Share

04. Hamil?

Sudah melewati tiga bulan pernikahan dan Hasbi menyadari jika dia mengalami perubahan yang bertahap dalam kehidupannya. Memiliki Bigel di sisinya, membawa pengaruh positif dan pastinya lebih mudah mengontrol emosi.

Setelah Hasbi sakit hari itu, hubungan keduanya menjadi lebih dekat karena Bigel yang secara tidak sengaja memanjakan Hasbi yang sedang lemah kala itu. Kini, Hasbi benar-benar mengerti alasan ibunya bersikeras menikahkan ia dengan Bigel.

Hasbi tidak menyatakan jika dia sudah menaruh hati untuk Bigel, tetapi dia terus memikirkan bagaimana perasaannya dengan Irasya? Wanita yang pergi begitu saja dari kehidupannya.

“Aku ... menemukan ini di dalam kamarmu.”

Bigel yang sedang mengaduk tepung pun terkejut bukan main saat Hasbi memperlihatkan sebuah kotak persegi berwarna biru laut. “Bagaimana b-bisa?” Bagaimana bisa Hasbi menyentuh barang-barangnya di dalam kamar?

“Malam itu, pertama dan terakhir, bukan?”

“Aku tidak melakukannya dengan laki-laki lain!” sebut Bigel sembari berusaha meraih kotak persegi tersebut. Namun, Hasbi menahannya dan merengkuh pinggul Bigel dengan hati-hati.

“Bukan begitu, aku tidak berpikir seperti itu. Aku hanya memastikan jika itu benar-benar milikmu.”

“Pertanyaanmu seolah-olah meragukanku terhadap anak kita.”

Ada getaran yang mendebarkan jantung Hasbi saat dua kata terakhir itu terdengar di telinganya. “Anak k-kita. Ini nyata,” ungkapnya dengan sedikit senyuman terpatri di belah bibirnya.

Buru-buru Bigel melepaskan diri dan merebut paksa kotak persegi miliknya tersebut. “Maksudku, ini anakku.”

“Anakku juga, Bigel,” balas Hasbi. Ketika tangannya ingin meraih Bigel kembali, Bigel pun menolak dengan sedikit mundur ke belakang.

Sorot mata Bigel semakin meneduh dan lembut. “Kau meragukannya.”

“Jika pertanyaanku tidak seperti itu, kau mungkin akan menjawab lain, kan?”

Bigel menggeleng, dia menyangkal tuduhan Hasbi. “Tidak.”

“Lantas, kenapa tidak memberitahuku. Dua bulan Bigel ....”

“Aku hanya punya anak ini di dunia karena kita akan bercerai saat Irasya nanti kembali,” lirih Bigel. Ya, menurutnya kehadiran dia dan bayinya sama sekali bukan bagian penting dalam hidup Hasbi.

“Bigel, apa yang kau katakan. Pikiranmu—“

“Kenapa? Kenyataannya memang begitu kan, Mas? Kami berdua bukan bagian dalam kehidupan Mas. Apa Mas bisa berkata jujur kalau suatu saat Irasya kembali, Mas tetap akan memilih kami?”

“A- aku ....”

Bigel mengangguk paham dengan gugupnya Hasbi. Walaupun ia merasa kecewa, bukan berarti dia tidak ingat jika Irasya masih menjadi tahta nomor satu Hasbi.

“Aku tidak apa-apa dengan situasi ini, asal anakku terus bersamaku,” ucap Bigel pelan sekali karena berusaha tegar. Jatuh cintanya Bigel selalu di waktu yang salah.

“Tentu aku akan bertanggung jawab dan menjaganya bersamamu, Bigel. Aku tidak akan menelantarkan anak yang sama sekali tidak salah.”

“Lalu, jika Irasya kembali? Apa ucapan itu masih bisa aku pegang?”

Hasbi diam, dia belum menemukan kemana arah hatinya menetap. Semuanya, terasa begitu cepat dan seperti Hasbi tidak diberi istirahat sebentar.

“Tidak bisa menjawab, kan? Atau memang tidak akan punya jawaban untuk itu,” desak Bigel.

“J-jujur ... aku tidak bisa mengungkapkan isi hatiku karena ini terlalu cepat. Tapi, aku tidak ingin melukaimu, Bigel. Aku juga tidak punya jawaban untuk Irasya.”

“Aku sudah siap dengan jawabannya. Terima kasih sudah berlaku baik padaku, Mas Hasbi.” Bigel membawa adonan tepungnya untuk disimpan ke dalam kulkas. Niatnya untuk membuat pisang goreng pun batal dan memilih pergi ke kamarnya setelah mencuci tangan.

Hasbi diam saja dan membiarkan wanita itu untuk sendirian saat ini, tidak apa membiarkan wanita itu menjadi kecewa dengan jawaban Hasbi yang terkesan meragukan.

***

“Kau tidak mau bertemu sejak kejadian kemarin siang. Kau tidak lapar?”

Bigel menggeleng singkat. “Aku sudah makan saat kau pergi bekerja. Aku tidak bisa memasak hari ini. Silahkan pergi membeli diluar,” ucap Bigel sembari terus membelakangi Hasbi yang berdiri tegap memperhatikannya.

“Kau keluar sendiri?”

Lagi, Bigel menggeleng sebagai jawaban.

“Lalu?” tanya Hasbi kembali.

Namun, Bigel memilih tidak menjawab.

Hasbi mendekati Bigel dan membawa wanita itu untuk duduk menghadapnya. “Coba jawab.” Kali ini, suaranya meninggi dengan raut wajah yang marah dan guratan di lehernya yang mengeras.

“Apa?”

“Endrico kesini, aku tahu. Siapa yang mengizinkan laki-laki itu masuk ke rumahku? Ini rumahku, Bigel.”

Bigel menjawab dengan peluh keringat yang membanjiri seluruh wajahnya. “Mana aku tahu, Mas Rico mungkin tahu password rumah ini dan masuk begitu saja. Kakakmu mencarimu, bukan mencariku.”

Hasbi menurunkan emosinya, Bigel tidak bisa disalahkan karena memang Endrico mengetahui password rumahnya. “Apa yang kalian bicarakan?” Tidak bisa dipungkiri mata Hasbi memperhatikan gerak peluh keringat Bigel yang turun ke leher sampai hilang di antara lipatan dadanya Bigel. Pikiran nafsunya entah mengapa begitu menguasai saat ini.

Sadar dengan apa yang sedang Hasbi perhatikan, Bigel berusaha menutupi area sensitif yang mengundang nafsu sang suami. “Saat tahu kau tidak ada, dia berniat pulang. Tapi, dia tahu aku belum makan dan dia memesankan makanan. Itu s-saja ....”

“Kau kenapa berkeringat?” Hasbi langsung mengganti topik pembicaraan karena baginya sudah tidak penting lagi selain keringat sexy milik Bigel.

“Bawaan hamil dan cuaca panas. Kipas itu sudah loyo. Aku akan mengusap keringatku dengan handuk.”

“Ke kamarku saja, disana sejuk ber-AC.”

“Tidak mau.”

Hasbi mulai menghapus peluh keringat Bigel dengan santai dan sesekali mengusap pipi wanita itu. “Kamar ini memang tidak layak dan aku yang salah. Mulai sekarang, kau tidur denganku di kamarku karena lebih nyaman.”

“Tapi, aku tidak bisa.”

“Tidak usah merasa tidak enak. Aku tidak akan bisa tenang kalau istri dan anakku tidur di tempat yang tidak nyaman.”

Bigel menjauhkan tangan Hasbi dari wajahnya. “Kenapa Mas jadi seperti ini? Jangan baik padaku atau aku akan meminta lebih dari ini.”

“Lebih dari ini? Seperti apa? Seperti ini?” Hasbi mencium pipi Bigel dengan gamblang.

“Hah?” Respon Bigel yang terkejut dengan pipinya yang mulai merah merona.

Hasbi terkekeh dengan ekspresi Bigel yang menurutnya lucu. “Ayo, ke kamar,” ajaknya kembali sembari berdiri dan menarik tangan Bigel dengan pelan.

“Tidak apa-apa aku tidur disana?”

“Aku yang meminta, kan? Ayo.”

Bigel memakai sandal rumahnya dan mengikuti langkah Hasbi yang membawanya masuk ke dalam kamar pria itu. Tidak banyak basi, Hasbi membuka selimut tebal pada kasurnya dan menyuruh Bigel untuk berbaring disana.

“Aku akan ke kantor lagi setelah kau tidur.”

“Tidak usah menunggu,” balas Bigel.

Hasbi diam, pikirnya dia tetap akan menunggu sampai Bigel terlelap.

“Kenapa?” tanya Bigel saat Hasbi memilih tidak bersuara lagi, tapi fokusnya selalu pada leher Bigel. “Apa yang Mas lihat?”

Hasbi menundukkan kepalanya dan seraya mendekat hingga membuat batasan tipis antara wajahnya dan juga wajah Bigel. “Aku, rindu ini.”

Bigel tidak dapat berkutik untuk sesaat, tapi sekaligus jantungnya berdebar tidak karuan. Menurutnya, bukankah ini kesempatan agar Hasbi semakin terikat padanya?

Cup!

Bigel mencium bibir Hasbi lebih dulu, sekilas untuk membuat adrenalin pria itu semakin menggebu-gebu memakan Bigel.

“Bigel.”

“Jika lebih dari ini, kau mungkin tidak jadi ke kantor lagi.”

“Tidak masalah,” sungutnya dengan napas turun naik menerpa permukaan wajah Bigel.

“Yakin? Bagaimana jika aku menginginkanmu untuk diriku sendiri setelah ini?”

Bahkan, telinga Hasbi mendengarnya. Tapi, dia tidak menjawab.

Bigel kembali memancing nafsu Hasbi. “Pikirkan, setelah ini aku tidak akan membiarkan wanita manapun merebutmu dariku. Kau bisa menolak in—“

Kalimat itu terpotong begitu saja saat Hasbi menyatukan kedua bibir mereka dengan lembut. Euphoria yang dirasakan Bigel juga menyalur ke dalam hasratnya. Seiring Bigel yang mengalungkan tangannya pada leher Hasbi, saat itulah keduanya memejamkan mata dan berfokus pada bunga-bunga yang bermekaran di dalam hati.

***

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status