Share

06. Ayah anak itu?

“Bigel.”

“Mama ....” Bigel mendadak manja saat Iza menghampirinya dengan raut wajah khawatir. Bagaimana tidak, ia datang dengan diantar Hasbi dan membawa dua tas besar.

“Apa yang terjadi?”

“Bigel mau disini saja, tidak mau di rumah itu lagi.”

“Kenapa?” Iza bertanya sembari membawa Bigel kepelukannya dan menatap Hasbi dengan penuh pertanyaan, yang ditatap hanya kebingungan memulai kalimat darimana.

“Mas Hasbi mau menikahi Ir—“

“Tidak, Bigel. Aku tidak bilang seperti itu. Aku hanya akan bertanggung jawab kalau memang benar itu anakku,” sela Hasbi, memotong kalimat Bigel dengan nada tinggi.

Iza mengusap pipi Bigel dengan lembut. “Jelaskan pada Mama.”

“Irasya kembali, dia mengatakan jika mengandung anak Mas Hasbi. Sudah enam bulan, Mama.”

Iza sedikit terkejut dengan jawaban Bigel, tapi melihat respon Hasbi sepertinya putra bungsunya telah melepaskan Irasya dan memilih Bigel. Tentu, ada rasa bahagianya walaupun setelah ini harus menghadapi Irasya.

“Kau menghamili anak itu, Hasbi?”

“I-itu ....” Hasbi bingung ingin menjawab apa. “Hasbi tidak yakin, Ma. Hasbi pikir itu bukan anak Hasbi.”

“Sekarang kau tidak mau mengakui perbuatanmu itu? Bukankah kau membenci menantuku ini dan berniat meninggalkannya setelah Irasya kembali?”

Hasbi menarik napas, lalu menghembuskan napasnya dengan raut wajah cemas. “Berhenti menyudutkan Hasbi, Ma. Hasbi sudah janji akan bersama Bigel untuk seterusnya.”

Pernyataan Hasbi sama sekali tidak membuat Bigel tenang sampai Iza memperhatikannya karena khawatir.

“Bigel akan tinggal disini sampai kau menyelesaikan permasalahanmu dengan Irasya. Kau tahu, Hasbi?” Iza memajukan tubuhnya dan merenggut kerah baju putra bungsunya itu. “Mama tidak pernah meminta apa-apa padamu kecuali pernikahanmu dengan Bigel. Tidak ada seorang ibu yang waras ingin anaknya hancur.”

“Maaf, Ma,” sungut Hasbi.

“Mama,” panggil Bigel dengan lembut.

Iza melepaskan tangannya dari kerah baju Hasbi dan mengalihkan perhatiannya pada Bigel. “Bigel istirahat di kamar Mama saja. Biar nanti tas Bigel dibawa oleh pak Madi ke atas.”

“Bigel di kamar Mas saja,” sanggah Hasbi cepat.

“Kamarmu di ujung, kalau tidur sendirian Mama tidak bisa mengawasinya, Hasbi.”

Hasbi melirik Bigel. “Kan, ada Hasbi, Ma.”

Iza menatap sinis pada Hasbi. “Siapa yang menyuruhmu tinggal disini? Tidak boleh bersama Bigel sebelum kau menuntaskan masalahmu itu dengan Irasya,” kecam Iza. Suaranya mampu membuat Bigel sedikit gemetaran karena takut.

“Ma,” protes Hasbi.

“Mama, Bigel tidur sama Mas Hasbi malam ini. Demi dedek yang disini,” pinta Bigel sembari mengusap perutnya.

Iza menghela napas pasrah dan mengangguk untuk menyanggupi keinginan menantunya. “Ya, sudah,” ucap Iza, ia pun mengusap perut Bigel juga. “Istirahat dan jangan memikirkan apapun, Mama akan selalu menjagamu,” sambungnya kembali hingga membuat Bigel tersenyum dan juga tenang.

Berakhir, Hasbi menuntun Bigel ke lantai dua, tepat di kamar Hasbi dan diikuti pak Madi yang membawa tas Bigel.

“Perutnya gatal?” tanya Hasbi saat Bigel sudah berbaring di atas kasur setelah mereka berdua mandi bersama.

Bigel mengangguk, memang benar perutnya gatal. “Iya, bantuin garuknya, Mas.”

Tentu, Hasbi menuruti dan menggaruk pelan agar tidak berbekas ataupun luka. "Mau di rumah mama sampai kapan?"

"Enggak mau di rumah itu lagi, rumahnya punya Irasya. Aku mah enggak apa-apa kalau tinggal di rumahku sendiri yang kayak sarang penyakit," celetuk Bigel dengan santai.

Hasbi meringis karena malu dengan sindiran Bigel. "Maaf buat yang itu, Bigel tahu sendiri saat itu Mas lagi enggak bisa kontrol emosi. Bukan rumahnya yang kayak sarang penyakit, tapi hati Mas yang sumber penyakit. Maafin, ya ...."

"Iya, dimaafin."

"Makasih ya, Sayang."

Bigel terperangah karena keheranan, pertama kalinya dipanggil seperti itu oleh suaminya. "S-sayang?

***

Hasbi terus memperhatikan perut Irasya yang memang benar nyata membesar karena hamil. Tapi, hatinya sama sekali merasa hampa.

"A-aku tinggal dikontrakan," ucap Irasya memberitahu Hasbi. Sebab, dahulu Irasya tinggal di salah satu apartemen milik Hasbi.

"Kau bisa tinggal di apartemen itu, tidak apa aku memang memberikannya untukmu. Password-nya tidak berubah Irasya.

"Tidak apa? B-bigel bagaimana?"

Hasbi menunduk dan memperhatikan sushi yang terhidang disana. "Bahkan, dia memilih rumah kecilnya sendiri dibandingkan harus tinggal di rumah besar kami."

"K-kami?"

Hasbi mengangguk dan menatap Irasya. "Aku minta padamu untuk tidak mengatakan yang tidak-tidak pada Bigel. Dia sedang hamil dan sangat sensitif dengan hatinya."

"H-hasbi, aku juga hamil anakmu ...."

"Apa kemarin Bigel juga mengatakan sesuatu yang buruk padamu?"

Irasya diam karena tidak memiliki jawaban, sebab Bigel memang tidak mengatakan sesuatu yang membuat Irasya bersedih.

Hasbi mengangguk-ngangguk paham dengan keterdiaman Hasbi. "Oke, aku tahu jika istriku bukan orang yang seperti itu," ungkap Hasbi, lalu menyuap sushinya dengan lahap. Dia sengaja membawa Irasya ke restoran sushi, sebab makanan favorit wanita itu.

"Hasbi mencintai Bigel? Atau hanya karena keinginan mama?"

"Tidak perlu waktu lama untuk mencintai istriku dengan sifatnya yang seperti itu."

Irasya mengepalkan kedua tangannya, tentu ia cemburu. "Kau tidak lupa? D-dulu Bigel menguntitmu?"

Kini, tatapan Hasbi berubah menjadi tajam. "Kenapa kau selalu bersikeras mengatakan dia penguntit? Dia bukan penguntit, apa yang kita lihat dulu adalah kesalahpahaman."

"Apa saja yang dia katakan padamu? Dia menghasutmu, kan? Kau percaya begitu saja?"

Hasbi mulai heran dengan sifat Irasya yang seperti ini. "Kau kenapa Irasya?"

"Kau berubah hanya dalam beberapa bulan, Hasbi. Kau lebih mempercayai Bigel?"

Rasanya, kenangan bersama Irasya terkesan sia-sia, Hasbi pun menyadari itu. Ada hal aneh yang masih mengganjal hatinya tentang kenangan tersebut.

"Bigel tidak pernah mengatakan apapun tentangmu, tapi sekarang kau berbicara seolah-olah istriku selalu menjelekkanmu. Irasya?" Hasbi sedikit memajukan tubuhnya. "Bigel itu dipaksa menikah denganku."

"Maaf, aku ... a-aku hanya sedang sensitif," sungut Irasya dengan mata yang berkaca-kaca.

"Habiskan makananmu dan setelah ini aku akan menemanimu untuk pindah ke apartemen lamaku. Itu hanya sementara sampai aku membereskan barang-barangku bersama Bigel di rumah dan kau boleh menempati rumah itu, karena sejak awal itu untukmu."

Oh, tentu saja Irasya senang karena Hasbi sangat memperdulikannya. Bahkan, ia diberi akses tempat tinggal yang sangat nyaman.

"K-kau akan tinggal dimana?"

"Di rumah mama karena Bigel tinggal disana sekarang," jawab Hasbi dengan santai, pikirannya pun tiba-tiba tertuju pada Bigel yang tadi pagi terlihat sangat cantik untuk dipandangi.

"Setelah ini, bagaimana dengan kita? Anak ini?"

"Aku akan bertanggung jawab pada anak itu. Aku butuh tes dna sebagai bukti pada mama."

"Hah?" Irasya mulai sedikit panik dengan permintaan Hasbi. "Tes dna? H-hasbi tidak percaya pada anak ini?"

Hasbi tampak memainkan sumpit dan mengetuknya beberapa kali secara pelan. "Sejujurnya tidak, tapi aku tidak akan egois jika itu anakku dan percaya padamu. Tapi, bagaimana caranya untuk meyakinkan mama?"

"Itu melukai perasaanku, Hasbi."

Hasbi tersenyum, tapi terkesan kejam. "Katakan siapa ayah anak itu yang sebenarnya, Irasya?"

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status