"Tuan, luka Anda mengeluarkan darah."
Marcel kembali mengenakan jas hitam yang baru saja dilepasnya, begitu mendengar perkataan Peter."Jangan perdulikan aku. Bergegaslah!" titah Marcel. Ia tidak ingin keadaanya membuat sang asisten terganggu konsentrasinya. "Bantu aku menyiapkan alasan yang tepat untuk Celina nanti.""Baik, Tuan ... Anda tidak perlu kuatir," sahut Peter.Kembali, asisten itu melajukan mobilnya dengan kecepatan tinggi. Hingga tidak lama kemudian, mereka sudah tiba kembali di depan klinik Dokter Helena."Dia terus saja mengamuk minta pulang, aku terpaksa memberinya obat penenang lagi," terang Dokter Helena, begitu melihat Marcel muncul dari balik pintu."Kau sudah melakukan yang terbaik," ucap Marcel.Langkahnya terhenti di sisi ranjang, menatap iba wanita yang sedang terlelap. Wajah pucat dengan mata sembab, sisa air mata bahkan membekas di wajahnya."Sebaiknya, kau membawanya ke Psikiater. Aku kuatir kondisi kejiwaannya semakin buruk." Dokter Helena mencoba memberi saran.Marcel menarik nafas dalam. Bebannya semakin berat. "Aku akan memikirkannya nanti," tuturnya."Demamnya sudah turun, dan ...." Dokter Helena seperti ragu untuk melanjutkan ucapannya."Dan apa?" cecar Marcel tidak sabar. Hatinya kembali was-was melihat keragu-raguan di wajah Dokter muda itu."Dia mengalami pendarahan di bagian kewa—""Aku tahu!" potong Marcel cepat. Rasa bersalah itu kembali meliputi hatinya. Ia membayangkan betapa takutnya wanita itu saat ia melakukan kekejiannya malam itu."Itu sudah berhenti, kau tidak perlu kuatir," sambung Dokter Helena. "Aku hanya ingin mengingatkan, lain kali kau harus melakukannya dengan lebih lembut.""Uhuk ... uhuk ... uhuk!"Marcel tersedak ludahnya sendiri, begitu mendengar perkataan Dokter Helena."Hei, kau baik-baik saja?" Dokter Helena menatap heran ke arah Marcel.Marcel segera berpaling, tidak ingin Dokter Helena melihat wajahnya yang memerah karena malu.Berdehem pelan, Marcel lalu berkata, "Kau beristirahatlah, biar aku yang menjaganya."Dokter Helena pun mengangguk. Dia tidak ingin mengungkit lebih jauh dan segera beranjak dari tempatnya."Jangan terlalu larut dalam rasa bersalah. Dia membutuhkan dukunganmu untuk bangkit," ujarnya, sebelum menghilang di balik pintu.Marcel terdiam. Namun, dia kembali berpikir.
"Kau bisa berkata seperti itu karena kau tidak tau seberapa besar luka yang sudah aku torehkan di hati wanita ini," gumam Marcel.
Pria itu kemudian menjatuhkan bobot tubuhnya di sofa.Berulang kali, ia mengusap wajahnya dengan kasar. Marcel berpikir keras mencari cara bagaimana ia akan mempertanggungjawabkan perbuatannya kepada wanita itu.
"Aku tidak mungkin menikahinya."Bayangan wajah Celina melintas di benaknya. Tidak mungkin menduakan wanita itu. Ia sangat mencintainya.Marcel pun melepas jas yang di kenakannya dan menyandarkan kepala ke belakang sofa. Ia lalu memijit kepalanya yang terasa sangat pening.Wajah letih itu perlahan terlelap.Marcel Melepaskan penat dalam tidurnya, hingga tidak menyadari pergerakan di atas ranjang di depannya.Raya yang sudah terbangun pun bangkit. Dia duduk bersandar ke belakang dan melihat ke arah pria yang sangat dibencinya saat ini.Sungguh pun ia begitu ingin mencabik-cabik tubuh Marcel, tapi ia tidak sampai hati melakukannya.Sisi kemanusiannya masih ada. Apalagi, melihat bahu kiri pria itu yang kembali mengeluarkan darah.
Raya pun bergerak turun perlahan dari ranjang. Ia mendekat ke arah Marcel. Entah apa yang ada di pikirannya, wanita itu menatap lekat wajah rupawan yang sedang terlelap di depannya."Jika ia pria jahat yang sengaja ingin menyakitiku, sudah pasti ia akan meninggalkanku atau bahkan membuangku begitu saja," gumam Raya.Membayangkan kejadian malam itu, sungguh membuat hatinya sangat terluka.Dengan tertatih, Raya kembali ke tempat tidurnya dengan air mata yang sudah menetes.Pisau bedah di tangannya terjatuh begitu saja ke lantai, menimbulkan suara berdenting. Nyatanya, ia tidak sanggup untuk membunuh pria di depannya.Membunuh Marcel pun tak akan menghentikan masalah yang menanti dirinya.
Raya pun memilih berbaring dan menumpahkan air matanya di atas bantal. Lalu, perlahan kembali terlelap.
Ceklek!
Suara pintu dibuka dari luar. Peter melangkah dengan wajah panik, mendekat ke arah Marcel.
"Tuan, bangunlah!" Peter menepuk tubuh Marcel pelan. "Kita harus pergi dari sini, nona Celina sedang menuju ke mari,' lanjutnya, begitu melihat Marcel membuka kedua matanya.
"Apa?" Marcel menegakkan tubuhnya. Wajah itu terlihat sedikit tegang "Bagaimana bisa?" imbuhnya."Ada salah satu teman nona Celina yang tidak sengaja melihat Tuan masuk ke dalam klinik, lalu memberitahukannya kepada nona Celina," terang Peter."Kita ke apartemen sekarang!""Bukannya mansion?" sela Peter.Marcel menatap tajam sang asisten. Membuat Peter langsung mengerti dengan maksud ucapannya. "Baiklah. Saya mengerti," kata Peter.Marcel bergegas menyambar jas yang tersampir di sandaran sofa, lalu mendekat ke tempat tidur."Kita harus pergi dari sini," lirih Marcel, berharap wanita itu tidak mengamuk saat di bopong olehnya.Ia pun menyelimutkan jas miliknya ke tubuh Raya, lalu membopong tubuhnya."Tuan, biar saya saja, luka Anda bisa semakin parah." Bermaksud menggantikan Marcel membopong tubuh Raya, justru pria itu mendapat tatapan tajam dari tuannya."Siapkan mobil!" titah Marcel sambil melangkah tergesa keluar dari ruang perawatan.Peter sontak terdiam dan mengangguk.
"Sudah Tuan. Kita lewat jalur belakang," sahut Peter, "Sisanya akan diurus oleh Dokter Helena. Aku sudah membicarakannya tadi dengannya. Tuan tidak perlu khawatir."
"Bagus!"
Setengah berlari, Marcel membopong tubuh Raya menuju jalur belakang klinik. Seperti seorang pria yang sedang menyembunyikan wanita simpanannya, Marcel begitu panik.Ia takut jika sampai Celina mengetahuinya. Marcel tidak ingin membuat wanita yang dicintainya itu terluka.
*****
Peter segera membukakan pintu mobil untuk Marcel, lalu bergegas membawa mobil Helena meninggalkan tempat itu."Tuan, menunduk!" gegas Peter meminta Marcel untuk menunduk, begitu mobil yang di kemudikannya berpapasan dengan mobil Celina di depan gerbang klinik.Benar-benar menegangkan!Dengan kaca mobil transparan, bukan tidak mungkin Celina akan melihat Marcel di dalam mobil itu.Marcel dan Peter terlihat menghembuskan nafas lega.Secara reflek, Marcel bahkan mendekap tubuh Raya yang berada di atas pangkuannya--meluapkan perasaan lega karena berhasil menghindar dari Celina.Begitu tiba di apartemen, Peter langsung membukakan pintu untuk tuannya. Bergegas kemudian membuka pintu kamar Marcel, tidak ingin sang tuan berlama-lama menunggu.Dengan gerakan lembut Marcel membaringkan tubuh Raya ke atas tempat tidur besar miliknya. Ia pun lalu ikut membaringkan diri di samping wanita itu.Sungguh melelahkan. Tidak hanya menguras tenaga dan pikiran, bahkan seharian ini waktu Marcel habis terkuras untuk mengurus Raya."Apa yang harus aku lakukan sekarang?" gumam Marcel.Wajah kuyu itu terlihat pucat, selain karena darah yang terus merembes keluar dari lukanya, sejak pagi Marcel bahkan belum menelan sebutir makanan pun, kecuali beberapa suap makanan di rumah Celina saat acara pertunangannya sore tadi.Merasa ada pergerakan di sampingnya, Marcel langsung memutar lehernya. Pandangan mata mereka bertemu, sesaat. Tidak ingin membuat wanita itu ketakutan dengan kehadirannya, Marcel segera bangkit, lalu berdiri di sisi tempat tidur."Maaf, aku harus membawamu pulang ke ap
"Aku akan menikahimu.""Raya menengadah. Mengurai pelukan Marcel di tubuhnya. Duduk menjauh dari laki-laki itu.Tersenyum miris.Menikah?Raya kembali tergugu dalam tangis."Bahkan aku di culik tepat di hari pernikahanku, sebelum sempat mendengar suara ijab qabul dari calon suamiku."Marcel terhenyak. Mematung di tempatnya, seolah ada sebongkah batu besar yang menghimpit dadanya.Apalagi ini? Dia tidak hanya merenggut sesuatu yang begitu berharga milik wanita itu, tapi dia juga telah menghancurkan hari pernikahannya.Maaf?Marcel sudah tidak mampu lagi untuk mengucap kata maaf kepada wanita malang itu. Tapi setidaknya ia punya niat tulus untuk meminta maaf."Aku sudah menghancurkan hidupmu. Bagaimana aku bisa mengantarmu pulang?" tanya Marcel dengan suara bergetar."Kau hanya perlu mengantarku sampai di batas kota. Setelah itu, kau boleh pergi." jawab Raya, lirih.Wanita itu kemudian bangkit, melangkah seperti mayat hidup ke kamar. Membiarkan setiap langkahnya mengusik pikiran Marcel
Chiiit!Peter menginjak pedal rem secara mendadak, nyaris saja ia menabrak seekor anjing yang tiba-tiba saja melintas di depan mobilnya."Shit!"Peter mengumpat kesal."Tuan. Apakah anda baik-baik saja?" tanya Peter dengan nada cemas.Dari balik kaca spion di depannya, Peter dapat melihat jika Marcel semakin terlihat pucat. Pria itu senantiasa memejamkan matanya dengan menyandarkan kepala ke belakangDan Raya yang terbangun karna mendengar Peter mengumpat. Wanita itu kembali dibuat terkejut begitu menyadari jika dirinya sudah berpindah tempat ke dalam mobil dan berbaring di atas pangkuan Marcel.Wanita itu buru-buru bangkit lantas menggeser tubuhnya menjauh dari Marcel."Nona! Anda sudah bangun? Bisakah aku minta tolong kepadamu?" tanya Peter tanpa mengalihkan fokusnya dalam mengemudi.Raya hanya diam tidak berniat untuk menjawab pertanyaan Peter. Gadis itu lebih memilih untuk menikmati pemandangan ke luar jendela."Nona! Aku mohon! Tuan Marcel sedang tidak sehat. Bisakah kau periksa
Suasana kembali berubah hening. Tidak ada jawaban yang terlontar dari mulut Raya, sedangkan Marcel pria itu jadi merasa sangat bersalah atas apa yang telah diucapkannya barusan."Maaf," lirih Marcel.Namun Raya masih tetap diam, asyik dengan pikirannya sendiri."Apa kau tidak lapar?" tanya Marcel melirik ke arah gadis di sampingnya.Raya tidak menjawab. Gadis itu justru mengalihkan pandangan matanya keluar jendela.Marcel tidak kurang akal, mencari cara agar suasana tetap mencair."Berapa lama perjalanan yang harus kita tempuh untuk sampai ke rumahmu?" Marcel kembali bertanya. "Mungkin memakan waktu sekitar tujuh sampai 8 jam," jawab Raya tanpa mengalihkan pandangannya."Tujuh sampai delapan jam?" gumam Marcel sedikit terkejut.Saat ini waktu sudah menunjukkan jam 11 malam, Marcel berpikir mungkin mereka akan bermalam di jalan nanti.Jika tahu begini mungkin Marcel akan memilih menggunakan helikopter pribadinya daripada harus menggunakan mobil, apalagi kondisinya sedang tidak baik-b
Tangis haru menyelimuti keluarga Hutama menyambut kepulangan Raya pagi itu. Tak terkecuali, Hanum. Ibu tiri yang sangat menyayangi Raya selama ini.Wanita paruh baya itu terlihat sangat sedih melihat penampilan Raya yang terlihat pucat dan kurus, meski baru beberapa hari gadis itu menghilang."Kamu kemana, sayang? Mengapa kamu menghilang di hari pernikahan kamu? Apa yang terjadi, Nak? Apa ada yang menyakitimu?"Berbagai pertanyaan terlontar dari mulut bu Hanum. Wanita itu tidak kuasa melihat Raya yang menangis pilu dalam pelukannya."Sudah, Bu. Sebaiknya bawa Raya ke kamarnya dulu untuk membersihkan diri dan beristirahat. Anak kita butuh waktu untuk menenangkan diri," ujar pak Hutama, mengusap bahu dua perempuan yang sangat di sayanginya itu.Bu Hanum mengangguk, sembari mengusap air mata di wajahnya."Ayo, sayang. Kita ke kamar dulu. Ibu akan siapkan makanan dan teh hangat buat kamu."Wanita paruh baya itu kemudian menuntun Raya untuk ke kamarnya. Menyiapkan air hangat di bathtub unt
Raya keluar dari apartemen dengan air mata yang bercucuran. Gadis itu sudah tidak sanggup lagi melihat pergumulan panas antara Rafka dan Jesica, dan suara desahan mereka yang saling bersahutan. Apalagi mendengar pembicaraan mereka yang ternyata sudah bermain api di belakangnya selama ini.Rafka dan Jesica diam-diam telah menjalin hubungan di belakangnya. Bahkan mereka sering melakukan hubungan suami istri tanpa sepengetahuan Raya. Sungguh! Hatinya benar-benar sakit tiada terperi. Ternyata orang yang selama ini sangat dia cintai tega melakukan semua itu kepadanya, termasuk kakaknya sendiri."Mengapa semua ini harus terjadi kepadaku! Mengapa!" Raya berteriak seorang diri di pinggir sebuah danau. Gadis itu mengeluarkan semua keluh kesahnya dengan berteriak seorang diri di tempat yang cukup sepi itu."Apa salah dan dosaku, Tuhan. Mengapa mereka tega melakukan ini di belakangku?" rintih Raya sambil menangis pilu."Masa depanku sudah hancur! Dan kini orang yang sangat aku cintai menghian
Satu bulan kemudianSiang ini, Marcello dan Celina melangsungkan pernikahan. Akad nikah di laksanakan di kediaman Celina, sedang resepsi pernikahan akan di selenggarakan di sebuah hotel bintang lima.Perasaan bahagia terlukis indah di wajah kedua mempelai setelah Marcel selesai mengucapkan ijab qobul.Celina langsung bergelayut manja di lengan Marcel, ketika sanak saudara dan para tamu menghampiri mereka untuk mengucapkan selamat."Aku sangat bahagia sekali, sayang. Setelah sekian lama menunggu akhirnya kau menepati janjimu menikahiku," ucap Celina dengan binar bahagia di matanya.Kini mereka sedang berada di kamar Celina, untuk beristirahat sejenak menunggu malam resepsi tiba.Marcel tersenyum. Mencium kening Celina yang sudah menyandarkan kepala di bahunya."Bagaimana aku tidak akan menikahimu, jika kau adalah wanita yang sangat aku cintai, Celina."Pria itu memeluk pinggang ramping di sampingnya, sedikit menunduk mendaratkan sebuah ciuman lembut di bibir penuh milik istrinya.Begit
"Raya."Wanita itu menengadah, menatap tidak berkedip pria yang berdiri di depannya."Raya," lirih Marcel. Perasaan rindu tiba-tiba saja membuncah di dadanya.Tangis Raya semakin pecah. Terdengar begitu pilu dan menyayat hati. Wanita itu perlahan berdiri, dengan tubuh yang semakin gemetar.Wajah rapuh dan penuh luka itu membuat Marcel ingin segera membawanya ke dalam pelukannya.Pria itu perlahan mendekat dengan tubuh yang juga gemetar, memberanikan diri memangkas jarak di antara mereka."Raya, apa kau baik-baik saja?"Raya menegakkan kepalanya, menatap dalam manik mata pria di depannya. Wanita itu diam seribu bahasa, hanya sorot matanya yang seolah ingin menyampaikan kepedihan hatinya kepada Marcel.Marcel mengulurkan tangannya, mencoba meraih pundak gadis itu, namun Raya segera menepisnya."Biarkan aku mati!"Nada putus asa itu begitu terdengar jelas di telinga Marcel, menghadirkan rasa bersalah yang kembali merajam hatinya."Kau tidak boleh mati, kau harus tetap hidup.""Apa perdu