Marcel memeluk erat tubuh Raya dari belakang. Terlambat sedikit saja sudah dapat dipastikan jika Marcell akan melihat mayat wanita itu saat ini.
"Tolong jangan berpikir untuk mengakhiri hidup. Aku bersalah padamu. Kalau kau mengakhiri hidup, maka aku adalah orang yang paling bersalah," ucap Marcel dengan suara bergetar, penuh penyesalan.Raya sontak menangis. Tubuhnya bergetar di dalam pelukan Marcel.Rasa bersalah pria itu semakin terasa, mendengar tangis pilu yang nyaring di telinganya."Maafkan aku. Aku bersalah padamu." Bergetar suara Marcel kembali meminta maaf meski pria itu tahu bahwa berjuta kata maaf pun tidak akan mampu mengobati luka yang begitu perih dan amat membekas di hati wanita itu.Benar saja, rangis pilu itu kembali terdengar, menumpuk rasa bersalah dan penyesalan di hati Marcel.Perlahan Marcel mengurai pelukannya, memutar tubuh saling berhadapan.Terenyuh hatinya menatap wajah rapuh wanita itu. Mengabaikan tatapan membunuh yang sarat akan kebencian dari wanita di hadapannya.Dengan lembut, Marcel mengusap air mata yang tidak pernah kering pada wajah wanita itu, yang tengah menahan sesak di dada. Tangan itu pun bergerak menyisir helai rambut yang menutupi wajahnya."Aku bersalah padamu. Tolong beri aku kesempatan untuk menjelaskan semuanya," lirih Marcel, meminta dengan penuh pengharapan."Kau keparat!" Menjerit histeris, memukul tubuh Marcel membabi buta dengan kedua tangannya. Wanita itu melampiaskan rasa kecewa dan sakit hatinya.Marcel hanya diam tidak berniat menghindar. Menerima dengan ikhlas setiap pukulan, tamparan dan cakaran di tubuhnya dari wanita itu.Lelah dengan sendirinya, wanita itu menjatuhkan tubuhnya di lantai."Aku memang bajingan dan pantas dihukum." Duduk bersimpuh di hadapan wanita itu, Marcel memberanikan diri melihat wajah pucat dan putus asa yang kembali terisak pilu, "jadi kau harus hidup bila ingin menghukumku."Raya lantas menatap Marcel dengan kilat amarah di matanya. Terlihat kebencian yang amat sangat di wajah wanita itu. "Kau lebih pantas untuk mati!" teriaknya."Jadi, kau ingin membunuhku?"Wanita itu tidak bergeming, seakan menulikan pendengarannya."Jika dengan membunuhku, bisa mengobati luka dan penderitaanmu, lakukanlah." Marcel meraih tangan wanita itu, membantunya memegang sebuah pistol yang mengarah tepat ke dadanya.Kedua mata wanita itu terbelalak lebar.Tangannya gemetar. Tidak percaya melihat benda yang ada di tangannya.
"Bunuhlah aku," kata Marcel, seolah sudah menyerahkan hidupnya pada wanita itu.Raya pun bangkit dengan pistol di tangannya yang masih mengarah ke tubuh Marcel. Ia lalu mundur beberapa langkah."Kau pikir jika aku membunuhmu, semua akan kembali seperti semula? Masa depanku yang telah kau renggut paksa akan kembali lagi?!" teriak Raya marah.Namun, tangan yang gemetar itu justru tidak sengaja menarik pelatuk pada pistol.Dor!Tubuh Marcel tersentak ke samping, begitu sebuah peluru menyasar bahu kirinya, sedangkan Raya langsung memalingkan wajahnyadengan mata terpejam.Tubuhnya semakin gemetar. Tidak berani melihat pemandangan di depannya."Tembakanmu meleset." Suara Marcel terdengar kecewa.Wanita itu membuka matanya, perlahan memutar kepalanya lurus ke depan."A-apa yang sudah aku lakukan?" Raya berkata dengan bibir gemetar. Wanita itu segera menjatuhkan pistol di tangannya sambil menutup mulut dan menggelengkan kepalanya, tak percaya."Marcel! Apa yang terjadi?!"Dokter Helena yang baru tiba, langsung berteriak panik melihat bahu kiri Marcel yang sudah bersimbah darah."Aku tidak apa-apa," jawab Marcel santai. Pria itu perlahan bangkit tanpa ada ekspresi sakit sama sekali di wajahnya. Padahal luka itu telah menyebabkan tubuhnya kehilangan banyak darah."Tuan, Anda terluka!" Kini, Peter yang baru muncul tidak kalah terkejut melihat keadaan tuannya.Namun, Marcel mengangkat tangannya ke udara. Ia tidak ingin siapapun mencemaskan keadaanya.Pria itu justru kembali melangkah perlahan mendekati wanita yang terlihat syok di depannya."Kemarilah," kata Marcel, berusaha meraih tangan wanita itu.
Bruk!Sayangnya, tubuh pria itu ambruk ke bawah, sebelum dapat meraih tangan wanita di depannya."Marcel!""Tuan!"*******
Marcel terbangun. Dia terkejut menemukan lukanya sudah terbalut.
"Jangan banyak bergerak, jika tidak ingin lukamu kembali mengeluarkan darah," ucap Dokter Helena.Marcel mengangguk. Dia mencari keberadaan Raya dan menemukan gadis itu berada di ranjang yang tak jauh darinya. Perlahan, Marcel pun bangkit dan menghampiri wanita itu.
"Maaf, aku harus pergi sekarang. Ada hal penting yang harus aku selesaikan," ucap Marcel dengan hati-hati. Dia teringat ada acara pertunangan yang harus dihadirinya.
Raya hanya melihat sekilas ke arahnya, lalu kembali asyik menatap keluar jendela.
"Aku akan segera kembali," kata Marcel.
"Pergilah," sahut wanita itu, tanpa mengalihkan pandangannya.
Dengan langkah berat, Marcel meninggalkan ruangan itu.Ia menatap sesaat wanita di atas ranjang, sebelum menutup pintu.
Begitu tiba di mobil, Peter segera melaju dengan kecepatan tinggi meninggalkan halaman klinik. Mereka pun langsung menuju kediaman Celina, calon tunangan Marcel.
"Mengapa kau terlambat, Nak?"
Tuan Adam pun menyambut kedatangan Marcel dengan sebuah pertanyaan. Namun, raut bahagia tetap terpancar di wajah pria paruh baya itu."Ada sedikit masalah Ayah, maaf," jawab Marcel mencoba untuk tersenyum.Tuan Adam mendekat, menepuk pelan bahu kiri Marcel. "Tidak masalah, Nak. Ayah bisa memakluminya."Marcel tersenyum samar, menahan rasa sakit di bahunya."Terima kasih, Ayah," ucapnya.
Beriringan, mereka pun masuk ke dalam rumah. Dari jauh, seorang wanita cantik menyambut kedatangan Marcel dengan senyum indah di wajahnya.Marcel tersenyum dan menatap wanita cantik yang selama ini sangat dicintainya, Celina.Namun tiba-tiba saja, bayangan wajah wanita lain melintas di benaknya, memudarkan sedikit senyum di wajahnya."Kau terlambat dan membuatku sangat cemas," kata Celina, dengan nada khawatir."Maaf, Sayang. Aku ada sedikit masalah tadi," kilah Marcel. Diraihnya tangan wanita itu lalu menggenggamnya dengan erat menuju ruang utama, tempat acara di selenggarakan.*******
Dipandu seorang MC terkenal, acara pun segera di mulai. Dan itulah yang di harapkan Marcel sejak kedatangannya tadi.Jauh di lubuk hatinya, Marcel merasa bersalah kepada Celina. Namun, ia juga tidak bisa mengabaikan wanita itu begitu saja.
Keadaan seperti ini membuat Marcel seperti tertawan di antara dua wanita.Sesi bertukar cincin tunangan pun selesai. Kini mereka berlanjut dengan acara jamuan makan.Berdua dengan Celina, Marcel menikmati hidangan di atas meja.Susah payah, Marcel mencoba menelan makanan yang masuk ke dalam mulutnya. Pesan dari Dokter Helena benar-benar menyita perhatiannya."Apa ada sesuatu yang mengganggu pikiranmu, sayang?" tanya Celina, menatap dalam ke arah Marcel.Tidak ingin membuat tunangannya curiga, Marcel langsung tersenyum. Ia meraih tangan Celina menggenggamnya dengan erat."Aku terlalu bahagia dengan pertunangan ini," jawabnya kemudian.Celina turut tersenyum. Perasaan bahagia terpancar di wajahnya."Apakah malam ini, kau akan mengi—""Sayang, aku angkat telfon dulu, ini sangat penting. Aku akan segera kembali," potong Marcel dengan cepat, lalu bergegas keluar."Apa? Aku akan datang sekarang!"Sayup-sayup Celina masih bisa mendengar apa yang di ucapkan Marcel.Wanita itu memandangi kepergian Marcel dengan hati gundah. Dia pikir, Marcel akan kembali dan menemui dirinya. Namun, Marcel ternyata tidak menemuinya lagi setelah itu."Tuan, luka Anda mengeluarkan darah."Marcel kembali mengenakan jas hitam yang baru saja dilepasnya, begitu mendengar perkataan Peter."Jangan perdulikan aku. Bergegaslah!" titah Marcel. Ia tidak ingin keadaanya membuat sang asisten terganggu konsentrasinya. "Bantu aku menyiapkan alasan yang tepat untuk Celina nanti.""Baik, Tuan ... Anda tidak perlu kuatir," sahut Peter.Kembali, asisten itu melajukan mobilnya dengan kecepatan tinggi. Hingga tidak lama kemudian, mereka sudah tiba kembali di depan klinik Dokter Helena."Dia terus saja mengamuk minta pulang, aku terpaksa memberinya obat penenang lagi," terang Dokter Helena, begitu melihat Marcel muncul dari balik pintu."Kau sudah melakukan yang terbaik," ucap Marcel. Langkahnya terhenti di sisi ranjang, menatap iba wanita yang sedang terlelap. Wajah pucat dengan mata sembab, sisa air mata bahkan membekas di wajahnya."Sebaiknya, kau membawanya ke Psikiater. Aku kuatir kondisi kejiwaannya semakin buruk." Dokter Helena mencoba memberi
Begitu tiba di apartemen, Peter langsung membukakan pintu untuk tuannya. Bergegas kemudian membuka pintu kamar Marcel, tidak ingin sang tuan berlama-lama menunggu.Dengan gerakan lembut Marcel membaringkan tubuh Raya ke atas tempat tidur besar miliknya. Ia pun lalu ikut membaringkan diri di samping wanita itu.Sungguh melelahkan. Tidak hanya menguras tenaga dan pikiran, bahkan seharian ini waktu Marcel habis terkuras untuk mengurus Raya."Apa yang harus aku lakukan sekarang?" gumam Marcel.Wajah kuyu itu terlihat pucat, selain karena darah yang terus merembes keluar dari lukanya, sejak pagi Marcel bahkan belum menelan sebutir makanan pun, kecuali beberapa suap makanan di rumah Celina saat acara pertunangannya sore tadi.Merasa ada pergerakan di sampingnya, Marcel langsung memutar lehernya. Pandangan mata mereka bertemu, sesaat. Tidak ingin membuat wanita itu ketakutan dengan kehadirannya, Marcel segera bangkit, lalu berdiri di sisi tempat tidur."Maaf, aku harus membawamu pulang ke ap
"Aku akan menikahimu.""Raya menengadah. Mengurai pelukan Marcel di tubuhnya. Duduk menjauh dari laki-laki itu.Tersenyum miris.Menikah?Raya kembali tergugu dalam tangis."Bahkan aku di culik tepat di hari pernikahanku, sebelum sempat mendengar suara ijab qabul dari calon suamiku."Marcel terhenyak. Mematung di tempatnya, seolah ada sebongkah batu besar yang menghimpit dadanya.Apalagi ini? Dia tidak hanya merenggut sesuatu yang begitu berharga milik wanita itu, tapi dia juga telah menghancurkan hari pernikahannya.Maaf?Marcel sudah tidak mampu lagi untuk mengucap kata maaf kepada wanita malang itu. Tapi setidaknya ia punya niat tulus untuk meminta maaf."Aku sudah menghancurkan hidupmu. Bagaimana aku bisa mengantarmu pulang?" tanya Marcel dengan suara bergetar."Kau hanya perlu mengantarku sampai di batas kota. Setelah itu, kau boleh pergi." jawab Raya, lirih.Wanita itu kemudian bangkit, melangkah seperti mayat hidup ke kamar. Membiarkan setiap langkahnya mengusik pikiran Marcel
Chiiit!Peter menginjak pedal rem secara mendadak, nyaris saja ia menabrak seekor anjing yang tiba-tiba saja melintas di depan mobilnya."Shit!"Peter mengumpat kesal."Tuan. Apakah anda baik-baik saja?" tanya Peter dengan nada cemas.Dari balik kaca spion di depannya, Peter dapat melihat jika Marcel semakin terlihat pucat. Pria itu senantiasa memejamkan matanya dengan menyandarkan kepala ke belakangDan Raya yang terbangun karna mendengar Peter mengumpat. Wanita itu kembali dibuat terkejut begitu menyadari jika dirinya sudah berpindah tempat ke dalam mobil dan berbaring di atas pangkuan Marcel.Wanita itu buru-buru bangkit lantas menggeser tubuhnya menjauh dari Marcel."Nona! Anda sudah bangun? Bisakah aku minta tolong kepadamu?" tanya Peter tanpa mengalihkan fokusnya dalam mengemudi.Raya hanya diam tidak berniat untuk menjawab pertanyaan Peter. Gadis itu lebih memilih untuk menikmati pemandangan ke luar jendela."Nona! Aku mohon! Tuan Marcel sedang tidak sehat. Bisakah kau periksa
Suasana kembali berubah hening. Tidak ada jawaban yang terlontar dari mulut Raya, sedangkan Marcel pria itu jadi merasa sangat bersalah atas apa yang telah diucapkannya barusan."Maaf," lirih Marcel.Namun Raya masih tetap diam, asyik dengan pikirannya sendiri."Apa kau tidak lapar?" tanya Marcel melirik ke arah gadis di sampingnya.Raya tidak menjawab. Gadis itu justru mengalihkan pandangan matanya keluar jendela.Marcel tidak kurang akal, mencari cara agar suasana tetap mencair."Berapa lama perjalanan yang harus kita tempuh untuk sampai ke rumahmu?" Marcel kembali bertanya. "Mungkin memakan waktu sekitar tujuh sampai 8 jam," jawab Raya tanpa mengalihkan pandangannya."Tujuh sampai delapan jam?" gumam Marcel sedikit terkejut.Saat ini waktu sudah menunjukkan jam 11 malam, Marcel berpikir mungkin mereka akan bermalam di jalan nanti.Jika tahu begini mungkin Marcel akan memilih menggunakan helikopter pribadinya daripada harus menggunakan mobil, apalagi kondisinya sedang tidak baik-b
Tangis haru menyelimuti keluarga Hutama menyambut kepulangan Raya pagi itu. Tak terkecuali, Hanum. Ibu tiri yang sangat menyayangi Raya selama ini.Wanita paruh baya itu terlihat sangat sedih melihat penampilan Raya yang terlihat pucat dan kurus, meski baru beberapa hari gadis itu menghilang."Kamu kemana, sayang? Mengapa kamu menghilang di hari pernikahan kamu? Apa yang terjadi, Nak? Apa ada yang menyakitimu?"Berbagai pertanyaan terlontar dari mulut bu Hanum. Wanita itu tidak kuasa melihat Raya yang menangis pilu dalam pelukannya."Sudah, Bu. Sebaiknya bawa Raya ke kamarnya dulu untuk membersihkan diri dan beristirahat. Anak kita butuh waktu untuk menenangkan diri," ujar pak Hutama, mengusap bahu dua perempuan yang sangat di sayanginya itu.Bu Hanum mengangguk, sembari mengusap air mata di wajahnya."Ayo, sayang. Kita ke kamar dulu. Ibu akan siapkan makanan dan teh hangat buat kamu."Wanita paruh baya itu kemudian menuntun Raya untuk ke kamarnya. Menyiapkan air hangat di bathtub unt
Raya keluar dari apartemen dengan air mata yang bercucuran. Gadis itu sudah tidak sanggup lagi melihat pergumulan panas antara Rafka dan Jesica, dan suara desahan mereka yang saling bersahutan. Apalagi mendengar pembicaraan mereka yang ternyata sudah bermain api di belakangnya selama ini.Rafka dan Jesica diam-diam telah menjalin hubungan di belakangnya. Bahkan mereka sering melakukan hubungan suami istri tanpa sepengetahuan Raya. Sungguh! Hatinya benar-benar sakit tiada terperi. Ternyata orang yang selama ini sangat dia cintai tega melakukan semua itu kepadanya, termasuk kakaknya sendiri."Mengapa semua ini harus terjadi kepadaku! Mengapa!" Raya berteriak seorang diri di pinggir sebuah danau. Gadis itu mengeluarkan semua keluh kesahnya dengan berteriak seorang diri di tempat yang cukup sepi itu."Apa salah dan dosaku, Tuhan. Mengapa mereka tega melakukan ini di belakangku?" rintih Raya sambil menangis pilu."Masa depanku sudah hancur! Dan kini orang yang sangat aku cintai menghian
Satu bulan kemudianSiang ini, Marcello dan Celina melangsungkan pernikahan. Akad nikah di laksanakan di kediaman Celina, sedang resepsi pernikahan akan di selenggarakan di sebuah hotel bintang lima.Perasaan bahagia terlukis indah di wajah kedua mempelai setelah Marcel selesai mengucapkan ijab qobul.Celina langsung bergelayut manja di lengan Marcel, ketika sanak saudara dan para tamu menghampiri mereka untuk mengucapkan selamat."Aku sangat bahagia sekali, sayang. Setelah sekian lama menunggu akhirnya kau menepati janjimu menikahiku," ucap Celina dengan binar bahagia di matanya.Kini mereka sedang berada di kamar Celina, untuk beristirahat sejenak menunggu malam resepsi tiba.Marcel tersenyum. Mencium kening Celina yang sudah menyandarkan kepala di bahunya."Bagaimana aku tidak akan menikahimu, jika kau adalah wanita yang sangat aku cintai, Celina."Pria itu memeluk pinggang ramping di sampingnya, sedikit menunduk mendaratkan sebuah ciuman lembut di bibir penuh milik istrinya.Begit