Share

Are You Crazy

“Aku mau menjual keperawananku.”

Mendengar kalimat horor itu membuat Panji yang sedang sibuk di depan layar seketika mendongak. Ia sampai melepaskan kacamata bacanya.

“Are you crazy?” tanya panji. Ia sama sekali tidak percaya dengan apa yang baru saja dia dengar. Menjual keperawanan? Ini gila!

“Aku mau menjual keperawananku, Panji,” ulang Tiara dengan air mata yang berderai.

Antara hati dan nalarnya sungguh tidak bisa sinkron, namun ia tetap harus melakukan ini semua. Demi kesembuhan Bapak tercinta keluarga yang ia miliki satu-satunya.

Panji beranjak, lalu ia berjalan ke arah Tiara yang masih berdiri di ambang pintu. Tidak lupa air mata yang sedari tadi berderai. Ini bukan kemauan hatinya, namun ia tetap harus melakukannya.

Panji langsung menempelkan punggung tangannya ke kening Tiara, mungkin... temannya ini sedang berada dalam keadaan tidak baik-baik saja.

“Kamu sakit?” tanya Panji memastikan. Sebab tidak biasanya Tiara bersikap seperti ini. Tiara yang Panji kenal adalah wanita tangguh dan tidak pernah memperlihatkan kesedihannya.

Tiara menepis lengan Panji yang terletak di dahinya. Dengan penuh keseriusan sesekali air matanya ia seka dengan kasar.

“Aku serius, Panji. Aku butuh uang banyak dalam waktu cepat. Aku yakin di klub milikmu ini banyak pria-pria kaya yang mau membeli keperawananku,” lirih Tiara sedikit tidak rela.

“No! Big no! Aku gak akan izinin kamu jual diri. Memang berapa rupiah yang kamu butuhkan? Mungkin aku bisa membantumu asalkan jangan sekalipun memiliki niat untuk jual diri.”

Tiara menggeleng cepat. “Gak. Aku gak mau menyusahkan kamu, Panji. Biar ini aku tanggung sendiri. Kamu terlalu baik.”

“Aku sahabat kamu, aku sama sekali tidak merasa kamu repotkan. Justru aku selalu senang saat kamu datang meminta bantuan padaku.”

Sejurus kemudian Panji memapah Tiara agar masuk dan duduk. Mungkin saat ini pikiran Tiara sedang kacau jadinya ia berkata seperti tadi.

Padahal istilah menjual diri adalah suatu pantangan dalam hidup Tiara. Meskipun tiara bekerja di klub tapi ia hanya seorang waiters saja tidak lebih daripada itu.

Itu jaga yang menjadi alasan kenap Panji menerima Tiara bekerja di klubnya ini. Lain ceritanya jika seandainya Tiara datang dan menawarkan dirinya untuk dijejalkan pada pria kurang ajar yang ada di klubnya ini.

Setelah Tiara duduk di sofa, Panji langsung mengambil segelas air mineral. Sahabatnya ini terlihat kacau sekali. Segelas air mineral semoga bisa membuat Tiara sedikit lebih tenang.

“Minumlah, Tiara. Coba rileks dan ceritakan apa yang sebenarnya terjadi padamu. Jangan gegabah dalam mengambil keputusan atau nanti kamu justru akan menyesal.”

Tanpa menunggu lama Tiara langsung meraih segelas air mineral dari tangan Panji dan langsung meminumnya dengan sekali tegukan.

“Coba ceritakan padaku, Tiara,” tanya lagi Panji seraya meletak gelas yang sudah kosong di atas meja.

“Aku butuh uang banyak. Ayah... Ayah... dia....” Tiara tidak mampu melanjutkan lagi perkataannya.

Rasanya bibirnya terasa kelu untuk menceritakan bagaimana keadaan bapaknya pada Panji. Sahabatnya ini sudah terlalu dalam ikut campur. Lebih tepatnya Tiara terlalu menyusahkan dirinya.

Meskipun berulang kali Panji mengatakan dirinya sama sekali tidak merasa direpotkan.

“Enggak Panji. Aku tidak mau membebani kamu lagi. Sudah cukup kebaikanmu selama ini. Sungguh jika kamu seperti ini terus aku takut... takut tidak bisa membalasnya.”

Panji mendesah seraya menjambak rambutnya. Entah harus dengan cara apalagi untuk meyakinkan Tiara. Terkadang setiap kebaikan yang ia berikan selalu ditolak oleh Tiara. Mungkin saja wanita ini tidak ingin memiliki utang budi sama siapa pun termasuk pada Panji.

Diraihnya kedua pundak Tiara, lalu Panji sedikit mengguncang tubuh Tiara. “Dengerin aku Tiara! Apakah selam ini aku pernah meminta padamu sesuatu ? semisal mengganti semua yang telah aku berikan padamu? Apakah aku pernah meminta itu?”

Tiara menggeleng dengan kepala yang tertunduk.

“Lalu sekarang apa yang membuat kamu ragu? Ragu untuk bercerita siapa tahu aku punya jalan keluarnya, Tiara.”

Mau bagaimanapun Panji membujuknya niat untuk menjual diri sudah telanjur ia ikrarkan, hanya dengan cara ini dirinya mendapatkan uang banyak dengan cepat tanpa sedikit pun mengusahakan orang lain.

Hanya sekali saja, tidak masalah bukan? Tidak akan membautnya terlalu merasa jadi seorang wanita murahan. Meskipun seberanya sama saja, dirinya layaknya seorang wanita murahan yang bersedia menjual tubuhnya hanya untuk uang.

“Jumlah uang yang aku butuhkan begitu banyak, Panji. Mungkin jika nominalnya sedikit aku kan meminjam sama kamu. Ini ? Jika aku meminjamnya sama kamu entah berapa tahu aku mampu membayarnya,” terang Tiara dengan air mata yang masih berderai.

“Berapa uang yang kamu butuhkan?”

Dengan sesegun bahkan berulang kali menyeka air matanya yang terasa semakin deras menetes saja membasahi kedua pipinya.

“Lima ratus juta.”

“Apa?!”

Panji terkejut, ia akui tidak memiliki uang sebesar itu. Dia hanyalah pemilik klub kecil yang penghasilan per bulannya tidak lebih tidak juga kurang hanya sepuluh juta per bulan. Bahkan penghasilan para wanita yang menjajakan tabuhnya di sini lebih besar penghasilannya.

Bukan pula tidak ada. Uang sebesar itu ada hanya saja jika ia serahkan semuanya pada Tiara bagaimana dengan klubnya? Terkadang selalu ada biaya yang tidak terduga untuk perbaikan klubnya atau untuk membeli minuman yang harga fantastis.

“Untuk apa uang sebesar itu, Tiara?”

“Ayah sakit. Ia harus segera dioperasi dan harus ada uang sebesar itu. Jika tidak ayah tidak akan selamat,” terang Tiara seraya tertunduk dan tangan yang ia letakkan di wajahnya.

Sejurus kemudian Tiara kembali menegakkan kepalanya . “Dari mana aku dapat uang sebesar itu dalam waktu singkat, Panji? Hanya dengan cara ini aku bisa mendapatkan uang secara instan.”

Tangis Tiara semakin pecah, Panji bingung. Ia pun tidak tahu harus seperti apa. Dia tidak rela jika seandainya harus membiarkan Tiara menjual tubuhnya. Tidak ! panji tidak bisa biarkan ini terjadi.

Panji kembali memegang pundak Tiara. Panji berusaha untuk menenangkan Tiara. Mungkin, Panji akan memikirkan solusi lain selain harus menjejakkan tubuh Tiara.

Panji tidak akan rela jika wanita yang ia cintai harus berbuat hal yang seperti ini. Panji yakin akan ada cara lain .

“Tenangkan dirimu. Aku akan memikirkan cara lain untuk mendapatkan uang sebesar itu. Tanpa harus kamu menjual harga dirimu.”

Perasaan Tiara menghangat. Jujur... Panji selalu datang sebagai malaikat penolongnya. Setiap kesulitan yang ia miliki pasti selalu ada cara untuk mengatasinya. Tiara benar-benar berhutang budi pada Panji. Entah harus dengan cara apa Tiara harus membalas kebaikan Panji.

Tiara menatap penuh haru pada sosok pria bermata sipit itu. Jangan lupa air mata yang selalu deras membasahi mata dan kedua pipinya. Namun, ia tetap tidak ingin terus bergantung pada Panji. Dia bersyukur memiliki sahabat seperti Panji, namun... Tiara juga tahu betapa bencinya orang tua Panji padanya.

Tiara yakin solusi yang Panji maksud adalah dengan meminta pinjaman kepada orang tuannya. Tiara menggeleng, ini tidak benar ia tidak ingin membuat Panji dalam masalah.

Saat Panji akan membawa Tiara ke dalam rengkuhannya tiba-tiba Tiara menolak. Dengan tatapan sendunya ia mengisyaratkan agar menarik kembali untuk menolongnya.

“Enggak, kamu tidak boleh menolongku lagi. Cukup carikan aku pria yang mau membeli keperawananku, Panji.”

“Kamu ngomong apa, sih, aku gak akan biarkan kamu melakukan hal gila itu.”

Tiara mengatupkan tangannya di atas dada, ia memohon agar Panji sudi untuk melakukan apa yang dia mau—mencarikan pria yang mau membeli keperawanannya dengan harga 500 juta.

Panji memijat pangkal hidungnya, dia tahu bagaimana sikap Tiara. Dia merupakan wanita keras kepala dan wanita yang tidak mau merepotkan orang lain.

Dengan gusar Panji menatap Tiara, dia sedang menimbang-nimbang keinginan Tiara itu.

Apakah ia benar-benar harus mengabulkan keinginannya? Tapi... dia tidak rela. Kalau ul pun dia yang harus membelinya uang dari mana sebesar itu?? Meminta pada orang tuanya pun itu suatu ketidakmungkinan.

“Aku mohon,” Tiara kembali memohon.

“Baiklah, aku akan mencari orang yang mau membeli keperawananmu.”

Seulas senyum berkembang di bibir ranumnya. Tiara senang sekaligus sedih. Rasanya campur aduk.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status