Share

Vice Versa
Vice Versa
Penulis: Pandalica

Prolog

Sepotong tubuh berkulit cerah meronta-ronta di atas brankar. Napasnya memburu bukan tanpa sebab. Ratusan detik yang lalu, ia dikejar-kejar oleh dua pria berbadan dua kali lebih besar. Banjir keringat membasahi kaos oblongnya. Ia terlalu lelah, tenggorokannya kering. Teriakan minta tolong hanya sampai di ubun-ubun dan ujung lidahnya.

Kacamata hitam membuat wajah para pengejar nampak buram, menambah kesan seram. Mereka menahan dan mengikat tubuh sang remaja—dada, pinggang, dan kakinya—dengan tiga pasang sabuk hitam yang memiliki lebar 5 cm. Hal itu tidak mematikan semangat hidup sang remaja. Ia memusatkan rontaan pada kedua kakinya, berusaha melonggarkan ikatan yang ada.

“Duk! Duk! Duk!”

Tapi ... mustahil. Ikatannya tidak bergeser sedikit pun. Suara kaki yang beradu dengan bantalan brankar menggema di lorong yang sunyi. Hampir tidak ada tanda-tanda kehidupan selain dirinya, para pengejar, dan seseorang yang berpakaian serba putih. Wajahnya tidak nampak jelas akibat cahaya lampu yang remang.

Sang remaja mengerjap-erjap, memfokuskan penglihatannya. Ia ingin sekali mengucek matanya yang memerah. Si pria serba putih perlahan-lahan mendekat. Wajahnya mulai terukir dengan jelas, tepat di retina sang remaja. Ia memiliki jenggot hitam terkepang rapi yang mencolok.

Matanya seketika melebar, menyadari benda yang dibawa oleh si pria. Sebuah suntikan dengan cairan berwarna hijau bening yang mencurigakan. Sang remaja menelan ludah, hidup atau mati sudah ada dihadapannya. Ia yakin itu.

“To—to ...,” desah sang remaja. Suaranya mirip anak ayam menangis.

Si pria menimbang-nimbang takaran cairan suntikan. Ia mengelus dagu untuk meyakinkan diri. Sedikit demi sedikit, jarum didorong masuk ke permukaan kulit. Sang remaja mengeraskan badannya hingga kaku sebagai bentuk penolakan. Namun sayang, tindakannya tidak menggerakan belas kasih si pria sama sekali. Reaksi balik yang terjadi.

“Argh!” erang sang remaja.

Si pria melirik jam tangan. Mulutnya berkomat-kamit, menghitung mundur. Ia sengaja menyuarakannya dengan lantang. Tiap ia mengucapkan satu kata, erangan itu bertambah setengah oktaf.

“Tiga.”

“Sa—“ Tubuhnya mengejang. Ia tidak dapat mengendalikannya.

“Dua.”

“Ki—“ Ia mulai kesulitan membuka kelopak mata. Berat. Jemarinya masih bisa ia gerakkan sepersekian detik sebelum ...

“Satu.”

Senyap. Pasien lelap. Bak dihantam batu besar yang menariknya kepada gelap. Ia berharap dirinya sudah mati agar tidak perlu berjuang lagi.

Brankar didorong menuju ruangan yang tidak biasa. Ukurannya sekitar 10x10 meter. Kubus itu hampir tidak berisi apa-apa. Cahaya dari jenis lampu panggung yang digantung di langit-langit, hanya menyorot sebuah mesin di tengah-tengah. Seolah hanya mesin itu yang paling penting dibandingkan kegelapan yang menyelimuti ruangan.

Sepasang pria berjaket kulit melepaskan ikatan sabuk dengan sigap. Cepat dan berhati-hati agar tidak menimbulkan bunyi. Mereka memindahkan pasien ke atas kasur tipis dekat mesin dan menyelimutinya dengan kain putih. Kain kafan.

“Bodoh! Hanya ini yang ada? Dia belum menjadi mayat!” bentak salah satu dari mereka.

“Ya, cuma ini yang aku temukan. Kalau protes, cari saja sendiri,” balas satunya lagi dengan dagu terangkat.

“Kau—.”

“EHEM!” Si pria serba putih, pria paling tua di ruangan itu, berdeham keras. Tangannya terlipat di dada. Heran melihat tingkah yang lebih muda.

Sepasang pria yang ditegur sontak berbalik. Menegangkan badan dengan tatapan lurus ke depan. Siap menerima perintah selanjutnya. Perdebatan kecil barusan dilupakan dengan segera.

“Kalian yakin kali ini akan berhasil?”

“Presdir menjaminnya, Dokter,” balas salah satu ajudan.

“Kondisi fisik dan mentalnya paling penting. Sudah berapa lama kalian mengawasi dia?”

Mereka saling tatap mendapat pertanyaan itu. Mereka mengangguk bersamaan tanpa aba-aba dan menjawab yakin, “Tiga tahun, Dokter.”

Sang dokter terperanjat. Pupilnya semakin melebar, menyisakan sedikit putih. Tulang pipinya yang menonjol semakin jelas. Ia kini lebih mirip drakula kelaparan berwajah frakenstein daripada dokter.

“Presdir menitipkan permohonan maaf karena sudah mengecewakanmu, Dokter. Tapi—.”

“Dia anak emas begitu?!” potong sang dokter.

Sepasang ajudan itu mengangguk sambil menelan ludah. Mereka takut akan diperlakukan sama seperti sang pasien. Badan mereka memang besar tetapi nyalinya sangat kecil.

Tarik, embus. Tarik, embus. Sang dokter berusaha menenangkan diri. Melampiaskan amarah pada mereka tidak ada gunanya, yang ia ingini adalah sang presdir.

“Seberapa yakin wanita tua itu pada bocah tak berdosa ini?”   

“Lebih dari yang sebelumnya. Dokter juga melihat potensinya ‘kan?” Begitulah pesan presdir. Membawa-bawa pasien sebelumnya dapat menjadi obat penenang bagi sang dokter.

Ia tidak dapat menyangkal. Ia memang mengagumi anak yang pernah ia temui beberapa tahun lalu. Mulai dari kecerdasannya hingga kepribadiannya. Ia bertanya-tanya kabar anak itu sekarang.

“Jika benar apa yang kalian ramalkan, berikan posisi yang lebih tinggi padaku. Kalau tidak ... bawa dia ke hadapanku! Cangkam baik-baik. Sampaikan pada wanita tua itu,” perintahnya.

“Siap, Dokter!”

Sang dokter memainkan kacamata ovalnya sembari melirik sang pasien. Senyum simpul terulas. Ia memamerkan gigi yang salah satunya berwarna emas. “Ngomong-ngomong, terima kasih atas hidangannya. Dia sangat tampan.”

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status