Share

Mengganggu dan Menggelitik

Senin, 04 Juli 2022

Kiri, kanan. Kiri, kanan. Siswa dan siswi berjaga-jaga dalam menyebrang jalan. Mereka berhamburan hingga berlarian menuju gerbang. Penampang besi menyerupai alfabet terpampang di atas gerbang merangkai tulisan: SMA Yudhis. Tembok pagarnya seputih awan dan menjulang tinggi—bersaing dengan pepohonan.

“Mari kita saksikan penampilan dari ekskul karate!” Suara TOA menggaung ke seluruh penjuru halaman dan sayup-sayup terdengar hingga gerbang.

Dua hari pertama adalah kesempatan emas bagi setiap anggota ekstrakurikuler—disingkat ekskul—untuk promosi. Halaman depan telah dipadati para murid yang menonton atraksi. Meja berjajar di sisi luar lapangan sebagai tempat mendaftarkan diri.

Rayuan para kakak kelas tidak berhasil menggaet dirinya. Laki-laki jangkung dengan rambut hitam berponi. Ia berjalan menerobos kerumunan, tidak berminat dengan setiap taktik yang ada. Tawaran minuman gratis hingga anggota yang memiliki dewi kecantikan, gagal menarik perhatiannya.

Pilihan sudah ditetapkan jauh-jauh hari. Ia mendekati meja di pojok lapangan. Meja itu sedikit penghuni, hanya seorang pria kurus berwajah ramah yang menyambutnya. Sebuah spanduk di belakangnya bertuliskan ‘Private Course Club.

“Hm ... Tabian Putra? Nama yang bagus,” puji si penunggu meja setelah membaca formulir. “Kami menanti kehadiranmu hari Rabu ini ya. Terima kasih sudah mendaftar.”

Sama-sama. Segera antarkan aku pada kemenangan ya, Kak. Aku tidak mau membuang-buang waktu percuma. Batin Tabian. Ia menerjemahkan isi hatinya dengan anggukan kecil.

“Woah!”

Pekikan para penonton menarik perhatiannya. Ia mendongak. Dua laki-laki berseragam putih dan berikat pinggang ungu sedang mengawasi satu sama lain. Seni bela diri. Mereka berhasil menangkis tendangan dan tinju yang dilakukan secara bergantian. Ada gerakan yang gemulai maupun gerakan yang tajam.

Menarik.

Rute tercepat untuk sampai di kelas dengan melewati dua lorong. Tabian menatap lurus ke depan tanpa menoleh kiri dan kanan, tetapi ia tidak dapat berpaling dari satu hal. Sebuah layar kecil aneh yang menggantung di atas pintu tiap kelas, menampilkan sejumlah angka: 1000.

Apa maksudnya?

Ia terhenti di pintu masuk kelas X-1. Secara otomatis, ia memindai seluruh ruangan. Hampir tidak ada bangku dan meja yang tersisa. Ia melirik tempat yang diincarnya yaitu barisan paling depan dekat jendela. Sudah ada yang memiliki. Seorang cewek berkuncir satu dengan raut serius sedang membaca buku pelajaran Kimia.

Sial. Padahal—EH?!

Sebuah sentuhan di bahu kiri membuatnya tersentak. Ia melirik ke samping. Kali ini seorang cewek dengan potongan rambut bob. Matanya tampak berbinar seperti anjing yang meminta pelukan. Tangannya begitu kecil melekat pada bahu Tabian. Namun, tidak memudarkan parasnya yang menawan.

“Aku bisa mengantar kamu ke tempat yang kosong.”

Dalam dan lembut. Begitulah kesan pertama Tabian mendengar suara cewek itu. Akan tetapi, sesuatu menggelitik hatinya. Nada semacam itu sering ia dengar dari suatu tempat. Kamarnya sendiri.

Apa ia bermaksud? Tabian menggelengkan kepala saat itu juga, melenyapkan pikiran kotor yang melintas.

“Selamat, kamu mendapat tempat yang strategis.”

Mengapa menurutmu begitu? Tabian memandangi meja dihadapannya. Bukan karena ada coretan iseng yang terukir atau kaki bangku yang tidak utuh. Letaknya yang berada di tengah ruangan, mengganggu dirinya.

“Nama aku Intan. Kamu?”

Krik, krik, krik. Tabian menjawab dengan kerlingan sesaat. 

Seketika alis Intan bertaut dengan senyum kaku melengkapinya. Waktunya Intan untuk pergi. Ia melangkah mundur secara perlahan.

Tabian menghela napas. Pasrah. Sembari mendaratkan pinggulnya, ia mengawasi seisi kelas. Beberapa kelompok mulai terbentuk, setidaknya kelompok perempuan dan laki-laki. Tetapi ada juga yang menyendiri. Intan termasuk ke dalam kelompok perempuan yang asyik merumpi di meja dekat pintu.

Suara keras yang maskulin tahu-tahu menggelegar ke seluruh penjuru kelas. Asalnya dari cowok yang berdiri di depan pintu seperti satpam sedari tadi. Ia meneriaki teman sekelasnya sendiri. Laki-laki yang memiliki aura inferior. Si bodoh kelihatannya mencari gara-gara dengan menabrak si preman. Baju si preman sampai kotor dan basah dengan minuman soda.

Ekskul mading ya? Tebak Tabian. Ia mengingat minuman gratis yang ditawarkan kepada pendaftar baru.

“Ma-maaf.”

“Enak saja! Matamu dipakai dong! Percuma ada empat!”

“A-aku harus bagaimana agar kamu memaafkanku?”

Bukan hanya suaranya yang jantan. Tubuhnya yang kekar menunjukkan bahwa ia bukan orang sembarangan. Ia melotot, seolah ada api di bola matanya. Tangannya menarik kerah seragam si bodoh.

Sesuatu menggelitik Tabian kembali. Ia coba menggali ingatannya. Pose itu ... Tetapi ia benar-benar lupa pernah melihatnya dimana.

Sedetik bibir hitam si preman melengkung sebelum memamerkan giginya yang besar-besar. Ia telah mendapat ide yang menurutnya cemerlang. Hanya berasal dari otaknya yang mungkin tidak seberapa.

“Kita cukup tolong menolong dalam dua hari ini. Mudah bukan?”

“To-tolong ... me-menolong?”

“Jangan banyak tanya! Pergi!” usir si preman.

Si bodoh kelabakan. Tanpa sadar, ia berjalan mundur. Beberapa cewek melengkingkan suara, ternyata si bodoh menabrak mereka. Tontonan tersebut menghibur si preman. Ia menunjuk-nunjuk sambil memegangi perutnya. Terbahak puas.

Polusi suara. Apa tidak ada orang yang berani menegur bocah itu?

Si preman tiba-tiba memburu masuk kelas diikuti oleh beberapa murid lain. “Ring, ding-dong!” Bel berbunyi tiga kali. Bukan bunyi itu yang memicu mereka. Seorang wanita berseragam biru tua dengan rambut bergelung muncul.

Namanya Pratiwi alias Tiwi. Ia adalah wali kelas X-1 untuk satu tahun ke depan. Matanya menatap tajam mereka satu per satu. Sesekali ia mengernyit. Ia menghidu bau kencur dalam ruangan yang dipenuhi 25 orang itu.

“Saya mengajar matematika. Siapa yang suka dengannya?” Ia mengangkat tangannya sendiri sembari mengedarkan pandangan. “Ada?” Bu Tiwi mengubah pertanyaan. “Siapa yang tidak suka dengannya?” Ia kembali mengulangi gerakan yang persis sama. “Ada?”

Tidak ada yang membuka mulut.

“Kalian maunya apa?”

Semakin tidak ada yang ingin mengangkat suara.

Bu Tiwi sejenak menutup matanya. Ia menggeleng-geleng. Tidak habis pikir. Ia mendekati bangku paling depan, memotong jarak antara dirinya dengan mereka.

“Sekarang ....” Ia kini menatapi murid terdekat dengan lekat. “Siapa yang ingin bertanya?” Murid beruntung itu adalah si bodoh. Badannya otomatis meringkuk. Tidak berani membalas tatapan Bu Tiwi.

“Saya, Bu.” Cowok berambut cokelat tua mengacungkan tangan. Namanya Glen. “Tolong jelaskan tentang layar di depan pintu, Bu. Apa maksud dari angka seribu? Mengapa hal itu tidak ada di buku panduan sekolah?”

Bu Tiwi tersenyum miring. “Saya hanya akan menjawab dua pertanyaan pertama.”

Eh? Kenapa? Tabian menelengkan kepala.

“Setiap kelas memiliki poinnya masing-masing. Khusus angkatan baru memiliki poin seribu.” Bu Tiwi mendekati papan tulis dan menulis besar-besar angka tersebut. “Terserah kalian ingin peduli atau tidak. Tetapi ....” Ia kini memicingkan mata. “Dua kelas yang memiliki poin terendah di tiap akhir semester akan mendapat hukuman.”

Kelas mulai grasah-grusuh. Glen kembali bertanya tentang hal-hal yang akan memengaruhi poin kelas. Bu Tiwi menuliskan jawabannya di papan tulis.

Penilaian kelas meliputi: ulangan bulanan, ulangan jam khusus, attitude, kegiatan non-akademik, ujian semester, dan lain-lain. Pengurangan poin kelas dipengaruhi oleh setiap individu. Selain tidak tercapainya target minimal nilai ujian, poin dapat berkurang karena tindakan pelanggaran peraturan sekolah. Khususnya bullying.

Beberapa perempuan yang suka bergosip menatap si preman diam-diam sebagai tanda peringatan: ‘Awas kalau kau macam-macam.’ Si preman mengangkat bahu, tidak peduli. Tidak ada yang bisa mengaturnya kecuali dirinya sendiri.

“Aku tidak mem­bully siapa pun,” gumamnya. “Semua ada akibatnya.”

“Bu, ada hal yang tidak saya setujui.” Kali ini Glen berdiri. “Mengapa pelanggaran per orangan menjadi tanggung jawab kita semua?” Sebagian kelas mendukung Glen dengan suara-suara kecil. Jelas-jelas mereka enggan terlibat.

“Justru karena itulah penilaian terhadap kerja sama dapat diukur.” Bu Tiwi menutup ruang pertanyaan dengan perintah untuk memilih ketua kelas. “Bukan hal yang sulit ‘kan?” Ia memulai pelajaran dengan menuliskan sebuah pertanyaan: apa itu logika.

***

Tabian enggan mengetahuinya, namun nama si preman dan si bodoh disebut-sebut saat jam istirahat. Ricardo dan Iyas. Mudah ‘tuk menebak siapa dan siapa. Untungnya, orang paling seram sedang tidak ada di kelas mendengar gosip itu. Kalau tidak, siapa yang menjamin ia tidak akan membuat rusuh?

Perut keroncongannya menuntun Tabian ke kantin. Kios-kios tersusun rapi membentuk huruf U. Tidak ada kios tanpa pelanggan yang kelaparan. Penjual dan pembeli saling meneriakkan nama pesanan. Meja dan bangku bertebaran dengan rapi di tengah-tengah. Siap diisi oleh siapa pun yang cepat mendudukinya.

Buku, diamlah di sini.

Tabian pergi dengan kepercayaan diri, tidak ada yang akan menempati. Namun saat ia kembali, ada seorang laki-laki. Berkacamata dan sinar matanya seperti matahari. Tabian pernah melihatnya, tapi dimana? Ia memijat-mijat bibirnya, tapi tetap nihil. Tidak ada rekaman memori yang muncul dalam benaknya.

“Permisi, itu bukuku. Aku duduk disini.”

Laki-laki itu langsung berdiri setelah menyadari kehadian Tabian. Senyumnya merekah. Sepasang matanya melengkung.

Ada apa dengan orang ini?

“Boleh aku bergabung denganmu? Tidak ada tempat yang tersisa,” pinta laki-laki aneh itu.

“Oke.”

Laki-laki itu mengajak Tabian bertukar nama. Ia adalah Juan Juandi, kelas XI-5. Mengetahui nama Juan tetap tidak menstimulus ingatannya. Dirinya heran, mengapa ia sangat peduli? Bukan. Ia yakin ada sesuatu dalam diri Juan yang mengganggu dirinya, tetapi Tabian tidak tahu apa itu.

“Hai, Kak Juan.” Begitulah sapaan dari murid yang tidak sengaja—atau sengaja—berpapasan dengan Juan di meja Tabian.

Siapa dia sebenarnya?

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status