Share

03. Hasbi cemburu?

“Siapa? Laki-laki siapa yang dimaksud? Apa sekarang masih suka?” Hasbi membungkus tubuhnya dengan selimut tebal pagi ini. Sudah tiga hari dia berbaikan dengan Bigel. Namun, selama itulah dirinya memikirkan laki-laki yang disukai Bigel semasa kuliah dulu. Bigel mengatakan jika dulu dia bukan menguntit Hasbi, hanya kesalahpahaman karena Bigel sedang menunggu laki-laki lain.

“Mas Hasbi?” panggil Bigel sembari mengetuk pintu kamar pria itu berulang kali. “Mas, ini ada yang mengantarkan berkas dokumen. Saya taruh dimana? Apa Mas tidak bekerja?” Rentetan pertanyaan mengalir begitu saja dengan matanya tertuju pada sampul dokumen. Tertulis, dokumen pekerjaan itu untuk manajer eksekutif Hasbi Abraham.

Hasbi bekerja di sebuah usaha hotel milik mendiang ayahnya, yaitu Rise Hotel. Dia memegang jabatan sebagai manajer eksekutif di bawah pimpinan direktur utama Endrico Abraham, putra sulung Abraham.

Suara Bigel tidak digubris karena dia merasa tidak enak badan dan suhu tubuhnya mungkin naik. Harusnya, laki-laki itu pergi bekerja setelah cuti menikah, nyatanya takdir berkata lain.

“Saya letakkan di meja ruang tv kalau begitu.”

“Tolong bawa masuk,” pinta Hasbi, berusaha mengeraskan suaranya agar didengar oleh Bigel.

Bigel membuka pintu kamar Hasbi dengan pelan, terlihat laki-laki itu tergulung dalam selimut tebal. Tidak perlu diberitahu, Bigel pastikan pria itu sedang sakit.

“I-ini ... saya letakkan dimana?”

“Bawa kesini,” titah Hasbi. Sorot matanya tidak pernah lepas memandang Bigel. Agak kesal, sebab Bigel seperti tidak peduli pada kondisi dirinya yang terbaring lemah.

“Ini.”

Hasbi mengambil berkas dokumennya dan diletakkan di samping ia berbaring. “Kau tidak mau bilang sesuatu?”

“Apa?”

“Cih, tidak peka.”

“Saya tidak mengerti.”

Hasbi semakin mengeratkan selimutnya ke tubuh, tapi Bigel tetap tidak bergeming. Alhasil, laki-laki itu jengkel tidak karuan. “Pergilah.”

“Apa Mas sakit?”

“Pergi.”

“Saya cek—“

“Kau tuli, ya? Aku bilang pergi,” sela Hasbi, sehingga mau tidak mau Bigel menghentikan aksinya yang ingin mengecek dahi Hasbi.

“Ya, sudah,” jawabnya ketus, lalu beringsut pergi dari sana.

Bigel menyiapkan teh hangat dan membuat bubur kacang hijau dengan tambahan susu. Ya, karena jiwa sosialnya begitu tinggi, dia akan merawat Hasbi sebagai rasa kemanusiaan saja pikirnya.

Bigel datang kembali ke kamar Hasbi dan meletakkan makanan yang ia buat ke atas meja, tepat di samping laki-laki itu berbaring. “S-saya tidak bisa memastikan kondisi Mas, saya harap Mas mau memakan ini. Tapi, sebenarnya saya penasaran.”

Hasbi membuka kelopak matanya dan melihat pada Bigel. Mungkin, saat ini tidak secantik Irasya, tapi ada yang berbeda dari aura wajahnya. “Apa?” Sangat ketus sampai Bigel heran sendiri.

Bigel meletakkan telapak tangannya di dahi Hasbi tanpa izin. “Saya hanya penasaran dengan rasa panasnya.”

Jelas, suhu tubuh Hasbi sedang dalam keadaan tidak baik-baik saja.

Ketika ingin mengangkat tangannya, pergerakannya tertolak karena Hasbi menahan dengan tangan kirinya. Selanjutnya, tangan kanannya menarik paksa tangan Bigel yang lain hingga mau tidak mau Bigel terjatuh tepat di atas dada Hasbi.

“Setelah apa yang aku lakukan padamu, kenapa kau masih peduli padaku?”

Bigel yang terperanjat pun tidak langsung menjawab, degupan jantungnya kian melonjak ria. “S-saya ....”

Hasbi semakin menarik tubuh Bigel untuk menempel padanya. “Laki-laki itu, siapa?”

“Siapa apanya?” tanya Bigel. Kali ini, dia dibuat bingung dengan pertanyaan sang suami.

Kesal, Hasbi memutar posisi sampai Bigel berada di posisi bawah. Seperti malam itu, bedanya pagi ini Hasbi seperti cemburu. Bahkan belum lama mereka menikah, anehnya seperti mengenal dekat dalam waktu yang lama.

“Hasbi!”

Panggilan yang sedikit keras itu membuat keduanya kaget dan bergerak salah tingkah. Tidak terduga, Iza yang tiba-tiba ada disana berpikir jika wanita yang dikukung Hasbi bukanlah Bigel, melainkan wanita lain yang sengaja dibawa ke rumah untuk membuat Bigel sakit hati.

“I-ibu—“ Bigel tidak dapat melanjutkan ucapannya.

“Maaf, Mama kira bukan Bigel. Lain kali, pintunya ditutup dulu,” ucap Iza. Lalu, menarik gagang pintu dan menutupnya dengan rapat.

Bigel bergerak cepat untuk turun dari ranjang dan memakai sandal rumahnya. Tidak peduli apa reaksi laki-laki itu, Bigel hanya merasa sungkan pada Iza.

“Aku belum selesai berbicara.”

“Saya pikir tidak ada yang perlu dibahas, saya peduli karena Mas sedang sakit. Saya masih punya hati untuk memiliki rasa kemanusiaan,” balas Bigel dengan tegas.

***

“Menginaplah di rumah Mama, Endrico pulang hari ini.”

“Bukannya masih lama? Dia bilang masih beberapa bulan lagi, makanya sudah izin jauh sebelum hari pernikahanku.”

Iza melirik Bigel dengan hati-hati, terlihat Bigel gugup saat dirinya membahas putra sulungnya itu. Sampai hari ini, Iza tidak pernah tahu apa yang terjadi di antara Endrico dan Bigel.

Mengekori arah pandang ibunya, Hasbi sedikit mencerna teka-teki kepergian Endrico dari dua bulan yang lalu dan ekspresi Bigel yang aneh.

“Ma—“

“Tiba-tiba saja, mungkin terkait masalah distribusi barang yang lepas bea cukai. Tidak ada hubungannya dengan hotel dan pekerjaanmu,” sela Iza dengan suaranya yang tegas tapi lembut.

“Oh.”

“Mama tunggu di rumah, kalau panasmu tidak turun juga, besok saja.”

“Hasbi akan kesana,” ucap Hasbi.

Iza mengangguk. “Bigel juga bersiap, ya. Jangan Bigel yang menyetir.”

Lalu, siapa? Hasbi sedang sakit begitu, pikir Bigel. “Tidak apa Bu, Big—“

“Mama bilang apa waktu itu?”

“Maaf, Ma ... maksud Bigel mama tadi,” jawab Bigel. Iya, tidak boleh lagi memanggil ibu, melainkan mama.

“Ya, sudah.” Iza berdiri dan mendekat pada Bigel untuk sedikit membungkuk. Tangan kanannya menangkup dagu Bigel, selanjutnya mencium dahi dan ubun-ubun Bigel secara bergantian. “Menantu Mama, kesayangan satu-satunya,” ujarnya dengan begitu lembut. Sangat tulus, sampai Bigel tidak dapat berkutik karena rasanya begitu memeluk hatinya.

Hasbi tidak pernah menyangka sang ibu berbicara seperti itu, melihat apa yang dia ekspresikan selama ini pada menantu pertama Abraham, istri dari putra kedua Abraham, Arsenio. Lainnya, ibunya seperti bersikap datar pada kehadiran Irasya.

“Mama?” Hasbi pikir, ibunya dirasuki makhluk halus.

“Mama tidak akan menciummu. Mama pergi, sekalian mau menjemput Rico.”

"Bukan begitu, tapi Mama bukan orang yang seperti ini. Kak Freya—"

"Mama paling mengenal Bigel lebih dulu darimu. Mama tahu kalau kamu bersikap tidak baik dengan Bigel. Kali ini saja, turuti pilihan Mama."

"Mama," lirih Bigel. Jujur, dia merasa tidak enak pada suasana ini.

"Mama pergi, perhatikan obat anak itu. Mama malas berdebat untuk hal yang tidak penting," ucap Iza sembari melangkahkan kakinya menuju luar rumah.

Bigel membuntuti Iza dan mengantarnya sampai ke gerbang rumah, setelah itu masuk kembali dan melihat keberadaan Hasbi yang menatapnya dari ambang pintu utama.

“Endrico, kan?”

Bigel melotot tajam, apalagi ini?

Hasbi melanjutkan perkataannya, “Laki-laki yang kau tunggu di HIMA waktu itu?”

•••

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status