Share

Bab 7

Begitu tiba di apartemen, Peter langsung membukakan pintu untuk tuannya. Bergegas kemudian membuka pintu kamar Marcel, tidak ingin sang tuan berlama-lama menunggu.

Dengan gerakan lembut Marcel membaringkan tubuh Raya ke atas tempat tidur besar miliknya. Ia pun lalu ikut membaringkan diri di samping wanita itu.

Sungguh melelahkan. Tidak hanya menguras tenaga dan pikiran, bahkan seharian ini waktu Marcel habis terkuras untuk mengurus Raya.

"Apa yang harus aku lakukan sekarang?" gumam Marcel.

Wajah kuyu itu terlihat pucat, selain karena darah yang terus merembes keluar dari lukanya, sejak pagi Marcel bahkan belum menelan sebutir makanan pun, kecuali beberapa suap makanan di rumah Celina saat acara pertunangannya sore tadi.

Merasa ada pergerakan di sampingnya, Marcel langsung memutar lehernya. Pandangan mata mereka bertemu, sesaat. Tidak ingin membuat wanita itu ketakutan dengan kehadirannya, Marcel segera bangkit, lalu berdiri di sisi tempat tidur.

"Maaf, aku harus membawamu pulang ke apartemenku." Berkata dengan pelan, tanpa berani menatap wajah wanita di depannya.

Raya menghela nafas, mengalihkan tatapannya ke sudut ruangan. "Aku tau," ucapnya.

Bahkan sebelum Marcel membawanya berlari di lorong klinik, Raya sudah terbangun lebih dulu. Namun wanita itu memilih diam, tidak sampai hati membuat Marcel semakin panik karena dirinya mengamuk. Ia tau, jika pria itu sedang berusaha menghindari sesuatu.

Marcel mengangkat wajahnya, menatap Raya dengan pikiran yang berkecamuk. Lagi-lagi rasa bersalah itu menghantui perasaanya. Teringat dengan nasehat Helena, Marcel mencoba untuk tetap tenang. "Apa kau membutuhkan sesuatu?" tanya Marcel.

"Aku ingin pulang." Menjawab dengan cepat, tanpa mengalihkan pandangannya. Raya tidak ingin air matanya keluar lagi, begitu melihat wajah Marcel.

"Pulang?" beo Marcel.

Raya mengangguk lemah.

"Iya, kau akan pulang. Aku akan mengantarmu besok." Berkata dengan ragu, tidak yakin dengan ucapannya sendiri. Marcel begitu takut akan terjadi apa-apa dengan wanita itu. "Tapi kau harus sembuh terlebih dulu," imbuhnya.

"Aku tidak apa-apa. Kau tidak perlu cemas memikirkan keadaanku."

Meremas kedua tangannya, meluapkan rasa sakit yang tidak terobati. Memejamkan kedua mata, Raya berusaha mengiklaskan apa yang sudah menimpanya. Melupakannya.

"Maaf," lirih Marcel.

Maaf? Andai satu kata itu bisa mengembalikan segalanya, mungkin tidak akan pernah ada luka sedalam ini di hati Raya.

"Kau sungguh tidak membutuhkan sesuatu?" tanya Marcel.

Menatap Raya yang masih setia memalingkan wajahnya, Marcel berharap jika wanita itu akan membutuhkan sesuatu. Setidaknya, dia punya kesempatan untuk terus berkomunikasi.

"Tidak."

Nyatanya, hanya jawaban itu yang keluar dari mulut Raya.

"Baiklah. Jika kau membutuhkan sesuatu aku ada di luar."

Tidak ada jawaban, anggukan pun tidak. Hanya tatapan sekilas dari Raya, sebelum wanita itu kembali memalingkan wajahnya. Marcel akhirnya keluar dari kamar dengan langkah gontai.

Di meja makan, tertata berbagai jenis makanan. Sebelum pulang ke mansion, Peter terlebih dulu menyiapkan makanan untuk sang tuan dan tamunya, barang kali mereka masih bisa menelan makanan.

Marcel hanya melihat sekilas. Pria itu tidak bernafsu sama sekali. Lalu, ia kembali ke ruang depan untuk berbaring di sofa dengan mata menerawang. Puluhan, mungkin ratusan panggilan di ponselnya ia abaikan.

'Celina?'

Masalah ini begitu menyiksa batinnya.

Suara pintu kamar tiba-tiba dibuka perlahan dari dalam.

Marcel sontak menegakkan tubuhnya dan melihat Raya yang berjalan ke arahnya dengan kotak P3K di tangannya.

Wanita itu duduk di sampingnya. Dengan pandangan datar. Tanpa ekspresi.

"Buka bajumu." Suara yang begitu lirih, namun mampu menggetarkan tubuh Marcel.

Tanpa berkata, bahkan tanpa mengedipkan kedua matanya, Marcel melepas kemeja putih dari tubuhnya.

Raya mengulurkan tangannya, mulai melepas balutan perban di bahu Marcel yang sudah berubah warna semerah darah.

"Aku sudah memaafkanmu. Aku sudah mengikhlaskan semuanya." Berkata dengan lirih, tanpa menghentikan gerakan tangannya melepas perban.

Tubuh Marcel menegang. Hatinya begitu terenyuh mendengar perkataan Raya. Semudah itukah wanita itu memaafkannya?

"Aku tidak tau tanggung jawab seperti apa yang bisa aku berikan kepadamu," kata Marcel dengan bersusah payah. Lidah yang terasa begitu kelu, akhirnya mampu mengeluarkan kalimat itu.

"Aku tidak membutuhkan tanggung jawabmu atau penjelasan darimu. Aku hanya ingin pulang dan melupakan semuanya."

Marcel memutar lehernya menghadapkan wajah ke arah wanita di sampingnya. Dingin. Tanpa ekspresi. Bahkan tatapan matanya terlihat kosong. Wanita itu menyembunyikan luka di hatinya.

"Maafkan aku. Aku sudah merenggutnya secara paksa darimu." Suara Marcel terdengar parau.

Hati Raya kembali terluka mendengar perkataan Marcel. Sekuat tenaga, dia menahan air matanya agar tidak terjatuh, tapi sia-sia.

"Aku tidak menginginkan tanggung jawab apa-apa darimu. Jadi, kau tidak perlu bersusah payah memikirkannya." Dengan susah payah, Raya mengucapkan kalimat itu.

"Katakan, apa yang harus aku lakukan sekarang?"tanya Marcel menuntut Raya untuk meminta sesuatu.

Namun, perempuan itu justru menggeleng. "Cukup antarkan aku pulang. Aku hanya ingin pulang."

Kalimat yang terdengar begitu menyayat hati, membuat tangan Marcel mengepal. Perlahan, Marcel menarik tubuh Raya kedalam pelukannya, mengusap punggungnya dengan lembut, berharap agar perasaan wanita itu bisa sedikit lebih baik.

Tetapi, justru Raya semakin terisak pilu. Tangis yang tidak terbendung, walaupun dengan sejuta cara, membuat rasa bersalah di hati Marcel semakin bertambah dalam.

Marcel lantas mendekap erat tubuh Raya dalam pelukannya.

Memejamkan kedua mata, sebelum mengucapkan sebuah kalimat yang sudah tertahan di kerongkongannya. "Aku akan menikahimu."

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status