Share

Bab 5

Marcel memeluk erat tubuh Raya dari belakang. Terlambat sedikit saja sudah dapat dipastikan jika Marcell akan melihat mayat wanita itu saat ini.

"Tolong jangan berpikir untuk mengakhiri hidup. Aku bersalah padamu. Kalau kau mengakhiri hidup, maka aku adalah orang yang paling bersalah," ucap Marcel dengan suara bergetar, penuh penyesalan.

Raya sontak menangis. Tubuhnya bergetar di dalam pelukan Marcel.

Rasa bersalah pria itu semakin terasa, mendengar tangis pilu yang nyaring di telinganya.

"Maafkan aku. Aku bersalah padamu." Bergetar suara Marcel kembali meminta maaf meski pria itu tahu bahwa berjuta kata maaf pun tidak akan mampu mengobati luka yang begitu perih dan amat membekas di hati wanita itu.

Benar saja, rangis pilu itu kembali terdengar, menumpuk rasa bersalah dan penyesalan di hati Marcel.

Perlahan Marcel mengurai pelukannya, memutar tubuh saling berhadapan.

Terenyuh hatinya menatap wajah rapuh wanita itu. Mengabaikan tatapan membunuh yang sarat akan kebencian dari wanita di hadapannya.

Dengan lembut, Marcel mengusap air mata yang tidak pernah kering pada wajah wanita itu, yang tengah menahan sesak di dada. Tangan itu pun bergerak menyisir helai rambut yang menutupi wajahnya.

"Aku bersalah padamu. Tolong beri aku kesempatan untuk menjelaskan semuanya," lirih Marcel, meminta dengan penuh pengharapan.

"Kau keparat!" Menjerit histeris, memukul tubuh Marcel membabi buta dengan kedua tangannya. Wanita itu melampiaskan rasa kecewa dan sakit hatinya.

Marcel hanya diam tidak berniat menghindar. Menerima dengan ikhlas setiap pukulan, tamparan dan cakaran di tubuhnya dari wanita itu.

Lelah dengan sendirinya, wanita itu menjatuhkan tubuhnya di lantai.

"Aku memang bajingan dan pantas dihukum." Duduk bersimpuh di hadapan wanita itu, Marcel memberanikan diri melihat wajah pucat dan putus asa yang kembali terisak pilu, "jadi kau harus hidup bila ingin menghukumku."

Raya lantas menatap Marcel dengan kilat amarah di matanya. Terlihat kebencian yang amat sangat di wajah wanita itu. "Kau lebih pantas untuk mati!" teriaknya.

"Jadi, kau ingin membunuhku?"

Wanita itu tidak bergeming, seakan menulikan pendengarannya.

"Jika dengan membunuhku, bisa mengobati luka dan penderitaanmu, lakukanlah." Marcel meraih tangan wanita itu, membantunya memegang sebuah pistol yang mengarah tepat ke dadanya.

Kedua mata wanita itu terbelalak lebar.

Tangannya gemetar. Tidak percaya melihat benda yang ada di tangannya.

"Bunuhlah aku," kata Marcel, seolah sudah menyerahkan hidupnya pada wanita itu.

Raya pun bangkit dengan pistol di tangannya yang masih mengarah ke tubuh Marcel. Ia lalu mundur beberapa langkah.

"Kau pikir jika aku membunuhmu, semua akan kembali seperti semula? Masa depanku yang telah kau renggut paksa akan kembali lagi?!" teriak Raya marah.

Namun, tangan yang gemetar itu justru tidak sengaja menarik pelatuk pada pistol.

Dor!

Tubuh Marcel tersentak ke samping, begitu sebuah peluru menyasar bahu kirinya, sedangkan Raya langsung memalingkan wajahnya

dengan mata terpejam.

Tubuhnya semakin gemetar. Tidak berani melihat pemandangan di depannya.

"Tembakanmu meleset." Suara Marcel terdengar kecewa.

Wanita itu membuka matanya, perlahan memutar kepalanya lurus ke depan.

"A-apa yang sudah aku lakukan?" Raya berkata dengan bibir gemetar. Wanita itu segera menjatuhkan pistol di tangannya sambil menutup mulut dan menggelengkan kepalanya, tak percaya.

"Marcel! Apa yang terjadi?!"

Dokter Helena yang baru tiba, langsung berteriak panik melihat bahu kiri Marcel yang sudah bersimbah darah.

"Aku tidak apa-apa," jawab Marcel santai. Pria itu perlahan bangkit tanpa ada ekspresi sakit sama sekali di wajahnya. Padahal luka itu telah menyebabkan tubuhnya kehilangan banyak darah.

"Tuan, Anda terluka!" Kini, Peter yang baru muncul tidak kalah terkejut melihat keadaan tuannya.

Namun, Marcel mengangkat tangannya ke udara. Ia tidak ingin siapapun mencemaskan keadaanya.

Pria itu justru kembali melangkah perlahan mendekati wanita yang terlihat syok di depannya.

"Kemarilah," kata Marcel, berusaha meraih tangan wanita itu.

Bruk!

Sayangnya, tubuh pria itu ambruk ke bawah, sebelum dapat meraih tangan wanita di depannya.

"Marcel!"

"Tuan!"

*******

Marcel terbangun. Dia terkejut menemukan lukanya sudah terbalut.

"Jangan banyak bergerak, jika tidak ingin lukamu kembali mengeluarkan darah," ucap Dokter Helena.

Marcel mengangguk. Dia mencari keberadaan Raya dan menemukan gadis itu berada di ranjang yang tak jauh darinya. Perlahan, Marcel pun bangkit dan menghampiri wanita itu.

"Maaf, aku harus pergi sekarang. Ada hal penting yang harus aku selesaikan," ucap Marcel dengan hati-hati. Dia teringat ada acara pertunangan yang harus dihadirinya.

Raya hanya melihat sekilas ke arahnya, lalu kembali asyik menatap keluar jendela.

"Aku akan segera kembali," kata Marcel.

"Pergilah," sahut wanita itu, tanpa mengalihkan pandangannya.

Dengan langkah berat, Marcel meninggalkan ruangan itu.

Ia menatap sesaat wanita di atas ranjang, sebelum menutup pintu.

Begitu tiba di mobil, Peter segera melaju dengan kecepatan tinggi meninggalkan halaman klinik. Mereka pun langsung menuju kediaman Celina, calon tunangan Marcel.

"Mengapa kau terlambat, Nak?"

Tuan Adam pun menyambut kedatangan Marcel dengan sebuah pertanyaan. Namun, raut bahagia tetap terpancar di wajah pria paruh baya itu.

"Ada sedikit masalah Ayah, maaf," jawab Marcel mencoba untuk tersenyum.

Tuan Adam mendekat, menepuk pelan bahu kiri Marcel. "Tidak masalah, Nak. Ayah bisa memakluminya."

Marcel tersenyum samar, menahan rasa sakit di bahunya.

"Terima kasih, Ayah," ucapnya.

Beriringan, mereka pun masuk ke dalam rumah. Dari jauh, seorang wanita cantik menyambut kedatangan Marcel dengan senyum indah di wajahnya.

Marcel tersenyum dan menatap wanita cantik yang selama ini sangat dicintainya, Celina.

Namun tiba-tiba saja, bayangan wajah wanita lain melintas di benaknya, memudarkan sedikit senyum di wajahnya.

"Kau terlambat dan membuatku sangat cemas," kata Celina, dengan nada khawatir.

"Maaf, Sayang. Aku ada sedikit masalah tadi," kilah Marcel. Diraihnya tangan wanita itu lalu menggenggamnya dengan erat menuju ruang utama, tempat acara di selenggarakan.

*******

Dipandu seorang MC terkenal, acara pun segera di mulai. Dan itulah yang di harapkan Marcel sejak kedatangannya tadi.

Jauh di lubuk hatinya, Marcel merasa bersalah kepada Celina. Namun, ia juga tidak bisa mengabaikan wanita itu begitu saja.

Keadaan seperti ini membuat Marcel seperti tertawan di antara dua wanita.

Sesi bertukar cincin tunangan pun selesai. Kini mereka berlanjut dengan acara jamuan makan.

Berdua dengan Celina, Marcel menikmati hidangan di atas meja.

Susah payah, Marcel mencoba menelan makanan yang masuk ke dalam mulutnya. Pesan dari Dokter Helena benar-benar menyita perhatiannya.

"Apa ada sesuatu yang mengganggu pikiranmu, sayang?" tanya Celina, menatap dalam ke arah Marcel.

Tidak ingin membuat tunangannya curiga, Marcel langsung tersenyum. Ia meraih tangan Celina menggenggamnya dengan erat.

"Aku terlalu bahagia dengan pertunangan ini," jawabnya kemudian.

Celina turut tersenyum. Perasaan bahagia terpancar di wajahnya.

"Apakah malam ini, kau akan mengi—"

"Sayang, aku angkat telfon dulu, ini sangat penting. Aku akan segera kembali," potong Marcel dengan cepat, lalu bergegas keluar.

"Apa? Aku akan datang sekarang!"

Sayup-sayup Celina masih bisa mendengar apa yang di ucapkan Marcel.

Wanita itu memandangi kepergian Marcel dengan hati gundah. Dia pikir, Marcel akan kembali dan menemui dirinya. Namun, Marcel ternyata tidak menemuinya lagi setelah itu.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status