Share

Para Penghuni Lapas

Aku duduk dikelilingi oleh teman-teman baru yang berumur dua minggu. Tidak sedikit yang mengerutkan kening mendengar ceritaku barusan. Apa mereka juga belum mengerti taktik yang aku rencanakan?

"Tabian."

"Ada apa, Tuan Handoko?"

Tuan Handoko yang memiliki badan paling kekar diantara para tahanan mulai bangkit dari zona nyaman. Lengan kanannya yang bertato gagak hitam bergerak-gerak seiring ia mengelus dagunya yang kasar akibat cukuran. Aku tidak sengaja berpapasan dengan Tuan Handoko kemarin, jadinya tahu bagaimana perjuangannya mencukur dengan silet setengah tumpul.

"Seberapa cantik si Fisesa itu? Apakah dia seksi?"

Ah, bodohnya aku. Seharusnya aku bisa menebak isi kepala Tuan Handoko. Ia dan kawan-kawannya lebih fokus pada teman-teman cewekku daripada cerita itu sendiri.

Apa yang harus aku jawab agar Tuan Handoko merasa senang? Fisesa memang memiliki mata yang indah dengan kecokelatan. Tetapi, ia sulit didekati bahkan sebagai teman sekalipun.

"Seperti yang Tuan Handoko bayangkan kok. Fisesa itu cantik. Tetapi maaf, aku tidak tahu lekuk tubuhnya ya. Aku belum mengeceknya langsung."

Seluruh pendengar sontak tertawa. Dasar. Sejak tiba di tempat ini dan mengenal mereka, aku menjadi lebih sering menghela napas. Heran dengan tingkah mereka.

Usia para tahanan di sini padahal rata-rata di atas 25 tahun, namun pola pikirnya benar-benar sederhana. Hanya untuk kesenangan sesaat dan sangat menikmati setiap jenis hiburan. Apa mereka pernah memikirkan dengan baik tentang masa depan? Bagaimana dengan nasib anak dan orangtua mereka?

Ah, sudahlah. Aku tidak usah sok peduli dengan mereka. Kenyataannya aku tidak sebaik itu untuk memikirkan nasib orang lain. Nasibku sendiri saja belum bisa ku terima seutuhnya.

"Tabian, bagaimana kelanjutan kisahmu itu?" tanya salah satu kawan Tuan Handoko. Kalau tidak salah namanya ... Igor. Ya, Tuan Igor. Seorang perantau dari Sumatra Utara.

"Ya, aku juga ingin tahu," sahut kawan yang duduk disebelahnya.

Oh, shit. Here we go again. Satu orang merengek mendengar kisah dongeng sebelum tidur, pasukannya ikut bercicit memohon-mohon. Apa yang menarik sih dari kisahku?

"Kenapa kalian belum tidur?! Sekarang sudah jam malam! Pukul sebelas!" 

Terima kasih, Bapak Polisi, karena telah menyelamatkanku. Aku sudah lelah dari dua jam yang lalu ketika Tuan Handoko memaksaku untuk bercerita. Kalian seharusnya sadar diri! Kita, para tahanan, wajib bangun pukul setengah lima! Aku tidak dilahirkan sebagai kalong seperti kalian. 

"Gak seru ah!"

"Ya sudah deh!"

"Besok lagi ya, Tabian!"

Kalimat-kalimat dengan nada kesal akhirnya menghilang dalam lima menit. Tidur, tidur, tidur. Ya, kastaku masih paling rendah. Bantalku masih berupa botol air mineral. Hm, tapi aku bisa memanfaatkan kesempatan ini untuk naik takhta. Setidaknya aku juga ingin merasakan kerasnya kasur kapuk yang jarang dijemur itu. 

Oh, ya. Aku tidak akan lupa dengan Juan Juandi. Besoknya, ia menang telak dalam pemilihan ketua osis. Suara riuh pendukungnya masih menggema bahkan hingga hari ini. Bagaimana jika saat itu dia kalah? Apa yang akan terjadi?

Hm, tembok dingin ini kini menjadi tempat sandaranku. Cukup menyenangkan menempelkan punggungku setiap malam. Sejuk dan agak licin. Jujur saja, aku merindukan kasur empukku. 

"Cit! Cit! Cit!"

Ah, benar. Aku mungkin tidak akan berada di tempat ini. Aku mungkin sudah merayakan wisuda bersama teman-temanku. Aku mungkin ... tetapi jika Ka Juan tidak menjadi ketua osis, aku tidak akan tahu kebenaran dari semuanya. Ya, setiap hal ada harga yang harus dibayar.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status