Share

Sidang

Senin, 20 Juli 2022

Bel pulang sekolah berdering menjadi tanda dimulainya persidangan. Para perwakilan masing-masing pihak terkait memasuki ruang rapat sekolah. Air muka mereka mengeras dan sulit berseri-seri. Masa depan seseorang sedang dipertaruhkan di sini.

Tiga meja panjang dirangkai membentuk huruf U. Setiap sisinya diisi oleh perwakilan kelas X-1, kelas X-4, dan pimpinan sidang, yaitu Juan serta Nanda, sekretaris osis. Selain Juan, tidak ada yang tahu bahwa seseorang sedang meneliti.

Kepala sekolah mengawasi dari balik jendela satu arah. Ruang rapat terhubung dengan bilik kerja kepala sekolah melalui jendela itu. Ia menyeduh kopi sambil menikmati tontonannya.

Tanpa basa-basi, Juan membuka sidang dengan pembacaan beberapa peraturan. Hal paling penting adalah setiap kesaksian harus disertai dengan bukti, minimal konfirmasi dari dua orang. Pengecualian untuk konteks tertentu.

“Sekarang saya persilahkan perwakilan Ricardo untuk memberi pembelaan.” Juan memberi intruksi.

“Kami memiliki saksi mata.” Hanna berdiri. “Kami juga memiliki barang bukti.” Ia memberi arahan pada Glen yang bertugas mengoperasikan laptop. Sebuah foto ditampilkan pada layar proyektor. Ia menjelaskan artinya.

Tommy beserta teman-temannya memucat. Mereka menatap nanar Hanna. Seolah bertanya, ‘Dari mana kalian mendapatkannya?’

Intan berbisik pada Ricardo. Ia mencari tahu penyebab ketidakhadiran Tabian dalam persidangan. Seingat Ricardo, Tabian melesat ke luar kelas setelah bel berbunyi. Menghilang entah kemana.

“Melalui foto ini dapat dipastikan bahwa bukan Ricardo yang memiliki niat untuk melukai Tommy.” Hanna kembali duduk dengan senyum puas. Juan memberi isyarat kepada pihak Tommy.

“Setiap akibat pasti ada penyebab. Dalam fisika, hal itu disebut prinsip kausalitas.” Paul, wali kelas X-4, mulai berfilosofi. “Tommy sudah menceritakan semuanya kepada saya tentang permasalahan pribadinya dengan Ricardo. Melalui kacamata moral, hal itu sulit dimaafkan.”

“Dan apakah maksud dari ‘hal itu,’ Pak Paul?” tanya Juan.

Pak Paul menggerak-gerakkan telunjuknya, memberi tanda. Mata belonya memicing. Ia tidak sedikit pun tampak frustasi. Ia belum merasa kalah, justru sebaliknya.

“Perhatikan! Apakah kelakuan semacam ini dapat dibiarkan?” Ia menunjuk-nunjuk layar. Sebuah video diputar. Seorang siswa laki-laki dirisak oleh beberapa orang termasuk seorang siswi.

“Apa prinsip dari sekolah Yudhis?” Ia semakin meninggikan suara. “Bullying dalam bentuk apa pun harus ditindak!”

Juan tersenyum tipis. Ia melirik sekilas siluet kepala sekolah yang sedang menikmati. “Tolong sampaikan lebih jelas, Pak Paul.”

Laki-laki yang dimaksud adalah Tommy saat SMP. Ia dirisak. Pelakunya adalah kakak kandung Ricardo. Ia sakit hati dan berniat balas dendam. Itulah yang disampaikan oleh Pak Paul.

Ricardo tidak bergeming. Maknanya, pihak Tommy berkata jujur. Hanna tidak tinggal diam. Ia menyebutkan satu per satu peraturan tertulis dan tidak tertulis di SMA Yudhis.

“Masa lalu yang tidak ada kaitannya dengan peratuan sekolah ini, tidak dapat dijadikan bahan pertimbangan yang pasti. Tommy sudah terikat dengan sekolah ini. Hukum di tempat inilah yang berlaku,” tandas Hanna.

Bagaimana Juan akan memutuskan? Hukum moral atau hukum yang adil? Ia berpikir keras sembari menganalisis perdebatan di hadapannya. Ia kembali melirik ke arah jendela, tetapi siluet kepala sekolah menghilang. Ia memanjangkan lehernya untuk meyakinkan diri.

“Pertama.” Juan membuka mulut. “Tuntutan pada Ricardo akan dicabut karena terbukti ia tidak bersalah. Ia tidak menusuk Tommy.”

Pak Paul menahan napas, tidak sabaran. Ia ingin kembali berargumen. Ia mengeluarkan sebuah map cokelat--dengan nama sebuah rumah sakit dicetak tebal--dari dalam tasnya.

“Kedua. Pemicu dari insiden ini adalah kakak Ricardo. Sayangnya, ia tidak bersekolah di sini.”

Hanna ingin mengacungkan tangan untuk berpendapat. Akan tetapi, Intan menahannya. Tata krama menjadi salah satu poin penting dalam memenangkan sidang. Intan mengingatkan dengan gelengan kepala.

“Oleh karena itu, hukum di tempat ini tidak dapat diterapkan.” Juan melanjutkan. “Sebaliknya. Ada hukum tertulis mengenai larangan membawa senjata tajam ke sekolah.” Juan memainkan kacamatanya.

“Bukan karena kami di ujung tanduk yang mendorong kami melakukan hal ini.” Pak Paul kembali berdiri. “Kesehatan mental sangatlah penting. Tommy menjalankan serangkaian tes kejiwaan saat ia dirawat.”

“Bagaimana hasilnya, Pak Paul?” tanya Juan.

“Ia mengidap post-traumatic stress disorder. Singkatnya, PTSD. Mohon untuk bersikap bijak dalam menangani kasus seperti ini. Pertimbangkan baik-baik.” Pak Paul menyudahi.

Juan memberi ruang kepada pihak Ricardo untuk mengajukan rekes. Hanna bungkam. Seluruh hasil analisisnya sudah ia nyatakan. Membawa isu penyakit jiwa adalah hal cerdik. Ia tidak mempertimbangkan alibi seperti itu.

“Satu pertanyaan lagi untuk Tommy. Jelaskan secara singkat kenapa kamu bisa terluka,” pinta Juan.

“Apakah itu penting?”

“Ya, Pak Paul. Bukankah karena hal itu tidak diketahui, maka pihak Tommy terdorong untuk membuat tuduhan palsu?”

“Saya tersandung batu.”

“Baiklah. Karena tidak ada lagi yang ingin disampaikan, sidang akan ditutup.”

"Duk! Duk! Duk!"

Suara ketukan menyahut Juan. Asalnya dari pintu masuk. Tabian muncul dengan menyeret Fisesa bersamanya.

“Mohon maaf bila saya mengganggu,” kata Tabian. Ia memperkenalkan diri lalu permisi. Glen langsung mengambil alih.

“Dia adalah saksi mata dari perselisihan antara Ricardo dan Tommy. Dia yang tahu motif asli dari permasalahan yang ada.” Glen menarik napas sejenak. “Hal terutama yang memantik amarah Ricardo.” Ia menekankan kalimat terakhir.

Gelagat Ricardo berubah. Ia tidak bisa duduk diam. Intan mencoba menenangkannya.

Pak Paul berdiri untuk menghalangi tetapi Juan dengan cepat mempersilahkan Fisesa untuk berbicara.

“Silahkan.”

Fisesa tidak dapat menyembunyikan perasaannya. Alisnya bertaut dan wajahnya memerah. Ia kesal telah dibawa-bawa ke masalah yang bukan menjadi haknya. Tetapi ia sudah terlanjur muncul. Mundur bukanlah pilihan yang tepat.

“Kebetulan, saya satu kelas dengan Ricardo dan Tommy pada jam khusus. Selama dua minggu ini.” Ia juga bilang kalau pihak osis dapat mengonfirmasinya pada guru.

“Dari pengamatan saya, Tommylah yang memancing Ricardo.”

“Apa yang Tommy katakan?”

Fisesa melirik Ricardo sebelum menjawab. Ia sedikit ragu. “Tommy bilang kalau dia akan menyebarkan foto telanjangnya kakak Ricardo.”

Sebagian dari mereka kaget mendengar kesaksian tersebut. Ricardo dan Tommy sontak menunduk. Juan merespons dengan alis terangkat. Tabian sudah ke luar sejak Fisesa mengangkat suara. Ia menguping dari balik pintu.

“Jadi hal itu yang membuat kalian bertengkar minggu lalu, Ricardo?” Juan memastikan. Ricardo membenarkan. Pak Paul menatap Tommy dengan kesal karena ia tidak mengetahui hal tersebut.

“Apakah ada kaitannya dengan percakapan kalian di gedung belakang sekolah?” Ricardo kembali membenarkan.

Juan memejamkan mata sesaat sebelum berdiri. Kali ini ia benar-benar menutup sidang. Seluruh komponen yang dibutuhkan untuk mempertimbangkan hasil akhir sudah terkumpul. Mereka bubar.

“Aku tidak tahu apakah kita akan menang atau tidak.” Glen berterus terang. Anak kelas X-1 berkumpul di bangku halaman sekolah.

“Yang penting, kita sudah berusaha, Glen,” hibur Intan. “Tidak ada yang bisa menjamin keselamatan orang lain seratus persen. Jangan terlalu dipikirkan.” Ricardo termenung.

“Kemana Tabian?” tanya Hanna.

“Pulang duluan,” jawab Glen.

“Oh.” Hanna menyilangkan tangan. “Aku pikir dia mau ngapain. Kesaksian dari Fisesa hanya seperti riak kecil. Apa gunanya?”

“Tapi kalian lihat ekspresi pihak Tommy? Seperti tertangkap basah.” Glen menerangkan.

“Dia hanya membuatku terlihat semakin buruk,” maki Ricardo. “Sial.” Ia meninju dinding. Kesal.

“Itu ide aku, Ricardo. Jangan menyalahkan Tabian,” balas Glen.

“Ya, mungkin itu idemu, Glen. Tapi yang lain? Aku sudah mendengarnya dari Hanna tentang dia dan Iyas.”

Ricardo menoleh pada Hanna. Ada keengganan dalam diri Ricardo untuk mendukung Hanna, tetapi kekesalannya pada tuntutan Iyas lebih besar. Iyas memintanya untuk tidak mengganggu dirinya lagi. Bukan hanya itu, tas Iyas harus Ricardo gendong ketika berangkat dan pulang sekolah selama seminggu.

Ricardo tidak langsung setuju. Saat itu Tabian tidak berhadapan langsung dengan Ricardo. Hanna dan Iyaslah yang mendatangi dan menjelaskan kepadanya tentang bukti foto yang dimiliki Iyas.

Ricardo mencari tahu hasil penyelidikan yang dilakukan Glen dan Intan. Hasilnya nihil. Saat kejadian tersebut, tidak ada ekskul yang menggunakan lapangan belakang gedung sekolah. Bagian-bagian vital yang tertangkap CCTV pun tidak menangkap ada saksi mata lain. Mau tidak mau, Ricardo menyetujui syarat dari Iyas.

Tabian, yang sedang dibicarakan, sedang menguping pembicaraan antara Juan dan kepala sekolah SMA Yudhis, Guntoro, di ruang rapat. Tidak ada siapa pun kecuali mereka berdua padahal Tabian awalnya hanya ingin menemui Juan.

“Kerja bagus, Juan Juandi,” puji Pak Guntoro.

“Terima kasih, Pak.”

“Usulan-usulanmu jauh melebihi ekspektasi.” Pak Guntoro menepuk pundak kanan Juan. “Mulai dari memanfaatkan ekskul karate untuk menjaga keamanan hingga memajukan jadwal ekskul sepak bola.”

Tabian terbelalak. Dia yang ... ?

“Kamu seperti cenayang. Mengapa kamu bisa tahu insiden seperti ini akan terjadi?”

“Saya tidak tahu, Pak. Saya hanya ingin mengantisipasi masalah sedini mungkin. Membasminya secepat mungkin.”

Tabian mengurungkan niat awalnya. Ia pergi dari sana, merenungi tujuan Juan sebenarnya. Menurutnya, Juan sudah terlibat terlalu jauh dalam insiden ini. Apa dia sudah mengira kalau Ricardo bukan pelakunya?

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status