanya.

“Aku mau menjual keperawananku.”

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status