Share

Bab 6

"Tuan, luka Anda mengeluarkan darah."

Marcel kembali mengenakan jas hitam yang baru saja dilepasnya, begitu mendengar perkataan Peter.

"Jangan perdulikan aku. Bergegaslah!" titah Marcel. Ia tidak ingin keadaanya membuat sang asisten terganggu konsentrasinya. "Bantu aku menyiapkan alasan yang tepat untuk Celina nanti."

"Baik, Tuan ... Anda tidak perlu kuatir," sahut Peter.

Kembali, asisten itu melajukan mobilnya dengan kecepatan tinggi. Hingga tidak lama kemudian, mereka sudah tiba kembali di depan klinik Dokter Helena.

"Dia terus saja mengamuk minta pulang, aku terpaksa memberinya obat penenang lagi," terang Dokter Helena, begitu melihat Marcel muncul dari balik pintu.

"Kau sudah melakukan yang terbaik," ucap Marcel.

Langkahnya terhenti di sisi ranjang, menatap iba wanita yang sedang terlelap. Wajah pucat dengan mata sembab, sisa air mata bahkan membekas di wajahnya.

"Sebaiknya, kau membawanya ke Psikiater. Aku kuatir kondisi kejiwaannya semakin buruk." Dokter Helena mencoba memberi saran.

Marcel menarik nafas dalam. Bebannya semakin berat. "Aku akan memikirkannya nanti," tuturnya.

"Demamnya sudah turun, dan ...." Dokter Helena seperti ragu untuk melanjutkan ucapannya.

"Dan apa?" cecar Marcel tidak sabar. Hatinya kembali was-was melihat keragu-raguan di wajah Dokter muda itu.

"Dia mengalami pendarahan di bagian kewa—"

"Aku tahu!" potong Marcel cepat. Rasa bersalah itu kembali meliputi hatinya. Ia membayangkan betapa takutnya wanita itu saat ia melakukan kekejiannya malam itu.

"Itu sudah berhenti, kau tidak perlu kuatir," sambung Dokter Helena. "Aku hanya ingin mengingatkan, lain kali kau harus melakukannya dengan lebih lembut."

"Uhuk ... uhuk ... uhuk!"

Marcel tersedak ludahnya sendiri, begitu mendengar perkataan Dokter Helena.

"Hei, kau baik-baik saja?" Dokter Helena menatap heran ke arah Marcel.

Marcel segera berpaling, tidak ingin Dokter Helena melihat wajahnya yang memerah karena malu.

Berdehem pelan, Marcel lalu berkata, "Kau beristirahatlah, biar aku yang menjaganya."

Dokter Helena pun mengangguk. Dia tidak ingin mengungkit lebih jauh dan segera beranjak dari tempatnya.

"Jangan terlalu larut dalam rasa bersalah. Dia membutuhkan dukunganmu untuk bangkit," ujarnya, sebelum menghilang di balik pintu.

Marcel terdiam. Namun, dia kembali berpikir.

"Kau bisa berkata seperti itu karena kau tidak tau seberapa besar luka yang sudah aku torehkan di hati wanita ini," gumam Marcel.

Pria itu kemudian menjatuhkan bobot tubuhnya di sofa.

Berulang kali, ia mengusap wajahnya dengan kasar. Marcel berpikir keras mencari cara bagaimana ia akan mempertanggungjawabkan perbuatannya kepada wanita itu.

"Aku tidak mungkin menikahinya."

Bayangan wajah Celina melintas di benaknya. Tidak mungkin menduakan wanita itu. Ia sangat mencintainya.

Marcel pun melepas jas yang di kenakannya dan menyandarkan kepala ke belakang sofa. Ia lalu memijit kepalanya yang terasa sangat pening.

Wajah letih itu perlahan terlelap.

Marcel Melepaskan penat dalam tidurnya, hingga tidak menyadari pergerakan di atas ranjang di depannya.

Raya yang sudah terbangun pun bangkit. Dia duduk bersandar ke belakang dan melihat ke arah pria yang sangat dibencinya saat ini.

Sungguh pun ia begitu ingin mencabik-cabik tubuh Marcel, tapi ia tidak sampai hati melakukannya.

Sisi kemanusiannya masih ada. Apalagi, melihat bahu kiri pria itu yang kembali mengeluarkan darah.

Raya pun bergerak turun perlahan dari ranjang. Ia mendekat ke arah Marcel. Entah apa yang ada di pikirannya, wanita itu menatap lekat wajah rupawan yang sedang terlelap di depannya.

"Jika ia pria jahat yang sengaja ingin menyakitiku, sudah pasti ia akan meninggalkanku atau bahkan membuangku begitu saja," gumam Raya.

Membayangkan kejadian malam itu, sungguh membuat hatinya sangat terluka.

Dengan tertatih, Raya kembali ke tempat tidurnya dengan air mata yang sudah menetes.

Pisau bedah di tangannya terjatuh begitu saja ke lantai, menimbulkan suara berdenting. Nyatanya, ia tidak sanggup untuk membunuh pria di depannya.

Membunuh Marcel pun tak akan menghentikan masalah yang menanti dirinya.

Raya pun memilih berbaring dan menumpahkan air matanya di atas bantal. Lalu, perlahan kembali terlelap.

Ceklek!

Suara pintu dibuka dari luar. Peter melangkah dengan wajah panik, mendekat ke arah Marcel.

"Tuan, bangunlah!" Peter menepuk tubuh Marcel pelan. "Kita harus pergi dari sini, nona Celina sedang menuju ke mari,' lanjutnya, begitu melihat Marcel membuka kedua matanya.

"Apa?" Marcel menegakkan tubuhnya. Wajah itu terlihat sedikit tegang "Bagaimana bisa?" imbuhnya.

"Ada salah satu teman nona Celina yang tidak sengaja melihat Tuan masuk ke dalam klinik, lalu memberitahukannya kepada nona Celina," terang Peter.

"Kita ke apartemen sekarang!"

"Bukannya mansion?" sela Peter.

Marcel menatap tajam sang asisten. Membuat Peter langsung mengerti dengan maksud ucapannya. "Baiklah. Saya mengerti," kata Peter.

Marcel bergegas menyambar jas yang tersampir di sandaran sofa, lalu mendekat ke tempat tidur.

"Kita harus pergi dari sini," lirih Marcel, berharap wanita itu tidak mengamuk saat di bopong olehnya.

Ia pun menyelimutkan jas miliknya ke tubuh Raya, lalu membopong tubuhnya.

"Tuan, biar saya saja, luka Anda bisa semakin parah." Bermaksud menggantikan Marcel membopong tubuh Raya, justru pria itu mendapat tatapan tajam dari tuannya.

"Siapkan mobil!" titah Marcel sambil melangkah tergesa keluar dari ruang perawatan.

Peter sontak terdiam dan mengangguk. 

"Sudah Tuan. Kita lewat jalur belakang," sahut Peter, "Sisanya akan diurus oleh Dokter Helena. Aku sudah membicarakannya tadi dengannya. Tuan tidak perlu khawatir."

"Bagus!"

Setengah berlari, Marcel membopong tubuh Raya menuju jalur belakang klinik. Seperti seorang pria yang sedang menyembunyikan wanita simpanannya, Marcel begitu panik.

Ia takut jika sampai Celina mengetahuinya. Marcel tidak ingin membuat wanita yang dicintainya itu terluka.

*****

Peter segera membukakan pintu mobil untuk Marcel, lalu bergegas membawa mobil Helena meninggalkan tempat itu.

"Tuan, menunduk!" gegas Peter meminta Marcel untuk menunduk, begitu mobil yang di kemudikannya berpapasan dengan mobil Celina di depan gerbang klinik.

Benar-benar menegangkan!

Dengan kaca mobil transparan, bukan tidak mungkin Celina akan melihat Marcel di dalam mobil itu.

Marcel dan Peter terlihat menghembuskan nafas lega.

Secara reflek, Marcel bahkan mendekap tubuh Raya yang berada di atas pangkuannya--meluapkan perasaan lega karena berhasil menghindar dari Celina.

Kaugnay na kabanata

Pinakabagong kabanata

DMCA.com Protection Status