Share

Penelusuran Sore

Kamis, 14 Juli 2022

"Tadi sampai dimana?" tanya Tabian dengan wajah tanpa dosa.

"Semua fokus!" perintah Glen dari depan kelas.

Glen menyampaikan bahwa Ricardo telah terlibat dalam sebuah insiden. Ricardo dituduh telah melukai Tommy, anak kelas X-4. Tommy sekarang dirawat di rumah sakit akibat luka tusukan di perutnya. Satu-satunya saksi mata adalah Ricardo karena ia orang terakhir yang bertemu dengan Tommy. Namun keputusan akhir menyatakan bahwa Ricardo adalah pelakunya.

Masalah semakin besar ya?

Tabian kini melirik ke kiri dan ke kanan. Hujatan demi hujatan dilontarkan pada Ricardo. Sebagian kelas memperlihatkan kebencian dengan nyata.

Semakin parah. Tabian menyimpulkan.

“Tolong tenang, teman-teman. Aku belum selesai. Ricardo, silahkan terangkan pada mereka.”

Ricardo berdiri dari belakang mejanya. Mulutnya tidak melebar seperti biasanya. Dadanya lapang, siap menerima olokan.

“Silahkan kalian ingin percaya atau tidak.” Baru satu kalimat yang diucapkan, langsung mengundang beberapa orang untuk menjawab ‘tidak percaya.’ “Bukan aku yang melukai anak itu. Justru sebaliknya.”

“Apa maksudmu?” selidik Hanna. Kentara ia penasaran. Pernyataan dari Ricardo dapat membersihkan namanya.

“Anak itu yang berusaha menusukku. Ia mengajakku bertemu. Jika kalian jadi aku, apa yang kalian lakukan kalau seseorang mengacungkan pisau? Kabur ‘kan?” Ricardo bersikeras.

Glen memberi isyarat pada Ricardo untuk duduk. Ia menjelaskan tentang CCTV yang menangkap aksi Ricardo dan Tommy. Untuk saat ini, hanya rekaman tersebut yang menjadi alat bukti.

“Kita diberi kesempatan. Peluang ini diberikan oleh wali kelas kita dan Kak Juan,” ucap Glen dengan tenang.

Tabian memiringkan kepalanya ke kanan mendengar nama yang dikenalnya. Kak Juan? Kok bisa?

“Kita diijinkan mengumpulkan bukti yang menguatkan pembelaan Ricardo. Silahkan berkumpul di kelas saat pulang sekolah, jika kalian tidak ingin kelas kita mendapat poin paling rendah.” Demikianlah diskusi pagi itu diakhiri.

Waktu berjalan begitu cepat bagi seluruh murid kelas X-1. Atmosfer kelas lebih berat dari biasanya. Berita mengenai Ricardo mulai menggema ke kelas-kelas lain. Dinding-dinding memang memiliki mulut dan telinga.

Ricardo yang menjadi topik utama di sekolah bersikap santai. Sebaliknya Glen yang merasa bertanggung jawab, sepanjang hari itu gelisah. Keringat bercucuran, pertanda ia berpikir keras.

“Hanya segini ya?” Glen tersenyum kecut. Rupanya ia terlalu berharap dengan teman-teman sekelasnya. Kenyataannya hanya 4 orang yang berkumpul selain dirinya ketika kelas sudah usai, yaitu Ricardo, Intan, Hanna, dan Tabian.

“Berlima juga sudah banyak, Glen,” hibur Intan. Ricardo tidak dapat berpaling dari Intan sejak berkumpul. Dengan penuh minat, ia menelisik setiap inci wajah Intan.

Sebuah decakan mengganggu Ricardo. Ia mendapati Hanna menatapnya dengan jijik. “Oh, ada seseorang yang tidak disangka-sangka akan ikut bergabung.” Ricardo sengaja meninggikan suara.

Dua pasang mata yang menonton berusaha menilik maksud dari sindiran itu melalui raut Ricardo. Tabian memutar bola mata, tidak peduli. Ia merogoh isi tas—bosan.

Hanna membalas dengan tidak kalah pedas. “Aku tidak tahu siapa maksudmu. Hanya satu orang di tempat ini yang tidak pernah membuka mulutnya sedari awal.” Ia mengamati Tabian yang sedang memainkan botol air mineral.

Glen menepuk tangannya tiga kali. “Sudah, sudah. Semua memiliki kesempatan yang sama. Mari kita membahas hal yang lebih penting. Kita hanya punya waktu tiga hari. Senin nanti, sidang akan dilaksanakan.”

“Sebaiknya kita awali dengan apa, Glen?” tanya Intan.

Glen meletakkan laptop di atas meja. Ia mengajak untuk menonton rekaman CCTV yang sudah diperbincangkan sebelumnya di kelas. Hanna dengan sigap mencatat di buku catatan tentang detail-detail yang akan ia tangkap dalam video.

Rabu, pukul 17.00 WIB

Tommy menunggu seseorang di gedung sekolah bagian belakang. Ada beberapa pohon dan pagar besi yang membatasi SMP dan SMA Yudhis. Ia dua kali mengecek jam yang melekat di pergelangan tangan kanan.

“Kalian janjian kapan?” tanya Glen.

“Jam lima.”

Rabu, pukul 17.15 WIB

Ricardo datang dengan kedua tangan yang tersembunyi di kantong depan jaket. Wajahnya jengkel. Percakapan kecil terjadi di antara mereka.

“Kalian membicarakan apa?” Kali ini Hanna yang bertanya.

“Cewek paling cantik di sekolah,” jawab Ricardo asal. Wajah Hanna memerah, kesal.

“Ricardo ...,” tegur Glen.

“Dia ingin menunjukkan sesuatu padaku.” Suara Ricardo mengecil tanpa sebab. Perubahan itu tidak disadari siapa pun kecuali Tabian.

Hah? Apa-apaan itu? Tabian mulai mengawasi gerak-gerik Ricardo.

Rabu, pukul 17.20 WIB

Ricardo berlari dari balik sisi gedung lain yang menjadi titik buta CCTV. Tommy tak kunjung muncul. Sebelum langit gelap, beberapa murid tidak dikenal datang dan membopong Tommy yang terluka.

Video selesai. Tidak ada yang berkomentar. Berdasarkan bukti yang ada, tuduhan yang diberikan pada Ricardo sangat kuat. Hanna langsung berdiri di tempat.

“Aku mau mengecek TKP.” Tiba-tiba Tabian mengajukan diri sebelum Hanna membuka mulut.

"Hah?" seru Hanna. "Aku duluan!"

“Lebih baik berdua daripada seorang diri.” Glen menyarankan.

“Ta-tapi,” sergah Hanna.

“Baiklah,” jawab Tabian singkat. Sendiri atau tidak, sama aja. Daripada dia ngoceh terus.

“Intan, tolong gunakan koneksimu. Cari tahu saksi mata lain di hari itu,” perintah Glen. Intan mengangguk tanda mengerti, sekilas matanya berapi-api terbakar semangat.

“Lalu kamu dan Ricardo?” tanya Hanna.

“Kita ke warkop yuk, Bro,” celetuk Ricardo santai.

Glen sedikit terperanjat mendengarnya tetapi ia mulai mengerti gelagat Ricardo. Mungkin itu cara Ricardo menenangkan diri untuk menghadapi situasi runyam saat ini. Glen menolaknya dan mengajak Ricardo untuk membantu dirinya mencari petunjuk melalui rekaman CCTV lainnya.

Rekaman selanjutnya diputar yaitu rekam jejak Ricardo dari pagi hingga sore hari. Hasilnya nihil. Tidak ada pertanda bahwa Ricardo menyiapkan pisau seperti yang dituduhkan padanya. Setidaknya, Glen yakin hal ini dapat menjadi bantuan untuk membuktikan bahwa Ricardo tidak merencanakan penganiayaan.

***

 “Tabian! Tunggu!” panggil Hanna.

Tabian langsung berhenti tepat di depan wajah Hanna. Hanna yang belum siap--mau tidak mau--menabrak punggung Tabian yang sedikit berkeringat. Ia memekik pelan dan cepat-cepat menarik selembar tisu dari saku roknya.

“Apa?”

Hanna mengusap hidungnya dengan hati-hati. “Bukan ke sana arah gedungnya.”

“Tahu kok.”

“Terus?”

“Ada urusan sebentar. Duluan aja.”

Tabian berjalan lurus ke depan dengan sedikit tergesa. Ia menimbang-nimbang sesuatu dan tanpa sadar menyentuh bibirnya berkali-kali. Matanya menelisik dinding lorong bagian kiri maupun kanan.

Seharusnya berada di sekitar sini.

Tabian mendekati sebuah papan pengumuman. Kertas menempel di setiap sudut dengan teratur. Sebuah kertas di sudut kiri menarik perhatiannya. Jadwal pembagian kelas khusus minggu lalu.

Sudah ku duga. Tapi bagaimana caranya aku tahu siapa yang tahu?

Tabian meninggalkan tempat itu. Tampak dari luar, ia seperti tidak sedang memikirkan apapun tetapi nalarnya berkecamuk menduga-duga langkah yang harus dilakukan selanjutnya.

Rekaman CCTV diijinkan untuk kita lihat selama penyelidikan ini. Jadi ... oke. Jujur saja, aku malas turun tangan langsung untuk memastikan. Tapi aku juga tidak mau melibatkan orang bermulut besar. Hanya satu orang yang punya kualifikasi yang sesuai. Glen.

Tabian mengirim pesan singkat pada Glen untuk memintanya memeriksa CCTV ketika Ricardo bertengkar dengan seseorang saat jam khusus Rabu lalu. Tabian yakin mereka akan mendapatkan sebuah petunjuk dari rekaman tersebut. Sekecil apa pun, Tabian harus menemukan benang merahnya.

Setelah yakin dengan taktiknya, Tabian pun menghampiri Hanna. Ia harus melewati lapangan sepak bola di belakang sekolah sebelum tiba di TKP. Beberapa anggota ekskul sepak bola sedang berteduh di bawah pepohonan.

Kemarin mereka tidak ada di sana.

Tabian mengotak-atik handphone untuk mengonfirmasi firasatnya. Ia menanyakan satu hal pada Intan yang memiliki segudang koneksi. Mulai dari kakak kelas hingga para guru. Tabian tidak sadar jika seseorang sudah berada dihadapannya dengan kedua tangan terlipat di depan dada.

“Apa tujuanmu?” tantang Hanna.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status