Raya mengerjapkan kedua matanya berulang kali. Rasa sakit di sekujur tubuhnya membuat wanita muda itu meringis menahan sakit.
Memegangi kepalanya yang terasa pusing, wanita itu berusaha untuk bangkit. Dengan wajah pucat dan rambut acak-acakkan."Auwh ... sa-sakit sekali." Raya semakin meringis kesakitan, begitu merasakan nyeri di bagian inti tubuhnya.Dalam sekejap mata, ingatan wanita itu kembali terlempar pada kejadian beberapa jam yang lalu."Itu pasti hanya mimpi! hanya mimpi!"Dengan tangan gemetar, Raya mencoba memeriksa keadaan tubuhnya di bawah selimut.Mata gadis itu terbelalak lebar, tubuhnya bergetar hebat. Keringat dingin langsung membasahi tubuh, manakala mendapati dirinya tidak mengenakan selembar benang pun. Tubuh polosnya hanya di tutupi selimut."Ti-tidak! Itu tidak mungkin!" Raya meracau tidak karuan. Berusaha menampik ingatan kelam yang membayang di matanya, namun sayang semua itu terpampang nyata di depannya.Raya lantas menarik selimut untuk menutupi seluruh tubuhnya. Namun wanita itu justru berteriak histeris, begitu melihat sosok pria yang tertidur di sampingnya tanpa mengenakan busana."Arrgh!"Teriakan yang begitu keras, memaksa Marcel untuk bangun karena saking terkejut.
Pria itu memijit kepalanya yang terasa pening, masih dengan mata terpejam, belum sepenuhnya menyadari dengan apa yang terjadi.Samar-samar terdengar suara isak tangis.Marcel perlahan membuka kedua matanya. Tidak kalah terkejut ketika mendapati dirinya tidak mengenakan selembar benang pun."Bajingan! Manusia biadab! Manusia iblis!"Umpatan kemarahan yang terdengar begitu dekat di telinganya, membuat Marcel reflek menoleh. Kini dirinya yang ganti mengumpat, begitu tatapan matanya bertemu dengan Raya, yang menatapnya dengan penuh kebencian dan kemarahan.Di sudut ruangan, wanita itu meringkuk ketakutan seraya memeluk kedua lututnya. Tubuh gemetar dengan air mata yang terus mengalir.Marcel lantas bergegas turun dari atas tempat tidur. Pria itu memungut pakaiannya yang tercecer di lantai, kemudian memakainya dengan cepat.Ekor matanya melirik ke atas tempat tidur. Ceceran darah di atas sprei memaksanya mengingat dengan cepat peristiwa yang telah terjadi antara dirinya dan gadis asing itu."Shit! Apa yang sudah aku lakukan?!" Marcel kembali mengumpat. Pria itu memejamkan matanya sambil menengadah--menyesali semua perbuatannya kepada gadis itu. Namun, pria itu juga bingung mengapa dirinya sampai tak bisa mengendalikan diri?Membuang nafas dengan kasar, Marcel tidak tau apa yang harus di lakukannya pada gadis yang menangis ketakutan di sudut kamar.Hanya saja, pria itu semakin dirundung rasa bersalah.Marcel pun memberanikan diri untuk menghampiri perempuan yang sedang terluka.Namun, Raya langsung bangkit. Perempuan itu meremas selimut yang membungkus tubuhnya dengan sangat kuat. "Jangan mendekat! Jangan mendekat bajingan!"Tubuh ringkih itu terlihat gemetar."Hei, tenanglah. Aku tidak akan menyakitimu. Kau bisa mempercayai ucapanku, jangan takut," bujuk Marcel dengan pelan.
Namun, Raya tetap diam. Bagaimana perempuan itu dapat mempercayai ucapannya? Sedang dirinya lah yang membuat hidup wanita itu hancur!"Iblis! Pergi dari hadapanku! Pergi!" teriak Raya semakin histeris.Pria yang terkenal kejam dan dingin itu mematung. Untuk pertama kali dalam hidupnya, seorang perempuan dapat membuatnya merasa bersalah begitu hebat. Dia pun tak tahu apa yang harus dilakukan.
Marcel mengerang frustasi. Otaknya tiba-tiba saja buntu--tidak menemukan cara untuk menenangkan gadis itu. Apakah dia harus memaksanya?
Namun, alih-alih memaksa gadis itu, Marcel justru akhirnya mengucap maaf. "A-aku minta ma-maaf."
Hanya saja, suara pria itu seperti tercekik di tenggorokan. Raya pun terdiam, sebelum akhirnya membanting piring makanan di atas meja yang tak jauh dari tempatnya berdiri.
Prang!"Aku tidak akan memaafkanmu bajingan! Aku tidak akan pernah memaafkanmu!"
Wanita itu bahkan nekad mengambil pecahan piring tersebut, lalu mengarahkannya kepada Marcel yang terus merangsek maju ke arahnya."Jangan coba-coba untuk mendekat! Atau aku akan membunuhmu!" jerit Raya dengan penuh amarah."Tenanglah. Aku tidak akan menyakitimu. Aku hanya tidak ingin kau semakin terluka, kita bisa membicarakan masalah ini baik-baik. Aku janji, aku akan mengabulkan apa pun yang kau minta." Marcel kembali membujuk dengan segenap daya dan upaya untuk menenangkan gadis itu."Aku ingin kau mati! Apa kau bisa mengabulkannya, bajingan?!"Raya menatap nyalang ke arah Marcel. Seperti ingin mencabik-cabik, tubuh pria yang telah menorehkan luka di hatinya.Namun, dengan mudah Marcel mengindari setiap serangannya. "Hentikan! Kau akan melukai tanganmu sendiri!" Pria itu justru khawatir jika wanita yang sedang mengamuk itu malah akan melukai tangannya sendiri."Apa pedulimu?"Emosi Raya semakin menjadi-jadi. Namun, dalam satu kesempatan Marcel berhasil menangkap tangannya, serta dengan cepat membuang pecahan piring di tangan wanita itu.Dengan satu gerakan, Marcel bahkan membawa tubuh Raya ke dalam pelukannya."Ssstt, tenanglah. Aku tidak akan menyakitimu. Aku tidak akan menyakitimu," lirih Marcel. Tangannya bergerak mengusap-usap punggung Raya dengan lembut."Lepas bajingan! Lepas!"Raya terus memberontak, memukul dada Marcel sekuat tenaga, berulang kali. Bahkan gadis itu nekat menggigit bahu pria itu dengan sangat kuat.Namun, Marcel masih berdiri kokoh. Tidak bergeser dari tempatnya sama sekali.Justru, pria itu semakin erat memeluk tubuh Raya. Membelai kepala wanita itu dengan lembut. Tidak henti mengusap punggung wanita itu. Entah apa yang terjadi pada dirinya, Marcel pun tak tahu. Yang jelas, saat ini pria itu ingin sekali menenangkan Raya."Hidupku sudah hancur. Masa depanku sudah hilang. Mengapa kau tidak membunuhku sekalian?"Marcel juga sadar keadaan Raya yang tak berpakaian "layak. Dengan tangan gemetar dan keringat dingin, pria itu pun perlahan membuka selimut yang membungkus tubuh gadis itu.Meski tidak ingin melihat, tapi kedua matanya terbelalak lebar saat mendapati banyak bercak merah dan bekas gigitan di sekujur tubuh bagian atas milik wanita itu."Kamu memang bajingan Marcel! Kamu iblis!" desis Marcel memejamkan mata dan mengepalkan kedua tangannya dengan kuat. Ia tidak dapat membayangkan betapa gadis di depannya itu sangat ketakutan saat itu. Selesai memakaikan baju, Marcel bergegas membopong tubuh Raya keluar dari kamar. Dia tidak ingin membuatnya sampai terlambat membawa gadis itu ke rumah sakit."Peter!"Setengah berlari menuruni tangga, Marcel berteriak memanggil nama sang asisten.Seorang pria muda langsung datang dengan tergopoh-gopoh.Menahan rasa terkejutnya melihat sang tuan membopong tubuh seorang gadis Peter pun bertanya, "Ada apa, Tuan?""Cepat siapkan mobil!"Mendengar perintah i
Lagi, Marcel kembali melangkah keluar dengan gontai. Pria itu duduk di kursi tunggu dengan wajah kuyu dan pikiran tidak menentu.Siang nanti adalah hari pertunangannya dengan Celina, tapi hari ini dia melihat luka di wajah wanita lain karena perbuatannya."Tuan...."Marcel seketika mendongak, menatap wajah sang asisten pribadi yang berdiri di hadapannya."Ada apa?" tanya Marcel tidak bersemangat."Acara pertunangan Anda akan digelar beberapa jam lagi. Sebaiknya, Tuan segera bersiap," jawab Peter dengan hati-hati.Marcel mengusap wajahnya kasar, sedikit mendongak ke atas sembari menghela nafas panjang dengan kedua mata terpejam.Dari kecil, ia sudah dididik akan sikap tanggung jawab. Tidak mungkin ia akan membiarkan wanita yang sudah di sakiti olehnya begitu saja. Namun, bila membatalkan acara pertunangannya dengan Celina demi wanita lain, itu juga seperti lari dari tanggung jawab!"Kita bisa mengurusnya nanti. Aku akan meminta Helena untuk menanganinya terlebih dahulu. Sekarang yang
Marcel memeluk erat tubuh Raya dari belakang. Terlambat sedikit saja sudah dapat dipastikan jika Marcell akan melihat mayat wanita itu saat ini."Tolong jangan berpikir untuk mengakhiri hidup. Aku bersalah padamu. Kalau kau mengakhiri hidup, maka aku adalah orang yang paling bersalah," ucap Marcel dengan suara bergetar, penuh penyesalan.Raya sontak menangis. Tubuhnya bergetar di dalam pelukan Marcel. Rasa bersalah pria itu semakin terasa, mendengar tangis pilu yang nyaring di telinganya."Maafkan aku. Aku bersalah padamu." Bergetar suara Marcel kembali meminta maaf meski pria itu tahu bahwa berjuta kata maaf pun tidak akan mampu mengobati luka yang begitu perih dan amat membekas di hati wanita itu.Benar saja, rangis pilu itu kembali terdengar, menumpuk rasa bersalah dan penyesalan di hati Marcel.Perlahan Marcel mengurai pelukannya, memutar tubuh saling berhadapan.Terenyuh hatinya menatap wajah rapuh wanita itu. Mengabaikan tatapan membunuh yang sarat akan kebencian dari wanita di
"Tuan, luka Anda mengeluarkan darah."Marcel kembali mengenakan jas hitam yang baru saja dilepasnya, begitu mendengar perkataan Peter."Jangan perdulikan aku. Bergegaslah!" titah Marcel. Ia tidak ingin keadaanya membuat sang asisten terganggu konsentrasinya. "Bantu aku menyiapkan alasan yang tepat untuk Celina nanti.""Baik, Tuan ... Anda tidak perlu kuatir," sahut Peter.Kembali, asisten itu melajukan mobilnya dengan kecepatan tinggi. Hingga tidak lama kemudian, mereka sudah tiba kembali di depan klinik Dokter Helena."Dia terus saja mengamuk minta pulang, aku terpaksa memberinya obat penenang lagi," terang Dokter Helena, begitu melihat Marcel muncul dari balik pintu."Kau sudah melakukan yang terbaik," ucap Marcel. Langkahnya terhenti di sisi ranjang, menatap iba wanita yang sedang terlelap. Wajah pucat dengan mata sembab, sisa air mata bahkan membekas di wajahnya."Sebaiknya, kau membawanya ke Psikiater. Aku kuatir kondisi kejiwaannya semakin buruk." Dokter Helena mencoba memberi
Begitu tiba di apartemen, Peter langsung membukakan pintu untuk tuannya. Bergegas kemudian membuka pintu kamar Marcel, tidak ingin sang tuan berlama-lama menunggu.Dengan gerakan lembut Marcel membaringkan tubuh Raya ke atas tempat tidur besar miliknya. Ia pun lalu ikut membaringkan diri di samping wanita itu.Sungguh melelahkan. Tidak hanya menguras tenaga dan pikiran, bahkan seharian ini waktu Marcel habis terkuras untuk mengurus Raya."Apa yang harus aku lakukan sekarang?" gumam Marcel.Wajah kuyu itu terlihat pucat, selain karena darah yang terus merembes keluar dari lukanya, sejak pagi Marcel bahkan belum menelan sebutir makanan pun, kecuali beberapa suap makanan di rumah Celina saat acara pertunangannya sore tadi.Merasa ada pergerakan di sampingnya, Marcel langsung memutar lehernya. Pandangan mata mereka bertemu, sesaat. Tidak ingin membuat wanita itu ketakutan dengan kehadirannya, Marcel segera bangkit, lalu berdiri di sisi tempat tidur."Maaf, aku harus membawamu pulang ke ap
"Aku akan menikahimu.""Raya menengadah. Mengurai pelukan Marcel di tubuhnya. Duduk menjauh dari laki-laki itu.Tersenyum miris.Menikah?Raya kembali tergugu dalam tangis."Bahkan aku di culik tepat di hari pernikahanku, sebelum sempat mendengar suara ijab qabul dari calon suamiku."Marcel terhenyak. Mematung di tempatnya, seolah ada sebongkah batu besar yang menghimpit dadanya.Apalagi ini? Dia tidak hanya merenggut sesuatu yang begitu berharga milik wanita itu, tapi dia juga telah menghancurkan hari pernikahannya.Maaf?Marcel sudah tidak mampu lagi untuk mengucap kata maaf kepada wanita malang itu. Tapi setidaknya ia punya niat tulus untuk meminta maaf."Aku sudah menghancurkan hidupmu. Bagaimana aku bisa mengantarmu pulang?" tanya Marcel dengan suara bergetar."Kau hanya perlu mengantarku sampai di batas kota. Setelah itu, kau boleh pergi." jawab Raya, lirih.Wanita itu kemudian bangkit, melangkah seperti mayat hidup ke kamar. Membiarkan setiap langkahnya mengusik pikiran Marcel
Chiiit!Peter menginjak pedal rem secara mendadak, nyaris saja ia menabrak seekor anjing yang tiba-tiba saja melintas di depan mobilnya."Shit!"Peter mengumpat kesal."Tuan. Apakah anda baik-baik saja?" tanya Peter dengan nada cemas.Dari balik kaca spion di depannya, Peter dapat melihat jika Marcel semakin terlihat pucat. Pria itu senantiasa memejamkan matanya dengan menyandarkan kepala ke belakangDan Raya yang terbangun karna mendengar Peter mengumpat. Wanita itu kembali dibuat terkejut begitu menyadari jika dirinya sudah berpindah tempat ke dalam mobil dan berbaring di atas pangkuan Marcel.Wanita itu buru-buru bangkit lantas menggeser tubuhnya menjauh dari Marcel."Nona! Anda sudah bangun? Bisakah aku minta tolong kepadamu?" tanya Peter tanpa mengalihkan fokusnya dalam mengemudi.Raya hanya diam tidak berniat untuk menjawab pertanyaan Peter. Gadis itu lebih memilih untuk menikmati pemandangan ke luar jendela."Nona! Aku mohon! Tuan Marcel sedang tidak sehat. Bisakah kau periksa
Suasana kembali berubah hening. Tidak ada jawaban yang terlontar dari mulut Raya, sedangkan Marcel pria itu jadi merasa sangat bersalah atas apa yang telah diucapkannya barusan."Maaf," lirih Marcel.Namun Raya masih tetap diam, asyik dengan pikirannya sendiri."Apa kau tidak lapar?" tanya Marcel melirik ke arah gadis di sampingnya.Raya tidak menjawab. Gadis itu justru mengalihkan pandangan matanya keluar jendela.Marcel tidak kurang akal, mencari cara agar suasana tetap mencair."Berapa lama perjalanan yang harus kita tempuh untuk sampai ke rumahmu?" Marcel kembali bertanya. "Mungkin memakan waktu sekitar tujuh sampai 8 jam," jawab Raya tanpa mengalihkan pandangannya."Tujuh sampai delapan jam?" gumam Marcel sedikit terkejut.Saat ini waktu sudah menunjukkan jam 11 malam, Marcel berpikir mungkin mereka akan bermalam di jalan nanti.Jika tahu begini mungkin Marcel akan memilih menggunakan helikopter pribadinya daripada harus menggunakan mobil, apalagi kondisinya sedang tidak baik-b