Share

Melarikan Diri

Keesokan harinya Panji sudah mendapatkan seorang pria yang menurutnya layak untuk Tiara. Dia adalah seorang pengusaha sukses di kota Jakarta. Harta kekayaannya begitu banyak mungkin saja harga 500 juta tidak akan ada artinya bagi dia.

Pengusaha itu adalah Tuan Adipati, seorang duda kaya yang selalu menyalurkan hasratnya pada wanita-wanita panggilan. Jika boleh jujur Panji teramat tidak rela. Bagaimana bisa dirinya bisa berbesar hati jika orang yang dia cintai secara tidak langsung harus ia jual?

Terpaksa, ini hanya terpaksa. Setelah beberapa menit lalu Panji dan Adipati saling bersepakat masalah harga panggilan telepon pun terputus.

Terdengar helaan napas dari mulut Panji, baginya ini adalah keputusan terberatnya.

Memang Tiara buka keluarga bahkan kekasih pun bukan, ia hanya seorang sahabat yang berharap bisa memiliki hati Tiara.

Sepertdetik kemudian, Panji mengirim pesan pada Tiara memintanya untuk menemui dirinya di apartemen miliknya. Sebuah transaksi besar akan ia lakukan dan ini berhubungan dengan wanita yang ia cintai.

Sementara itu Tiara yang sedang tertidur di samping tubuh ayahnya terpaksa terbangunkan oleh suara serta getaran dari handphone miliknya. Tiara sedikit memicingkan matanya terasa silau oleh cahaya matahari yang menerobos pada kaca jendela rumah sakit.

Tiara lalu menatap sang ayah yang saat ini masih tertidur dengan begitu nyenyak. Tidak lupa tangannya mengelus kepala Leo—sang ayah.

Ia merogoh handphone di saku celananya. Ia hendak melihat siapa yang mengirim pesan padanya.

Panji...

Nama itu tertera di layar handphoe datarnya.

Tiara tersenyum lebar sesaat setelah membaca isi pesan dari Panji. Bibirnya memang melengkung ke atas namun dari kedua netranya menjatuhkan butiran-butiran kristal yang perlahan menjadi menganak sungai.

Dengan kesepakatan ini artinya dia harus siap-siap kehilangan apa yang selama ini selalu ia jaga. Lagi, cacian, cemoohan dan gunjingan orang-orang kini jadi kenyataan jika dirinya seorang wanita murahan yang rela menjual tubuh dan keperawanannya hanya demi uang.

Masa bodoh! Dia tidak peduli bagaimana pandangan orang lain padanya. Sebab sebelum keputusan besar ini ia ambil dirinya sudah jadi bahan hinaan orang.

“Maafkan Tiara, Yah. Tiara terpaksa melakukan ini. Tiara tidak mau kehilangan Ayah. Tiara sayang Ayah, Tiara ingin melihat ayah sembuh. Ayah masih banyak berhutang sama Tiara...,”

Perkataan Tiara tertahan, ia malah menangis semakin menjadi.

Lalu Tiara menatap lebih lekat lagi wajah sang ayah yang kini sudah tidak semuda dulu.

“Ayah berhutang sama Tiara, Ayah berjanji akan membawa Tiara ke tempat rahasia Ayah dan Ibu dulu, sekarang... Tiara menagihnya , Yah,” ujar Tiara lirih. “Akan Tiara pastikan jika Ayah pasti akan sembuh. Jangan sampai apa yang sudah Tiara lakukan harus berakhir sia -sia. Tolong, Yah, bantu Tiara Untuk membuat usaha Tiara bisa ada gunanya.” Suara Tiara semakin terdengar pilu.

Tiara menarik napas dalam-dalam lalu mengembuskan secara perlahan . Dia berusaha untuk tidak menangis lagi, dia kuat dia tangguh. Masalah yang sedang ia alami sekarang hanyalah bagian kecil dari masalah yang mungkin saja ada yang lebih besar dari pada sekarang.

“Ayah, Tiara pamit. Tiara mau kerja,” ucapnya lalu mencium puncak kepala sang ayah.

***

Malam hari klub king

Kesepakatan telah diambil orang yang bernama Adipati itu yang mengaku seorang pengusaha kaya raya membeli dirinya dengan harga yang memang ia butuhkah 500 juta. Miris.

Tiara begitu risi dengan pakaian yang sedang ia gunakan sekarang. Bagaimana tidak risi jika pakaian yang ia kenakan tidak layak disebut pakaian. Pakaian mini, kurang bahan itu melekat sempurna di tubuh Jenjang Tiara. Rok hitam mini di atas lutut serta atasan berlengan ini satu setrip yang memperlihatkan sedikit belahan dadanya.

Sudah dipastikan penampilan Tiara bisa membuat mata ganjen lelaki terhipnotis bahkan bisa membakar gairah dan fantasi mereka. Sedangkan jika wanita yang melihatnya, mereka dipastikan akan dibuat tidak percaya diri, inseceur dan iri.

Tiara menatap pantulan dirinya di depan cermin. Dia menertawakan dirinya sendiri. Dia tidak menyangka jika dirinya senekat ini.

“Haha, sepertinya aku memang layak disebut wanita murahan. Lihatlah penampilan diriku? Memalukan?” gumamnya seraya menertawakan dirinya sendiri.

Tidak lama terdengar suara pintu terbuka karena merasa malu berpakaian seperti itu Tiara langsung menutupi tubuhnya dengan jaket. Orang yang baru saja masuk adalah Panji.

“Panji,” panggil Tiara sesaat setelah ia menutupi tubuhnya dengan jaket.

Panji berjalan ke arah Tiara dengan air muka khawatir dan tidak bersahabat.

“Coba kamu pikir ulang, Tiara.” Kali ini Panji berusaha untuk mempengaruhi Tiara agar bersedia menarik kembali niatnya.

Tiara tahu maksud perkataan Panji. Namun... dia sudah yakin. Ini adalah pilihan yang tepat.

“Kamu tidak usah khawatir Panji, ini adalah pilihanku, apa pun yang terjadi aku tidak akan pernah menyesalinya,” tutur Tiara dengan begitu tenang. Namun berbeda halnya dengan suasana hatinya yang justru merasa takut.

Tidak ada yang bisa Panji lakukan selain pasrah mengikuti permintaan sahabatnya ini.

“Temui dia di kamar nomor dua, dan ini...,” sejenak Panji menjeda perkataannya ia sibuk merogoh sesuatu dari sakunya. Sebuah kunci Panji berikan pada Tiara. “Kunci cadangan, gunakan ini bila pria itu mengunci pintu dan apabila ia malah menyakitimu larilah dan gunakan kunci ini.”

Tiara menatap ke arah kunci yang dipegang Panji. Ia terharu karena ternyata Panji masih saja peduli padanya sampai-sampai Panji sudah mempersiapkan semuanya.

Tiara mendekat pada Panji memerikan senyum termanisnya lalu menabrakkan tubuhnya pada tubuh Panji. Ia memeluk Panji dengan erat.

Panji hanya bisa memejamkan matanya dan mengepal erat kedua tangannya. Ada perasaan sedih, perasaan tidak tega dan perasaan bersalah. Dirinya malah menjerumuskan sahabatnya sendiri ke lubang hitam.

“Aku harus secepatnya ke sana, aku tidak enak hati jika orang yang membeliku menunggu terlalu lama,” ucapnya seraya melepaskan pelukan dan tertawa kecut.

Panji mengangguk. “Ingat dengan pesanku,” ucap Panji sesaat akan melepas kepergian Tiara.

“Hm.”

Tiara berlalu dengan jaket hitam miliknya masih terpasang di tubuhnya. Dia belum berani jika harus berpakaian terlalu terbuka. Dia belum siap jika beberapa pasang mata melihat tubuhnya, apalagi saat mendapatkan tatapan penuh gairah para lelaki dia tidak menyukainya.

Saat ini Tiara sudah berada di depan kamar nomor dua. Rasa takut dan ragu mulai menyerang. Alhasil Tiara hanya diam mematung di depan pintu tanpa sedikit pun berniat untuk masuk atau berniat untuk pergi menjauh.

“Tiara, kamu pasti bisa, ini demi kesembuhan Ayah. Ingat! Ini hanya sekali saja, setelah ... setelah uang lima ratus juta ada di tanganan maka semuanya end, selesai,” Tiara memberikan motivasi pada dirinya sendiri.

Tiara mencoba untuk tenang, rileks. Ia menarik napas lalu embuskan.

Clek...

Pintu kamar nomor dua Tiara buka dan ternyata pintunya sama sekali tidak dikunci.

Hal pertama yang ia lihat adalah gelap. Ia tidak bisa melihat apa pun. Berulang kali Tiara mencoba untuk memanggil pria yang membelinya. Namun hasilnya sama sekali tidak ada respons.

“Tuan, Tuan Adipati,” panggil Tiara seraya terus berjalan semakin masuk.

Brak!

Suara pintu yang tertutup dengan keras menggema di ruangan dan sukses membuat tiara ketakutan. Ditambah dalam kegelapan itu ia mendengar bunyi pintu yang di kunci dan bunyi sesat terjatuh. Mungkin kunci itu dia buang sembarangan.

Tiara semakin dibuat terkejut saat lampu kamar itu menyala hingga ia bisa melihat dengan jelas pria gendut yang saat ini sudah bertelanjang dada, membuat perut buncitnya terlihat dengan jelas.

Dalam hati Tiara beristigfar, rasanya ia ingin lari saja tidak ingin meneruskan ini semua. Tatapan pria gendut itu begitu menakutkan. Mata genitnya itu menelusuri tubuh Tiara dari atas sampai bawah. Tiara semakin menunduk.

“Lepas jaketmu!” titah pria gendut itu yang bernama tuan Adipati.

Dengan gemetaran Tiara mengikuti apa yang pria gendut itu instruksikan. Sungguh apa ini keputusan tepat? Tiba-tiba saja perasaan ragu hadir, apakah harus ia menanggalkan harga dirinya?

Tiba-tiba bayangan sang ayah terlintas begitu saja. Bayangan ayahnya yang sedang terbaring tak berdaya di atas bangkar.

‘Ya Allah... tolong maafkan Tiara. Maaf.’

Perlahan Tiara mulai membuka jaketnya, mungkin karena terlalu lama membuat pria gendut itu menarik paksa hingga membuat Tiara kesakitan.

“Lambat sekali!” bentaknya.

Secara refleks Tiara langsung menyilangkan kedua tangannya di atas dada, sungguh tatapan pria gendut itu serasa sedang menelanjanginya.

Perlahan pria gendut itu menyusuri tubuh Tiara, Tiara hanya bisa membekap mulutnya . rasanya detik itu juga dia ingin berteriak, ingin lari dan menyudahi transaksi ini. Ternyata dia tidak sekuat dan serela itu, ia tidak berani.

Maka dari itu saat tangan pria gendut itu hendak menyentuh area sensitifnya ia langsung mendorong dan menendang area selangkangan pria itu, beruntung Tiara bisa bela diri. Setidaknya ia bisa melakukan perlawanan jika nyawanya jadi taruhan.

Pria gendut itu terjatuh terjungkal, ia mengumpat kesal. Dari mukanya sudah memperlihatkan kemarahan besar.

“Kurang ajar! Dasar wanita murahan! Kamu berani mendorong dan menendang saya?” betak pria itu dengan mata yang melotot serta meringis kesakitan.

“Ma-maaf Tuan, aku ... aku... tidak bisa meneruskan semua ini. Aku harus pergi.”

Detik itu juga Tiara langsung berlari, ia mengambil kunci cadangan di saku rok ketatnya, kunci yang Panji berikan padanya. Ia tidak peduli bagaimana pria itu meneriaki dirinya, untuk saat ini ia ingin berlari secepatnya, ia tidak ingin tertanggap yang akan membuat dia terjebak kembali.

Karena tidak terlalu memperhatikan jalan, membuat Tiara tidak menyadari jika di arah berlawanan ada mobil yang melaju dengan cepat dan ...

Cit...

“Aaaa.”

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status