Begitu tiba di apartemen, Peter langsung membukakan pintu untuk tuannya. Bergegas kemudian membuka pintu kamar Marcel, tidak ingin sang tuan berlama-lama menunggu.
Dengan gerakan lembut Marcel membaringkan tubuh Raya ke atas tempat tidur besar miliknya. Ia pun lalu ikut membaringkan diri di samping wanita itu.Sungguh melelahkan. Tidak hanya menguras tenaga dan pikiran, bahkan seharian ini waktu Marcel habis terkuras untuk mengurus Raya."Apa yang harus aku lakukan sekarang?" gumam Marcel.Wajah kuyu itu terlihat pucat, selain karena darah yang terus merembes keluar dari lukanya, sejak pagi Marcel bahkan belum menelan sebutir makanan pun, kecuali beberapa suap makanan di rumah Celina saat acara pertunangannya sore tadi.Merasa ada pergerakan di sampingnya, Marcel langsung memutar lehernya. Pandangan mata mereka bertemu, sesaat. Tidak ingin membuat wanita itu ketakutan dengan kehadirannya, Marcel segera bangkit, lalu berdiri di sisi tempat tidur."Maaf, aku harus membawamu pulang ke apartemenku." Berkata dengan pelan, tanpa berani menatap wajah wanita di depannya.Raya menghela nafas, mengalihkan tatapannya ke sudut ruangan. "Aku tau," ucapnya.Bahkan sebelum Marcel membawanya berlari di lorong klinik, Raya sudah terbangun lebih dulu. Namun wanita itu memilih diam, tidak sampai hati membuat Marcel semakin panik karena dirinya mengamuk. Ia tau, jika pria itu sedang berusaha menghindari sesuatu.Marcel mengangkat wajahnya, menatap Raya dengan pikiran yang berkecamuk. Lagi-lagi rasa bersalah itu menghantui perasaanya. Teringat dengan nasehat Helena, Marcel mencoba untuk tetap tenang. "Apa kau membutuhkan sesuatu?" tanya Marcel."Aku ingin pulang." Menjawab dengan cepat, tanpa mengalihkan pandangannya. Raya tidak ingin air matanya keluar lagi, begitu melihat wajah Marcel."Pulang?" beo Marcel.Raya mengangguk lemah.
"Iya, kau akan pulang. Aku akan mengantarmu besok." Berkata dengan ragu, tidak yakin dengan ucapannya sendiri. Marcel begitu takut akan terjadi apa-apa dengan wanita itu. "Tapi kau harus sembuh terlebih dulu," imbuhnya."Aku tidak apa-apa. Kau tidak perlu cemas memikirkan keadaanku."Meremas kedua tangannya, meluapkan rasa sakit yang tidak terobati. Memejamkan kedua mata, Raya berusaha mengiklaskan apa yang sudah menimpanya. Melupakannya."Maaf," lirih Marcel.Maaf? Andai satu kata itu bisa mengembalikan segalanya, mungkin tidak akan pernah ada luka sedalam ini di hati Raya."Kau sungguh tidak membutuhkan sesuatu?" tanya Marcel.Menatap Raya yang masih setia memalingkan wajahnya, Marcel berharap jika wanita itu akan membutuhkan sesuatu. Setidaknya, dia punya kesempatan untuk terus berkomunikasi."Tidak."Nyatanya, hanya jawaban itu yang keluar dari mulut Raya."Baiklah. Jika kau membutuhkan sesuatu aku ada di luar."Tidak ada jawaban, anggukan pun tidak. Hanya tatapan sekilas dari Raya, sebelum wanita itu kembali memalingkan wajahnya. Marcel akhirnya keluar dari kamar dengan langkah gontai.Di meja makan, tertata berbagai jenis makanan. Sebelum pulang ke mansion, Peter terlebih dulu menyiapkan makanan untuk sang tuan dan tamunya, barang kali mereka masih bisa menelan makanan.Marcel hanya melihat sekilas. Pria itu tidak bernafsu sama sekali. Lalu, ia kembali ke ruang depan untuk berbaring di sofa dengan mata menerawang. Puluhan, mungkin ratusan panggilan di ponselnya ia abaikan.'Celina?'Masalah ini begitu menyiksa batinnya.Suara pintu kamar tiba-tiba dibuka perlahan dari dalam.Marcel sontak menegakkan tubuhnya dan melihat Raya yang berjalan ke arahnya dengan kotak P3K di tangannya.
Wanita itu duduk di sampingnya. Dengan pandangan datar. Tanpa ekspresi."Buka bajumu." Suara yang begitu lirih, namun mampu menggetarkan tubuh Marcel.Tanpa berkata, bahkan tanpa mengedipkan kedua matanya, Marcel melepas kemeja putih dari tubuhnya.Raya mengulurkan tangannya, mulai melepas balutan perban di bahu Marcel yang sudah berubah warna semerah darah."Aku sudah memaafkanmu. Aku sudah mengikhlaskan semuanya." Berkata dengan lirih, tanpa menghentikan gerakan tangannya melepas perban.Tubuh Marcel menegang. Hatinya begitu terenyuh mendengar perkataan Raya. Semudah itukah wanita itu memaafkannya?"Aku tidak tau tanggung jawab seperti apa yang bisa aku berikan kepadamu," kata Marcel dengan bersusah payah. Lidah yang terasa begitu kelu, akhirnya mampu mengeluarkan kalimat itu."Aku tidak membutuhkan tanggung jawabmu atau penjelasan darimu. Aku hanya ingin pulang dan melupakan semuanya."Marcel memutar lehernya menghadapkan wajah ke arah wanita di sampingnya. Dingin. Tanpa ekspresi. Bahkan tatapan matanya terlihat kosong. Wanita itu menyembunyikan luka di hatinya."Maafkan aku. Aku sudah merenggutnya secara paksa darimu." Suara Marcel terdengar parau.Hati Raya kembali terluka mendengar perkataan Marcel. Sekuat tenaga, dia menahan air matanya agar tidak terjatuh, tapi sia-sia."Aku tidak menginginkan tanggung jawab apa-apa darimu. Jadi, kau tidak perlu bersusah payah memikirkannya." Dengan susah payah, Raya mengucapkan kalimat itu."Katakan, apa yang harus aku lakukan sekarang?"tanya Marcel menuntut Raya untuk meminta sesuatu.Namun, perempuan itu justru menggeleng. "Cukup antarkan aku pulang. Aku hanya ingin pulang."Kalimat yang terdengar begitu menyayat hati, membuat tangan Marcel mengepal. Perlahan, Marcel menarik tubuh Raya kedalam pelukannya, mengusap punggungnya dengan lembut, berharap agar perasaan wanita itu bisa sedikit lebih baik.Tetapi, justru Raya semakin terisak pilu. Tangis yang tidak terbendung, walaupun dengan sejuta cara, membuat rasa bersalah di hati Marcel semakin bertambah dalam.Marcel lantas mendekap erat tubuh Raya dalam pelukannya.Memejamkan kedua mata, sebelum mengucapkan sebuah kalimat yang sudah tertahan di kerongkongannya. "Aku akan menikahimu.""Aku akan menikahimu.""Raya menengadah. Mengurai pelukan Marcel di tubuhnya. Duduk menjauh dari laki-laki itu.Tersenyum miris.Menikah?Raya kembali tergugu dalam tangis."Bahkan aku di culik tepat di hari pernikahanku, sebelum sempat mendengar suara ijab qabul dari calon suamiku."Marcel terhenyak. Mematung di tempatnya, seolah ada sebongkah batu besar yang menghimpit dadanya.Apalagi ini? Dia tidak hanya merenggut sesuatu yang begitu berharga milik wanita itu, tapi dia juga telah menghancurkan hari pernikahannya.Maaf?Marcel sudah tidak mampu lagi untuk mengucap kata maaf kepada wanita malang itu. Tapi setidaknya ia punya niat tulus untuk meminta maaf."Aku sudah menghancurkan hidupmu. Bagaimana aku bisa mengantarmu pulang?" tanya Marcel dengan suara bergetar."Kau hanya perlu mengantarku sampai di batas kota. Setelah itu, kau boleh pergi." jawab Raya, lirih.Wanita itu kemudian bangkit, melangkah seperti mayat hidup ke kamar. Membiarkan setiap langkahnya mengusik pikiran Marcel
Chiiit!Peter menginjak pedal rem secara mendadak, nyaris saja ia menabrak seekor anjing yang tiba-tiba saja melintas di depan mobilnya."Shit!"Peter mengumpat kesal."Tuan. Apakah anda baik-baik saja?" tanya Peter dengan nada cemas.Dari balik kaca spion di depannya, Peter dapat melihat jika Marcel semakin terlihat pucat. Pria itu senantiasa memejamkan matanya dengan menyandarkan kepala ke belakangDan Raya yang terbangun karna mendengar Peter mengumpat. Wanita itu kembali dibuat terkejut begitu menyadari jika dirinya sudah berpindah tempat ke dalam mobil dan berbaring di atas pangkuan Marcel.Wanita itu buru-buru bangkit lantas menggeser tubuhnya menjauh dari Marcel."Nona! Anda sudah bangun? Bisakah aku minta tolong kepadamu?" tanya Peter tanpa mengalihkan fokusnya dalam mengemudi.Raya hanya diam tidak berniat untuk menjawab pertanyaan Peter. Gadis itu lebih memilih untuk menikmati pemandangan ke luar jendela."Nona! Aku mohon! Tuan Marcel sedang tidak sehat. Bisakah kau periksa
Suasana kembali berubah hening. Tidak ada jawaban yang terlontar dari mulut Raya, sedangkan Marcel pria itu jadi merasa sangat bersalah atas apa yang telah diucapkannya barusan."Maaf," lirih Marcel.Namun Raya masih tetap diam, asyik dengan pikirannya sendiri."Apa kau tidak lapar?" tanya Marcel melirik ke arah gadis di sampingnya.Raya tidak menjawab. Gadis itu justru mengalihkan pandangan matanya keluar jendela.Marcel tidak kurang akal, mencari cara agar suasana tetap mencair."Berapa lama perjalanan yang harus kita tempuh untuk sampai ke rumahmu?" Marcel kembali bertanya. "Mungkin memakan waktu sekitar tujuh sampai 8 jam," jawab Raya tanpa mengalihkan pandangannya."Tujuh sampai delapan jam?" gumam Marcel sedikit terkejut.Saat ini waktu sudah menunjukkan jam 11 malam, Marcel berpikir mungkin mereka akan bermalam di jalan nanti.Jika tahu begini mungkin Marcel akan memilih menggunakan helikopter pribadinya daripada harus menggunakan mobil, apalagi kondisinya sedang tidak baik-b
Tangis haru menyelimuti keluarga Hutama menyambut kepulangan Raya pagi itu. Tak terkecuali, Hanum. Ibu tiri yang sangat menyayangi Raya selama ini.Wanita paruh baya itu terlihat sangat sedih melihat penampilan Raya yang terlihat pucat dan kurus, meski baru beberapa hari gadis itu menghilang."Kamu kemana, sayang? Mengapa kamu menghilang di hari pernikahan kamu? Apa yang terjadi, Nak? Apa ada yang menyakitimu?"Berbagai pertanyaan terlontar dari mulut bu Hanum. Wanita itu tidak kuasa melihat Raya yang menangis pilu dalam pelukannya."Sudah, Bu. Sebaiknya bawa Raya ke kamarnya dulu untuk membersihkan diri dan beristirahat. Anak kita butuh waktu untuk menenangkan diri," ujar pak Hutama, mengusap bahu dua perempuan yang sangat di sayanginya itu.Bu Hanum mengangguk, sembari mengusap air mata di wajahnya."Ayo, sayang. Kita ke kamar dulu. Ibu akan siapkan makanan dan teh hangat buat kamu."Wanita paruh baya itu kemudian menuntun Raya untuk ke kamarnya. Menyiapkan air hangat di bathtub unt
Raya keluar dari apartemen dengan air mata yang bercucuran. Gadis itu sudah tidak sanggup lagi melihat pergumulan panas antara Rafka dan Jesica, dan suara desahan mereka yang saling bersahutan. Apalagi mendengar pembicaraan mereka yang ternyata sudah bermain api di belakangnya selama ini.Rafka dan Jesica diam-diam telah menjalin hubungan di belakangnya. Bahkan mereka sering melakukan hubungan suami istri tanpa sepengetahuan Raya. Sungguh! Hatinya benar-benar sakit tiada terperi. Ternyata orang yang selama ini sangat dia cintai tega melakukan semua itu kepadanya, termasuk kakaknya sendiri."Mengapa semua ini harus terjadi kepadaku! Mengapa!" Raya berteriak seorang diri di pinggir sebuah danau. Gadis itu mengeluarkan semua keluh kesahnya dengan berteriak seorang diri di tempat yang cukup sepi itu."Apa salah dan dosaku, Tuhan. Mengapa mereka tega melakukan ini di belakangku?" rintih Raya sambil menangis pilu."Masa depanku sudah hancur! Dan kini orang yang sangat aku cintai menghian
Satu bulan kemudianSiang ini, Marcello dan Celina melangsungkan pernikahan. Akad nikah di laksanakan di kediaman Celina, sedang resepsi pernikahan akan di selenggarakan di sebuah hotel bintang lima.Perasaan bahagia terlukis indah di wajah kedua mempelai setelah Marcel selesai mengucapkan ijab qobul.Celina langsung bergelayut manja di lengan Marcel, ketika sanak saudara dan para tamu menghampiri mereka untuk mengucapkan selamat."Aku sangat bahagia sekali, sayang. Setelah sekian lama menunggu akhirnya kau menepati janjimu menikahiku," ucap Celina dengan binar bahagia di matanya.Kini mereka sedang berada di kamar Celina, untuk beristirahat sejenak menunggu malam resepsi tiba.Marcel tersenyum. Mencium kening Celina yang sudah menyandarkan kepala di bahunya."Bagaimana aku tidak akan menikahimu, jika kau adalah wanita yang sangat aku cintai, Celina."Pria itu memeluk pinggang ramping di sampingnya, sedikit menunduk mendaratkan sebuah ciuman lembut di bibir penuh milik istrinya.Begit
"Raya."Wanita itu menengadah, menatap tidak berkedip pria yang berdiri di depannya."Raya," lirih Marcel. Perasaan rindu tiba-tiba saja membuncah di dadanya.Tangis Raya semakin pecah. Terdengar begitu pilu dan menyayat hati. Wanita itu perlahan berdiri, dengan tubuh yang semakin gemetar.Wajah rapuh dan penuh luka itu membuat Marcel ingin segera membawanya ke dalam pelukannya.Pria itu perlahan mendekat dengan tubuh yang juga gemetar, memberanikan diri memangkas jarak di antara mereka."Raya, apa kau baik-baik saja?"Raya menegakkan kepalanya, menatap dalam manik mata pria di depannya. Wanita itu diam seribu bahasa, hanya sorot matanya yang seolah ingin menyampaikan kepedihan hatinya kepada Marcel.Marcel mengulurkan tangannya, mencoba meraih pundak gadis itu, namun Raya segera menepisnya."Biarkan aku mati!"Nada putus asa itu begitu terdengar jelas di telinga Marcel, menghadirkan rasa bersalah yang kembali merajam hatinya."Kau tidak boleh mati, kau harus tetap hidup.""Apa perdu
Tangis pilu itu kembali terdengar nyaring di telinga Marcel. Membuat hati pria itu kembali di rundung rasa sesal.Namun, sesal itu tidak akan cukup mengobati luka dan penderitaan Raya selama ini.Marcel merengkuh tubuh wanita muda itu ke dalam pelukannya. Mengusap punggungnya dengan lembut, membiarkan Raya terus memukul punggungnya hingga merasa lelah sendiri."Kita akan menikah," kata Marcel dengan lembut. Jemarinya bergerak lembut, menyusut air mata pada wajah rapuh di hadapannya.Namun Raya menggeleng lemah."Aku datang bukan untuk meminta tanggung jawabmu. Aku hanya ingin kau tau jika aku ... a-aku ...."Raya berbicara terbata-bata, hingga tidak sanggup untuk melanjutkan ucapannya."Aku tau. Dia tumbuh di sini," kata Marcel. Tangannya bergerak lembut mengusap perut yang masih rata itu.Tanpa di duga, Raya menghambur ke dalam pelukan Marcel. Bahkan wanita itu melingkarkan tanganny di pinggang pria yang kemarin sangat di bencinya itu.Kemarin? Lalu sekarang?"Kau membuat hidupku ha