Share

Di Tarik Pulang

Rabu, 06 Juli 2022

Daniarsyah Faldy Yunus.

Nama pesaing Kak Juan cukup berlawanan dengan nama Juan Juandi yang mudah diingat. Tabian tidak pernah melihat batang hidung laki-laki bernama Daniarsyah ini termasuk dalam promosi eskul kemarin. 

Serius nih? Kalau Kak Juan sampai teriak-teriak pakai TOA.

“Jangan dipandangin lama-lama. Nanti naksir,” goda seseorang.

“Ka Juan?”

 “Mau pulang?” Tabian mengiyakan. “Ayo bareng.”

Gedung utama mulai sepi. Sepanjang jalan dari lorong hingga halaman depan, hanya anggota osis yang terlihat. Mereka lalu lalang untuk mempersiapkan acara pemilihan ketua osis SMA Yudhis ke-10 yang sebentar lagi dilaksanakan. Jumat depan.

“Hebat ya, masih semester tiga sudah terpilih jadi ketua osis,” puji Tabian asal. Ia mengamati reaksi Juan dari setiap perubahan pada raut wajahnya. Kening, alis, pupil mata, lekukan bibir, apapun itu. Tabian mencari setitik tanda.

Juan tertawa kecil dan menepuk-nepuk punggung Tabian. “Belum tentu aku menang.”

“Masa, Kak?”

“Mengapa kamu begitu yakin, Tabian?” Kini Juan menatap Tabian cukup lekat, seolah mempersiapkan diri untuk mendengar curahan seorang adik.

“Ku pikir, diriku yang seharusnya bertanya begitu, Kak.” Tabian tersenyum miring dan balas menatap Juan. "Sikap kakak menunjukkan kepercayaan diri lho."

Juan membetulkan posisi kacamatanya yang tidak miring. Ia merenungkan maksud tersembunyi dari kata-kata Tabian. Ia menggigit bibirnya, khawatir.

Suara heboh para penonton di sekitar lapangan merenggut hati. Para laki-laki jangkung mendominasi. Mereka mengeluarkan aura yang mampu memikat para perempuan. Ekskul basket mendapat hak istimewa tersebut.

“Atta! Atta! Atta!” Sebuah nama diteriakkan berulang kali oleh mereka. Beberapa wanita menjadi informan bagi Tabian. Atta adalah pemain inti tim basket sekolah, ia kelas XI-4.

Tabian memaklumi kelakuan para siswi yang berkumpul. Bukan hal aneh bila mereka terpesona dengan pria tampan beralis lebat seperti Atta. Kulit putihnya yang terbakar sinar matahari meningkatkan keatraktifannya.

Bukan Atta yang membuat Tabian berlama-lama menengok lapangan. Namun sosok Fisesa yang berdiri secara terpisah dari penonton pada umumnya. Ekspresinya sulit dibaca oleh Tabian. Bukan terpikat oleh Atta serupa yang lainnya, tetapi lebih kepada ....

Sedih?

“Jangan bilang kamu juga kagum dengan Atta.” Ledekan Juan menyeret Tabian kembali ke permukaan. Tabian bersyukur tidak tenggelam dalam lamunan.

“Dia teman kakak?”

Juan menggeleng. “Aku hanya tahu namanya. Ketua tim basket adalah sahabatku sekaligus teman sekelasku.”

Mereka melewati beberapa bangunan sebelum tiba di asrama. Gedung asrama putra dan putri terpisah dengan jarak kurang lebih 200 meter. Masing-masing memiliki tiga lantai. Sebuah pagar besi dengan tinggi 10 meter menyita perhatian Tabian.

 “Pagar itu memisahkan SMA dan SMP Yudhis.” Juan memberi tahu tanpa ditanya.

Tabian sudah tahu. Ia hanya penasaran karena merasa tidak nyaman sejak tiba di sana. Seperti ada atmosfer aneh yang dikeluarkan sekolah di balik pagar, mirip hantu yang menggoda untuk diselidiki asal usulnya. Ia yakin dengan intuisinya.

Mereka berpisah di lobi asrama. Kamar Juan berada di lantai 1 dan kamar Tabian di lantai 3. Juan tampak berbalik untuk memanggil Tabian kembali, tetapi ia mengurungkan niatnya. Sedangkan yang hendak dipanggil sedang menikmati suasana asrama yang tidak seperti biasanya.

Tumben, tidak ramai. Begini 'kan enak, gak berisik.

Penghuni asrama masih berkeliaran di sekolah dan entah dimana. Tabian menggerak-gerakkan jarinya satu per satu mulai dari kelingking hingga jempol. Ia sudah menyusun kegiatan yang akan dilakukannya setelah sampai di kamar.

Setiap murid di SMA Yudhis berhak memiliki kamar masing-masing. Kamar mandi digunakan bersama untuk tiap lantai. Fasilitas umum yang dibutuhkan termasuk lengkap, mereka bahkan dapat memasak makanan sendiri. 

“Selama tiga tahun, aku akan tinggal disini ya?” gumam Tabian. Ia merebahkan tubuhnya ke kasur. Kamarnya masih seperti hari pertama. Ia tidak berniat membeli barang-barang khusus yang memamerkan ciri khasnya. Sebaliknya, para tetangga sudah memulai debutnya.

"Tabian! Punya pomade gak?" tanya Gemba dari balik pintu. Ia memang suka berteriak-teriak memanggil dari balik pintu kamar temannya. Seolah ada jeda lima detik yang sengaja Gemba sediakan untuk mendengar jawaban Tabian, "Oh, gak punya ya? Oke," padahal Tabian belum mengucap sepatah kata apapun.

Tabian's rules.

Aturan yang tidak sengaja dibuat oleh Tabian karena pernah kesal dan meluapkannya pada Gemba sejak hari pertama di asrama. Jika Tabian tidak menjawab kata-kata Gemba, artinya adalah 'tidak' atau 'aku baik-baik saja.'

Setelah membersihkan diri, Tabian mencari posisi yang nyaman di bangku kayu keras dan mengambil buku catatan di sebuah rak. Pada sudut kanan kertas tercatat hari dan tanggal. Ia menorehkan momen hari ini yang ia ingat.

Tabian menatapi satu per satu lampu di taman dan jalan-jalan kecil yang mulai menyala-nyala secara bergantian. Sebuah sosok yang sedang berjalan sendirian menarik perhatiannya. Sosok itu datang dari arah sekolah menuju gedung asrama, entah akan bermuara dimana.

Akan tetapi bukan itu yang mengganggu Tabian, melainkan karena Tabian sangat tahu bagaimana kesannya terhadap si pemilik tubuh gempal barusan. Apa tujuan orang itu malam-malam sambil membawa ... ?

***

Kamis, 14 Juli 2022

Malam demi malam, Tabian lewati untuk mengawasi bocah bertubuh gempal. Setidaknya hingga satu minggu ini, ada beberapa fakta yang Tabian ketahui. Pertama, ia membawa kamera setiap malam dan kedua, ia pulang ke asrama di atas jam 9 malam.

Anehnya, tadi malam ia tidak terlihat. Tabian menunggunya hingga larut malam, tetapi hasilnya nihil. Bagaimana dengan hari ini?

Pagi hari yang membosankan seperti biasa menjadi atmosfer kelas. Beberapa cewek sudah berkerumun di depan untuk menunggu kehadiran si pemilik meja. Barisan paling depan, dekat jendela. Tabian tidak akan melupakan keinginannya yang pernah gagal. Ia menimbang-nimbang, urusan macam apa yang dimiliki Hanna dengan mereka.

“Permisi, aku mau duduk.” Hanna mengusir kerumunan itu secara halus.

“Kamu sudah tau? Ricardo dipanggil ke ruang guru barusan.” Salah satu dari mereka melempar pertanyaan.

“Lantas?” Hanna sedikit mengangkat dagunya. Ia merasa disudutkan namun ia tak akan membiarkan siapa pun menggoyahkan pertahanannya.

“Bukankah saranmu waktu itu terbukti tidak manjur? Lebih baik aku mendukung Intan,” timpal sebelahnya. Desakannya didukung oleh yang lain.

“Silahkan. Itu hak kalian.”

“Kalau kamu masih berniat punya teman, tolong tanggung jawab ya. Saranmu bisa menjadi senjata makan tuan lho,” pesan si pelempar pertanyaan. Ia menutup percakapan dan membubarkan teman-temannya.

Tabian menebak kalau si pelempar pertanyaan adalah ketua geng. Anya. Cewek paling kurus di kelas dengan rambut panjang yang hitam kelam.

Ia memakai kata ‘teman’ ya? Pintar juga. Sejak kapan mereka berteman? Sindir Tabian.

Bukan hanya Ricardo, Glen juga diminta ke ruang guru. Tabian menebak kalau jam pelajaran pertama tidak akan ada. Ia memanfaatkan kesempatan itu untuk beristirahat sejenak. Selama seminggu ini, ia terus terjaga hingga larut malam untuk menyelidiki sesuatu.

Ya, terkait bocah bertubuh gempal. 

Tabian kemudian menempelkan wajahnya ke meja yang sudah dilapisi oleh bantalan tangan. Hanya kurang dari satu menit, ia mulai terlelap. Sebuah pusaran dari alam bawah kesadaran menariknya dengan lembut.

Duk.

"Aw," pekik Tabian. Ia mengelus keningnya yang tidak memar.

Gelap. Ini dimana? Aku tidak bisa melihat apa-apa.

Tabian meraba-raba kegelapan yang menyelimutinya. Ia berharap dapat menebak sedang berada dimana ia sekarang. Sejak kapan ruang kelas jadi tidak terlihat?

Tunggu. Aku sedang berbaring di atas sesuatu. Apa ini?

Tidak empuk dan tidak keras. Tanpa bantal dan tanpa selimut. Langit-langitnya seperti terbuat dari kaca tebal berlapis-lapis.

"Sial."

Insting bertahan hidup Tabian teraktivasi. Kedua tangannya dikepal dan dikeraskan. Ia menggedor-gedor lapisan kaca dengan sekuat tenaga, kedua kakinya juga ikut membantu. Tetapi, nihil. Satu mili retakan pun tidak terukir. 

"Tolong!"

Sebuah titik cahaya tiba-tiba muncul di langit-langit. Jaraknya hanya 20 cm dari wajah Tabian. Titik cahaya semakin besar dengan perlahan hingga Tabian tidak dapat membuka kedua kelopak matanya akibat silau.

"Tolong!"

Cahaya semakin besar seakan melahap sekujur tubuh Tabian dari kaki hingga kepala. Tubuh Tabian seolah ditarik dalam sekejap ke ruang dimensi yang berbeda. Ia bergetar-getar seperti orang yang kesurupan.

Entah mengapa dengan mata tertutup, Tabian dapat melihat sebuah bongkahan batu besar terbang hendak menimpa tubuhnya. Untuk ketiga kalinya, ia meneriakkan kata sakti yang tidak membantunya sama sekali.

"TOLONG!!!"

Duk.

Dalam waktu singkat, ruangan gelap menjadi terang. Terlalu terang karena kini puluhan mata menatap Tabian yang baru bangun tidur dengan wajah penuh peluh. Matanya melebar dan kedua alisnya yang tebal terangkat seakan mau lepas.

Tabian menggelengkan kepala sepelan mungkin untuk mengembalikan kesadarannya. Ia menepuk pipinya sekilas untuk memastikan bahwa itu semua hanya mimpi. Mimpi buruk lainnya.

Tabian kembali tegak di tempat duduknya, seakan tidak ada sesuatu yang terjadi beberapa saat yang lalu. Ia memalsukan batuk kecil untuk mencairkan suasana. Kemudian ia melempar tanya dengan wajah tanpa bersalah.

"Tadi sampai dimana?"

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status