"Di mana aku?"
Raya mengedarkan pandangan matanya, memindai setiap sudut ruangan yang terasa begitu asing baginya, pengap, dan minim pencahayaan. Seharusnya, dia berada di kamar pengantin bersama calon suaminya. Tapi, mengapa dia justru ada di gudang seperti ini?
Lalu, di mana baju pengantinnya? Mengapa dia tiba-tiba menggunakan dress merah ketat seperti yang biasa digunakan kakak tirinya?
Raya mencoba mengingat apa yang terjadi, tetapi dia hanya samar mengingat sempat bertemu kakak tirinya dan berbincang sebentar.
"Arrgh!" Rasa sakit di kepala membuat Raya mengerang. "Tidak ... aku harus bisa keluar dari tempat ini secepatnya. Mas Rafka pasti sedang menungguku saat in!"
Dengan bersusah-payah, Raya mencoba untuk bangkit begitu sadarkedua tangan dan kaki yang terikat.
"Tolong! Siapapun, tolong keluarkan aku dari tempat ini!" Raya berteriak sekuat tenaga, berharap ada seseorang yang mendengar teriakannya dan tergerak hati untuk menolongnya.
Sayangnya, nihil.
Tak menyerah, kali ini Raya menggunakan kedua tangannya yang terikat untuk merangkak. Gadis itu berusaha untuk mencapai pintu keluar yang berada beberapa meter di depannya.
"Tolong! Tolong keluarkan aku dari sini!" Raya kembali berteriak, sambil terus merangkak ke depan.Sayup-sayup, perempuan itu dapat mendengar suara derap langkah kaki yang mendekat.Raya langsung menegakkan tubuhnya, berharap jika yang datang adalah orang yang akan menyelamatkannya.Brak!Tubuh Raya langsung terlonjak kaget begitu mendengar suara pintu yang di buka dengan kasar dari luar.Hanya saja, harapan Raya sirna begitu melihat beberapa orang pria dengan penampilan menyeramkan dari balik pintu."Bawa gadis pencuri ini keluar! Kita akan menyerahkannya kepada tuan Marcello," titah seorang pria bertubuh tegap dengan mengenakan kacamata hitam."Tunggu! Pencuri? Apa maksud kalian? Ke mana kalian akan membawaku?" Rasa was-was langsung menyelimuti hati Raya begitu tangannya di cekal oleh dua orang pria bertubuh kekar."Ck! Berhentilah berpura-pura, Nona," sahut pria berkacamata dengan santai, "kau harus bertanggungjawab karena berani mengambil dokumen milik tuan kami.""Lepaskan aku! Kalian salah orang!" Raya meronta sekuat tenaga dengan wajah ketakutan, "aku ingin pulang!"Namun, dua orang pria berbadan kekar tetap membawanya dengan paksa keluar dari ruangan itu. Mereka menghiraukan teriakannya."Kau tidak perlu khawatir. Sebentar lagi, kau akan pulang ke alam baka," ujar pria berkacamata sambil menyeringai lebar."Aku ingin pulang ke rumahku! Tolong, lepaskan aku. Aku mohon, hari ini aku akan menikah. Calon suami dan keluargaku pasti sangat menantikan kehadiranku.""Menikah? Kau ingin menikah Nona?" tanya pria berkacamata hitam dengan sinis.
"I-iya aku akan menikah hari ini, tolong lepaskan aku biarkan aku pulang," pinta Raya dengan wajah memelas."Jangan khawatir, kau pasti akan menikah," jawab pria tersebut dengan senyum penuh arti.Dan tiba-tiba saja salah satu pria itu membekap mulut Raya dengan sebuah sapu tangan, membuat tubuh gadis itu terkulai lemas tidak sadarkan diri.Dengan cepat, mereka membawa tubuh Raya masuk ke dalam mobil lalu meninggalkan tempat itu.*****
Menjelang tengah malam, mobil yang membawa Raya akhirnya tiba di halaman sebuah mansion yang sangat luas dan megah.
"Kurung gadis ini di kamar atas! Jangan lupa beri dia makanan untuk yang terakhir kalinya." Pria berkacamata hitam kembali memberi perintah begitu mereka turun dari mobil.Raya yang baru saja sadar dari pingsannya langsung berteriak histeris sambil terus meronta-ronta. Tidak ada yang dapat dilakukannya dengan mata tertutup dan tangan terikat, selain berteriak minta tolong dan meronta sekuat tenaga."Cepat bawa dia masuk! Aku sudah bosan mendengar teriakannya!""Baik, Tuan!""Lepas! Lepaskan aku!" teriak Raya sambil terus meronta, menendang ke segala arah.Namun nyatanya, dengan mudah mereka membawa tubuhnya ke lantai atas lalu menguncinya di dalam sebuah kamar setelah terlebih dulu melepaskan ikatan di tangan dan kepalanya."Tolong! Lepaskan aku! Keluarkan aku dari tempat ini! Biarkan aku keluar!" Dengan sisa tenaga dan asa yang masih ada, Raya kembali berteriak sembari menggedor-gedor pintu dengan sekuat tenaga.Berulang kali, ia melakukan hal tersebut, namun tidak ada satu orang pun yang mendekat, hingga menguras sisa tenaga dan kekuatannya, percuma."Ya Tuhan, apa yang sebenarnya terjadi? Mengapa nasibku tiba-tiba berubah seperti ini?"Rasa lelah dan putus asa mulai menyelimuti hatinya. Tangis dan air mata sudah tidak berguna. Pasrah, itulah yang dapat di lakukannya.Dengan kondisi tubuh lemah dan lapar, Raya memilih untuk membaringkan tubuhnya ke atas tempat tidur. Berharap jika ia terbangun nanti semuanya akan baik-baik saja.******Di sisi lain, sebuah mobil sport baru saja memasuki halaman mansion.
Seorang pria bertubuh tinggi atletis dengan wajah rupawan nampak turun dari mobil sambil sesekali memijit pelipisnya. "Tuan, apa Anda baik-baik saja?" Raut wajah khawatir terlihat di wajah sang asisten pribadi, manakala melihat tuannya berjalan sempoyongan.Mengangkat tangannya ke atas--tidak ingin terlihat lemah--Marcello pun lantas menjawab singkat, "Aku baik-baik saja." Layaknya orang yang sedang mabuk, Marcello menapaki anak tangga satu demi satu.Pria itu berusaha menahan sesuatu yang semakin membuat tubuhnya tidak terkendali.Dipegangnya kepala yang semakin terasa pusing. Rasa panas itu semakin menjalar di tubuhnya, hingga membuat konsentrasinya menghilang.Niat hati ingin masuk ke dalam kamarnya, namun langkah kaki itu justru membawanya masuk ke kamar lain.Rasa panas itu semakin merajai tubuhnya. Dia tidak tahu siapa wanita yang sedang meringkuk di atas tempat tidur. Hanya saja, Marcello meraskan keinginan luar biasa untuk menyentuhnya."Aku menginginkanmu." Suara serak Marcello seketika membuat gadis itu ketakutan setengah mati.Semakin meronta, semakin Marcello beringas mengoyak helai kain di tubuhnya, hingga tidak menyisakan sehelai benang pun."Tolong, jangan, aku mohon." Tubuh lemah itu memohon karena tidak dapat berbuat apa-apa ketika Marcello menindih tubuhnya."Jangan menolakku." Suara berat Marcello terdengar begitu menusuk.Isak tangis dan cucuran air mata gadis itu tidak dapat menghentikan keinginannya akan sebuah pelepasan."Sa-sakit, aku mohon hentikan."Marcello tidak perduli. Bahkan, cakaran dan gigitan di tubuhnya tidak berarti apa-apa baginya. Hingga dirinya mendapatkan pelepasan berulang kali, barulah pria itu menyudahi perbuatannya.Sementara gadis itu--Raya--terkulai lemah tidak sadarkan diri.Raya mengerjapkan kedua matanya berulang kali. Rasa sakit di sekujur tubuhnya membuat wanita muda itu meringis menahan sakit.Memegangi kepalanya yang terasa pusing, wanita itu berusaha untuk bangkit. Dengan wajah pucat dan rambut acak-acakkan."Auwh ... sa-sakit sekali." Raya semakin meringis kesakitan, begitu merasakan nyeri di bagian inti tubuhnya.Dalam sekejap mata, ingatan wanita itu kembali terlempar pada kejadian beberapa jam yang lalu."Itu pasti hanya mimpi! hanya mimpi!"Dengan tangan gemetar, Raya mencoba memeriksa keadaan tubuhnya di bawah selimut.Mata gadis itu terbelalak lebar, tubuhnya bergetar hebat. Keringat dingin langsung membasahi tubuh, manakala mendapati dirinya tidak mengenakan selembar benang pun. Tubuh polosnya hanya di tutupi selimut."Ti-tidak! Itu tidak mungkin!" Raya meracau tidak karuan. Berusaha menampik ingatan kelam yang membayang di matanya, namun sayang semua itu terpampang nyata di depannya.Raya lantas menarik selimut untuk menutupi seluruh tubuh
Marcel juga sadar keadaan Raya yang tak berpakaian "layak. Dengan tangan gemetar dan keringat dingin, pria itu pun perlahan membuka selimut yang membungkus tubuh gadis itu.Meski tidak ingin melihat, tapi kedua matanya terbelalak lebar saat mendapati banyak bercak merah dan bekas gigitan di sekujur tubuh bagian atas milik wanita itu."Kamu memang bajingan Marcel! Kamu iblis!" desis Marcel memejamkan mata dan mengepalkan kedua tangannya dengan kuat. Ia tidak dapat membayangkan betapa gadis di depannya itu sangat ketakutan saat itu. Selesai memakaikan baju, Marcel bergegas membopong tubuh Raya keluar dari kamar. Dia tidak ingin membuatnya sampai terlambat membawa gadis itu ke rumah sakit."Peter!"Setengah berlari menuruni tangga, Marcel berteriak memanggil nama sang asisten.Seorang pria muda langsung datang dengan tergopoh-gopoh.Menahan rasa terkejutnya melihat sang tuan membopong tubuh seorang gadis Peter pun bertanya, "Ada apa, Tuan?""Cepat siapkan mobil!"Mendengar perintah i
Lagi, Marcel kembali melangkah keluar dengan gontai. Pria itu duduk di kursi tunggu dengan wajah kuyu dan pikiran tidak menentu.Siang nanti adalah hari pertunangannya dengan Celina, tapi hari ini dia melihat luka di wajah wanita lain karena perbuatannya."Tuan...."Marcel seketika mendongak, menatap wajah sang asisten pribadi yang berdiri di hadapannya."Ada apa?" tanya Marcel tidak bersemangat."Acara pertunangan Anda akan digelar beberapa jam lagi. Sebaiknya, Tuan segera bersiap," jawab Peter dengan hati-hati.Marcel mengusap wajahnya kasar, sedikit mendongak ke atas sembari menghela nafas panjang dengan kedua mata terpejam.Dari kecil, ia sudah dididik akan sikap tanggung jawab. Tidak mungkin ia akan membiarkan wanita yang sudah di sakiti olehnya begitu saja. Namun, bila membatalkan acara pertunangannya dengan Celina demi wanita lain, itu juga seperti lari dari tanggung jawab!"Kita bisa mengurusnya nanti. Aku akan meminta Helena untuk menanganinya terlebih dahulu. Sekarang yang
Marcel memeluk erat tubuh Raya dari belakang. Terlambat sedikit saja sudah dapat dipastikan jika Marcell akan melihat mayat wanita itu saat ini."Tolong jangan berpikir untuk mengakhiri hidup. Aku bersalah padamu. Kalau kau mengakhiri hidup, maka aku adalah orang yang paling bersalah," ucap Marcel dengan suara bergetar, penuh penyesalan.Raya sontak menangis. Tubuhnya bergetar di dalam pelukan Marcel. Rasa bersalah pria itu semakin terasa, mendengar tangis pilu yang nyaring di telinganya."Maafkan aku. Aku bersalah padamu." Bergetar suara Marcel kembali meminta maaf meski pria itu tahu bahwa berjuta kata maaf pun tidak akan mampu mengobati luka yang begitu perih dan amat membekas di hati wanita itu.Benar saja, rangis pilu itu kembali terdengar, menumpuk rasa bersalah dan penyesalan di hati Marcel.Perlahan Marcel mengurai pelukannya, memutar tubuh saling berhadapan.Terenyuh hatinya menatap wajah rapuh wanita itu. Mengabaikan tatapan membunuh yang sarat akan kebencian dari wanita di
"Tuan, luka Anda mengeluarkan darah."Marcel kembali mengenakan jas hitam yang baru saja dilepasnya, begitu mendengar perkataan Peter."Jangan perdulikan aku. Bergegaslah!" titah Marcel. Ia tidak ingin keadaanya membuat sang asisten terganggu konsentrasinya. "Bantu aku menyiapkan alasan yang tepat untuk Celina nanti.""Baik, Tuan ... Anda tidak perlu kuatir," sahut Peter.Kembali, asisten itu melajukan mobilnya dengan kecepatan tinggi. Hingga tidak lama kemudian, mereka sudah tiba kembali di depan klinik Dokter Helena."Dia terus saja mengamuk minta pulang, aku terpaksa memberinya obat penenang lagi," terang Dokter Helena, begitu melihat Marcel muncul dari balik pintu."Kau sudah melakukan yang terbaik," ucap Marcel. Langkahnya terhenti di sisi ranjang, menatap iba wanita yang sedang terlelap. Wajah pucat dengan mata sembab, sisa air mata bahkan membekas di wajahnya."Sebaiknya, kau membawanya ke Psikiater. Aku kuatir kondisi kejiwaannya semakin buruk." Dokter Helena mencoba memberi
Begitu tiba di apartemen, Peter langsung membukakan pintu untuk tuannya. Bergegas kemudian membuka pintu kamar Marcel, tidak ingin sang tuan berlama-lama menunggu.Dengan gerakan lembut Marcel membaringkan tubuh Raya ke atas tempat tidur besar miliknya. Ia pun lalu ikut membaringkan diri di samping wanita itu.Sungguh melelahkan. Tidak hanya menguras tenaga dan pikiran, bahkan seharian ini waktu Marcel habis terkuras untuk mengurus Raya."Apa yang harus aku lakukan sekarang?" gumam Marcel.Wajah kuyu itu terlihat pucat, selain karena darah yang terus merembes keluar dari lukanya, sejak pagi Marcel bahkan belum menelan sebutir makanan pun, kecuali beberapa suap makanan di rumah Celina saat acara pertunangannya sore tadi.Merasa ada pergerakan di sampingnya, Marcel langsung memutar lehernya. Pandangan mata mereka bertemu, sesaat. Tidak ingin membuat wanita itu ketakutan dengan kehadirannya, Marcel segera bangkit, lalu berdiri di sisi tempat tidur."Maaf, aku harus membawamu pulang ke ap
"Aku akan menikahimu.""Raya menengadah. Mengurai pelukan Marcel di tubuhnya. Duduk menjauh dari laki-laki itu.Tersenyum miris.Menikah?Raya kembali tergugu dalam tangis."Bahkan aku di culik tepat di hari pernikahanku, sebelum sempat mendengar suara ijab qabul dari calon suamiku."Marcel terhenyak. Mematung di tempatnya, seolah ada sebongkah batu besar yang menghimpit dadanya.Apalagi ini? Dia tidak hanya merenggut sesuatu yang begitu berharga milik wanita itu, tapi dia juga telah menghancurkan hari pernikahannya.Maaf?Marcel sudah tidak mampu lagi untuk mengucap kata maaf kepada wanita malang itu. Tapi setidaknya ia punya niat tulus untuk meminta maaf."Aku sudah menghancurkan hidupmu. Bagaimana aku bisa mengantarmu pulang?" tanya Marcel dengan suara bergetar."Kau hanya perlu mengantarku sampai di batas kota. Setelah itu, kau boleh pergi." jawab Raya, lirih.Wanita itu kemudian bangkit, melangkah seperti mayat hidup ke kamar. Membiarkan setiap langkahnya mengusik pikiran Marcel
Chiiit!Peter menginjak pedal rem secara mendadak, nyaris saja ia menabrak seekor anjing yang tiba-tiba saja melintas di depan mobilnya."Shit!"Peter mengumpat kesal."Tuan. Apakah anda baik-baik saja?" tanya Peter dengan nada cemas.Dari balik kaca spion di depannya, Peter dapat melihat jika Marcel semakin terlihat pucat. Pria itu senantiasa memejamkan matanya dengan menyandarkan kepala ke belakangDan Raya yang terbangun karna mendengar Peter mengumpat. Wanita itu kembali dibuat terkejut begitu menyadari jika dirinya sudah berpindah tempat ke dalam mobil dan berbaring di atas pangkuan Marcel.Wanita itu buru-buru bangkit lantas menggeser tubuhnya menjauh dari Marcel."Nona! Anda sudah bangun? Bisakah aku minta tolong kepadamu?" tanya Peter tanpa mengalihkan fokusnya dalam mengemudi.Raya hanya diam tidak berniat untuk menjawab pertanyaan Peter. Gadis itu lebih memilih untuk menikmati pemandangan ke luar jendela."Nona! Aku mohon! Tuan Marcel sedang tidak sehat. Bisakah kau periksa