Share

Bertemu Calon Mantu

Tiara mendongak kaget. Ayahnya bangun di waktu yang tidak tepat. Lalu, bagaimana cara menjelaskannya? Tidak mungkin jika dirinya harus mengatakan jika uang yang ia maksud adalah hasil dari sebuah kesepakatan kontrak pernikahan.

“Uang apa yang kamu maksud, Tiara?” tanya Leo penasaran.

“Itu ...,”

“Apa?”

Tiara sedikit menghela napas seraya mata yang ia tutup. Sejurus kemudian menatap sang ayah.

“Kalau Tiara kasih tahu, Ayah harus janji dulu,” ucap Tiara membuat kesepakatan.

“Janji apa?” balik tanya Leo.

“Janji jangan marah jangan terkejut pula.”

Leo tertawa tangannya terangkat lalu ia daratkan di kepala Tiara. “Anak Ayah lucu. Masa Ayah disuruh berjanji dulu.”

“Ayah....”

“Iya, iya, Ayah janji.” Tangannya mencubit pipi Tiara.

“Tiara sudah dapat uang untuk biaya operasi Ayah. Dan....”

“Dan apa Tiara? Ayah harap bukan sesuatu yang buruk,” ujar Leo saat Tiara sedikit menjeda perkataannya.

“Calon suami Tiara membayar lunas pengobatan Ayah sekaligus membayar semua biaya operasi.” Tiara memilih tertunduk saat berbicara dengan ayahnya.

Mendengar penuturan Tiara tentu saja membuat Leo mengerutkan keningnya merasa heran. Sebab yang ia tahu jika putri satu-satunya ini jarang berinteraksi dengan lawan jenis kecuali dirinya dan Panji.

Lalu secara tiba-tiba Tiara mengatakan diberi uang oleh calon suaminya. Leo sedikit kurang percaya.

“Sejak kapan kamu memiliki kekasih? Kenapa Ayah tidak tahu?” tanya Leo penuh selidik.

Seketika Tiara menjadi gugup namun ia berusaha untuk terlihat tenang. Jangan sampai ayahnya merasa curiga meskipun sebenarnya apa yang dia katakan tidaklah sepenuhnya salah. Sebab pria yang memberinya uang adalah calon suaminya meski hanya kontrak.

“Baru-baru ini, Yah. Dia pria matang yang kepalang ingin menikah. Karena sama-sama cocok akhirnya setuju untuk menikah. Maaf Tiara belum jujur, tadinya Tiara ingin memberi kejutan,” tutur Tiara setengah tak enak hati sebab dari ceritanya ada setengah kebohongan.

“Ayah memang sudah terkejut, Ayah tidak menyangka anak Ayah sudah mau menikah. Maaf, Ayah belum bisa membahagiakan kamu, Nak,” Leo mulai terisak.

Tiara menggeleng cepat. Bisa-bisanya Leo berpikir seperti itu. Dia bahagia. Kebahagiaan hanya berada bersama sang ayah, itu lebih dari cukup.

“Ayah jangan bicara seperti itu.” Tiara menggenggam tangan Leo. “Tiara bahagia hidup bersama Ayah. Tidak ada kebahagiaan yang paling besar selain hidup bersama Ayah.”

Leo merasa terharu. Ia bersyukur jika anak gadisnya tumbuh menjadi dewasa meskipun usianya masih sembilan belas tahun. Walau terkadang perasaan menjadi seorang Ayah yang gagal kerap Leo rasakan.

“Terima kasih sudah mau hidup sama Ayah. Terima kasih sudah tumbuh menjadi gadis yang baik,” tutur Leo seraya menggenggam balik tangan Tiara.

Suasana mendadak haru. Mereka saling berpelukan. Meluapkan segala emosi yang ada dalam hati dan benak keduanya.

Rasa cinta Tiara begitu besar pada ayahnya. Meskipun hidup dengan seorang Ayah tidak membuat dia kehilangan kasih sayang seorang ibu. Baginya Leo adalah Ayah sekaligus ibu.

Tiara mengurai pelukan dari tubuh sang ayah. Untuk apa dia harus menangis? Dia kuat, dia tegar dan ayahnya tidak boleh melihat dia menangis.

“Ayah, besok calon suami Tiara mau menemui Ayah. Apa boleh? Tapi... kalau Ayah belum siap bertemu tidak apa-apa lain waktu mungkin bisa.”

“Ayah siap. Jika calon menantu Ayah mau ke sini. Ayah penasaran sosok pria yang berhasil membuat anak Ayah merasa nyaman,” tutur Leo seraya menyolek dagu Tiara

“Apa tidak apa-apa, Yah?”

“Tentu tidak apa-apa. Ayah justru senang.”

Bibir Tiara memang tersenyum padahal hatinya sedang tertawa kecut. Sekarang dia pandai sekali berakting, menyembunyikan sesuatu yang sangat besar yang ia yakini jika ayahnya tahu yang sebenarnya maka sudah dipastikan akan marah besar.

***

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status