Share

Rabu Ripuh

Rabu, 06 Juli 2022

Pagi hingga siang di hari Rabu, waktunya jam khusus. Ke lima kelas angkatan kelas X membentuk kelompok belajar yang sudah ditetapkan. Informasi hanya diberikan melalui papan pengumuman yang ada di tiap lantai. Murid-murid membludak, berlomba-lomba mengecek calon teman barunya. Lorong-lorong kini lebih mirip gorong-gorong yang dipenuhi cicitan tikus.

Tidak sedikit yang berlari-lari kecil menuju gedung pelaksanaan jam khusus. Padahal dekat, tinggal guling-guling dari gedung utama. Ruang kelasnya lebih kecil dari gedung sebelah. Hanya 5x5 meter. Saling berhadapan satu sama lain dan berjumlah empat belas.

“Sepuluh orang tiap kelas? Pelajaran macam apa yang akan kita terima?” Anya menggerutu pada Intan.

“Katanya beragam. Ada pelajaran musik, olahraga, ber—.”

“Kata siapa?” potong Anya.

“Kakak kelas.”

“Siapa?” tandas Anya. Matanya penuh selidik, berusaha menafsir ucapan Intan.

Tidak ada jawaban.

“Aku duluan ya, Anya. Takut telat. Dah!” Lagi-lagi ekspresi yang sama seperti yang diberikan pada Tabian. Kedua alis bertaut dengan senyum kaku melengkapinya. Anya yakin Intan menyembunyikan sesuatu.

Tabian melangkah perlahan melewati Anya sambil tolah-toleh. Pura-pura tidak tahu percakapan singkat antara mereka berdua. Kadang-kadang Tabian kesal dengan kemampuan mengupingnya. Setidaknya, ia bukan microphone yang akan membocorkan bisikan orang lain. Ia lebih mirip recorder yang dapat menyulam makna.

Tetapi bukan saatnya jadi pahlawan kesiangan! Ia harus segera menemukan kelasnya. Nomor 7.

Itu dia.

Kalau tidak ...

Tuh, kan.

Lagi-lagi, hampir seluruh kursi sudah ada yang memiliki.

Aku yang terlalu santai atau orang lain yang berlebihan?

Hanya tersisa satu. Letaknya di antara seorang siswa dan siswi yang tampak mengenal satu sama lain. Tawa mereka meledak—entah apa sebabnya—sejak Tabian muncul di ambang pintu.

Mengapa mereka tidak duduk bersebelahan? Bukankah posisi ini jadi sedikit canggung?

Lebih-lebih, mereka tetap mengobrol walaupun Tabian berada di sana. Tabian memutar bola mata diam-diam. Ia merogoh-rogoh tasnya, mencari camilan keripik singkong favoritnya. Cukup satu robekan besar dan Tabian bisa menikmati—.

“Aku Iwan.”

“Aku Lulu.”

—perkenalannya.

Sial. Mereka ngerjain aku ya?

Tabian mengepalkan tangannya. Bukannya ditelan, ia malah menghancurkan keripiknya menjadi serpihan-serpihan kecil.

Ternyata itu maksud mereka barusan menghitung mundur!

Mau tidak mau, Tabian membalas ajakan kenalan mereka. Benar-benar membalas mereka! Ia menawari camilannya dan ...

“Uhuk! Uhuk!”

“Lu, bagi minum dong! Pedes banget!”

“Aku duluan!”

Rasain. Ingat kata pepatah ... jangan sembarangan menerima makanan dari orang asing.

Tabian melahap camilannya dengan nikmat. Lidahnya sudah terlatih. Ia tidak akan kalah dengan cabai setan sekalipun. Lain halnya Iwan dan Lulu yang mengipasi lidah mereka dengan tangan. Wajah mereka memerah, kepanasan.

Mereka bodoh atau bagaimana? Nyala merah itu kan sudah memberi peringatan pada mereka: ‘Hati-hati, bisa bikin lidah mati.’ Ah, setidaknya kegondokan Tabian mereda. Siapa suruh macam-macam padanya?

Deg.

Sekelebat siluet membekukan Tabian.

Ia mengucek mata untuk meyakinkan diri.

Bukan apa-apa. Itu hanya gurunya. Hari Jaya.

“Kalian bebas memanggil saya Pak Hari atau Pak Jaya,” ucap pria berkamata persegi itu.

Sejak kapan pelajaran dimulai?

Tabian memijat-mijat bibirnya. Bola matanya bergerak-gerak cepat. Tidak ada. Tidak ada rekaman memori yang muncul. Ia coba memacu dengan meletakkan kedua telapak tangannya di telinga. Tetap nihil. Ia tidak ingat apa-apa.

 “Tidak semua murid memiliki kemampuan yang sama dalam mengingat nama.” Pak Hari menuliskannya di papan. “Kalian juga punya selera masing-masing.” Ia melanjutkan. Jarinya menari-nari sambil menunjuk mereka satu-satu. Tatapannya amat lekat. Seolah-olah, mereka semua sudah berteman dekat.

“Apa itu logika?”

Pertanyaan yang sama dengan Bu Tiwi. Aku bisa menjawabnya, tapi ...

“Apa itu logika matematika?”

 Aku tahu, tapi ... ! Siapa pun! Tolong jelaskan keanehan yang sedang ku rasakan sekarang. Aku tadi menertawakan pasangan menyebalkan ini dalam hati. Lalu ... ada hitam-hitam yang melintas. Sebentar ... itu apa sebenarnya?

Peluh bermunculan. Baju Tabian kebasahan dalam suhu ruangan. Hatinya berkecamuk tetapi ia cukup cerdas untuk menyembunyikannya. Penampakannya hanya seorang siswa yang sedang duduk manis menyimak ceramah guru. Meskipun begitu, hal itu bukan sesuatu yang baru.

“Kamu.”

Tabian tertegun. Pak Hari sudah berada di hadapannya menyodorkan sebotol air mineral. Tabian hanya dapat mengangguk kecil sebagai ganti ucapan terima kasih. Ia terlalu gugup. Belum siap.

Guru ini ...

“Salin catatan ke buku kalian. Saya akan segera kembali,” perintah Pak Hari.

Hening. Terlalu hening. Ini efek minuman dari Pak Hari atau memang anak-anak di kelas ini terlalu fokus hingga lupa bersuara? Tabian melirik Iwan dan Lulu. Bahkan mereka dengan lihai menyalin tulisan.

Tapi ini lebih baik.

Tabian mengelus dada dan mulai mencatat. Benar-benar lebih baik. Jantungnya mulai bersahabat dengan kelenjar keringatnya. Kewarasannya kembali.

“Jangan main-main ya!”

Suara yang familier sekonyong-konyong menggelegar memenuhi lorong.

Si polusi suara.

***

“Dia yang memulainya.” Ricardo membela diri.

Diskusi kelas X-1 sedang berlangsung, menyita waktu istirahat. Beberapa anak kasak-kusuk penuh keluh. Mereka berencana diam-diam meninggalkan ruangan kelas.

“Tolong teman-teman sabar ya. Bukan hanya kalian yang lapar,” sindir Glen, ketua kelas terpilih. Mereka berdecak, sebal. Sebagian malah heran, padahal mereka belum bergeser sedikit pun dari tempat duduk.

“Aku tidak peduli soal itu, Ricardo. Tolong jangan terpancing.” Glen melanjutkan petuahnya.

Ricardo melompat ke luar jendela, melarikan diri.

“Ricardo!”

Anak-anak yang kelaparan mengekor keluar ... melalui pintu.

Masih ada yang bertahan. Glen meminta pendapat mereka. Ada yang membela Ricardo, ada yang enggan. Cewek berkuncir satu yang selalu membaca buku pelajaran Kimia memberi saran. Namanya Hanna.

“Tidak perlu dekat-dekat dengan dia agar terhindar dari masalah,” kata Hanna dengan lantang. “Dia juga susah diatur ‘kan? Tunggu saja sampai kena batunya.” Ia menadahkan tangan dengan lebar sembari mengangkat bahu. Tatapannya setajam elang sekaligus sedatar lapangan.

“Kamu yakin hal itu akan membuatnya jera, Hanna?” tanya Anya memastikan. Ia dan teman-teman rumpinya bisik-bisik sedari tadi. Entah apa yang dibahas.

Hanna manggut-manggut. “Cepat atau lambat.”

Tabian menghela napas untuk sekian kalinya. Ia hanya mengamati. Siapa tahu ada yang bisa dinikmati. Tidak ada. Pemikiran mereka terlalu dangkal.

Kenapa sangat fokus pada Ricardo? Padahal sumber masalahnya adalah sistem poin. Aneh. Sumber kekuatiran kalian ... bukan ... tapi kamu.

***

 “Terima kasih atas kehadirannya semua! Mari kita beri sambutan hangat pada anggota baru P.C.C.!” Laki-laki yang menunggu meja tempo hari membuka acara. “Ijinkan aku memperkenalkan diri. Nama aku Virgo Sagitarius, kalian bisa memanggilku Virgo.”

Satu dari belasan anak baru mengangkat tangan tanpa diminta. “Oh! Ada apa gerangan?” Virgo antusias. “Sebentar. Aku tahu kamu mau bilang apa, anak manis.” Ia berpose seperti orang berpikir keras. Kedua telunjuknya di dekatkan ke pelipis. “Kamu pasti ingin bertanya tentang namaku yang punya dua zodiak ‘kan!” Ia mengacungkan jarinya dengan mantap.

“Mirip tapi bukan itu, Kak,” balas perempuan itu cepat. Kehebohan Virgo sama sekali tidak berefek. Hanna, si wajah datar.

 “Ah ... salah ya?” Virgo tidak mengubah rautnya sedikit pun. “Baiklah, silahkan!”

“Kenapa harus zodiak, Kak? Apa ada alasan tertentu?”

“Oh, itu!” Virgo tertawa kecil. Gigi kelincinya mengintip.

“Mamanya kakak peramal ya?” celetuk anak baru lain.

“Atau suka baca horoskop mingguan mungkin!” timpal sebelahnya.

Melihat tingkah Virgo sedari awal yang mirip badut dan menyenangkan, mendorong mereka untuk tidak segan-segan menggoda. Persepsi tersebut dikonfirmasi dengan cekikikan dari para anggota lama.

“Waduh. Imajinasi kalian sangat tinggi ya? Bagus, bagus. Seperti kata Eyang Einstein. Ada yang tahu apa itu?” Virgo menatap mereka satu demi satu, mencari seseorang yang berani memberi tahu.

“Paling pojok belakang yang sedang melihat ke luar jendela, coba jawab,” pinta Virgo.

Orang yang dimaksud adalah Fisesa. Ia disenggol oleh sebelahnya. Wajahnya seperti orang bodoh, kebingungan. Poninya tampak berantakan. Kasihan. Tidak ada yang memberinya kesempatan untuk mencerna pertanyaan. Tatapan seisi ruangan sangat menyeramkan dan menekan.

“I-itu ....” Fisesa gelagapan.

“Imajinasi lebih penting dari pengetahuan. Pengetahuan terbatas pada yang sekarang kita ketahui, sementara imajinasi mencakup keseluruhan dunia.” Hanna menjawabnya dengan lancar.

“Wah! Tepat sekali!” seru Virgo.

Hanna mengerling ke arah Fisesa yang sudah kembali melamun. Ia tersenyum sinis. Meremehkan. Sejak hari pertama berkenalan di kelas, dengan cepat ia tidak menyukai Fisesa. Menurutnya, persona yang menopengi Fisesa tidak akan cocok dengan miliknya. Bertolak belakang.

Virgo mengenalkan diri kembali dengan lebih serius. Ia adalah ketua dari Private Course Club disingkat P.C.C.. Namanya punya dua zodiak karena mamanya ngefans dengan Ian Somerhalder yang zodiaknya Sagitarius.

Tabian diam-diam menguap. Matanya berair. Satu jam seolah seharian. Ia berjalan gontai selepas pertemuan selesai. Sebuah potret yang sudah ia lihat dari kemarin selalu berhasil mencuri perhatiannya. Terpasang di mading dan hampir setiap belokan gedung. Di bawah potret itu tercantum sebuah nama dan kelas. Juan Juandi. XI-5.

Tidak ku sangka, dia calon ketua osis.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status