Share

Two Seasons of Marriage
Two Seasons of Marriage
Penulis: Uwie_bee

Perceraian yang tiba-tiba

Malam yang semakin larut rupanya tak membuat dua orang itu mengantuk. Dua gelas minuman hangat, cammomile tea pun tak segera membuat keduanya beranjak tidur. Sunyi senyap tak ada suara, hanya ada dentingan suara jam dinding yang sedari tadi ramai memenuhi indera pendengaran mereka berdua. 

Si wanita menoleh. Raut wajahnya kacau. Mata dan hidungnya memerah. Urat di dahinya pun terlihat mengerut samar. Emosi yang seharusnya menguar, tertahan oleh kerutan itu. 

"Kamu serius, mas Ray? Maksud aku, papa baru saja meninggal. Bisakah kamu menunggu satu tahun lagi?" pintanya memelas. Pria di sampingnya adalah Rayyan, suami yang baru dinikahi olehnya satu tahun yang lalu tepat di hari ulang tahun sang papa. 

Keduanya menikah atas dasar perjodohan bisnis antara dua perusahaan, tanpa cinta sama sekali. Satu bulan berjalan sejak pernikahan itu terjadi, Lily sang istri jatuh cinta pada suaminya. Namun, seperti pungguk merindukan bulan cintanya pada sang suami tak mendapatkan respon dan berakhir bertepuk sebelah tangan.

"Aku serius. Nayya sudah menungguku lebih dari satu tahun, Lily. Haruskah aku menggantungnya lagi? Ingat, sebelum pernikahan itu terjadi bukankah sudah aku katakan kalau kamu jangan jatuh cinta padaku," pekiknya. Lily terdiam dan menunduk. Ia sadar bahwa cintanya pada sang suami tak mungkin bisa bersatu. 

"Baiklah. Aku akan menandatangani surat perceraian itu," ucapnya lemas. 

Tangan mungil Lily segera menyambar berkas di atas meja yang teronggok lebih dari lima jam. Ia membuka perlahan dan membacanya satu persatu. Di lembar pertama ia belum merasakan apapun, sampai lembar terakhir tak terasa ia meneteskan satu dua butir airmata yang akhirnya ikut menangisi lembaran berkas itu.

"Dalam perceraian ini, aku tak mau banyak percekcokan. Semua harta gono-gini sudah aku atur. Rumah ini, mobil dan usaha butik yang sedang kamu rintis aku berikan semuanya tanpa terkecuali dengan satu syarat." Lily menoleh, wajah Rayhan berada tepat di hadapannya. Ini membuatnya gugup. 

"A-apa?" 

"Jangan pernah hubungi aku lagi. Apapun masalah yang sedang kamu hadapi, karena aku akan memulai hidupku dengan Nayya setelah ini. Paham?" Lily mengangguk. "Cepat tanda tangan dan mulai besok status kita bukan lagi suami istri. Kita hanya partner."

Lily segera membubuhkan tanda tangannya tepat pada kolom nama yang tertera di lembaran itu. Jantungnya berdenyut pelan, namun terasa menyakitkan. Saat dirinya masih berduka atas kehilangan papa yang selama ini mendukungnya, ia justru harus kehilangan lagi statusnya sebagai seorang istri. 

Malam ini, keduanya berpisah kamar. Lily tetap menempati kamar utama yang menjadi kamar mereka berdua selama satu tahun terakhir. Sedangkan Rayyan memilih tidur di kamar tamu. Keduanya sama berbaring di ranjang masing-masing dengan pemikiran yang berbeda.

Lily dengan kesedihannya, Rayyan dengan rasa bahagianya. Beban yang ia bawa satu tahun ke belakang akhirnya sirna. Ia bisa menikahi wanita pujaannya tanpa harus meminta restu pada siapapun.

Lily mengusap perut datarnya, sambil membayangkan sesuatu esok pagi. Bayangan papa dan masa depan yang tak tentu arah membuatnya risau. 

"Izinkan mama bawa kamu pergi, nak. Pergi tanpa seorang pun tahu dimana kita tinggal,"gumamnya sendiri. Disana, di perut datar itu ada satu kehidupan yang harus Lily jaga. Ia mengetahuinya satu Minggu sebelum kecelakaan yang merenggut nyawa papanya terjadi. Hari ini, ia berencana memberitahu Rayyan namun semuanya sirna saat sang suami dengan teganya memberi surat perceraian dan rencana pernikahannya dengan mantan kekasihnya dulu.

Suasana pagi hari sama seperti biasanya. Lily menyiapkan sarapan dan berbagai keperluan Rayyan lengkap tanpa ada yang tertinggal satupun. Namun ada satu yang kurang di pagi hari ini, suara nyanyian Lily yang biasa terdengar merdu kini berganti kesunyian. 

Rayyan berusaha menghalau ketidakpuasannya akan suasana sepi ini, ia memilih diam dan sesekali melirik ponsel yang ada di sebelahnya. Tak berapa lama, Lily pun muncul dari balik kamarnya. Mulanya, Rayyan terlihat acuh tapi atensinya tiba-tiba berpindah pada dua koper besar dan satu tas tangan yang diseret paksa oleh Lily. 

"Kamu mau kemana? Liburan? Bagus deh, biar kamu bisa relax," ujar Rayyan di balik kepalanya yang menunduk namun masih sempat melirik Lily yang berdiri tak jauh darinya. 

"Tidak. Aku mau pindah rumah. Aku merasa tak pantas lagi tinggal disini, kamu tentunya akan punya keluarga baru. Jadi, lebih baik aku mengalah." 

Rayyan menaruh sendok dan sisa nasi yang baru saja akan masuk kedalam mulutnya. Tangannya membeku, matanya fokus menatap Lily yang tampak tenang seolah tak ada beban. Lily berulang kali memeriksa ponselnya. Ia duduk di sofa ruang tamu dengan kepala yang melongok keluar jendela seolah sedang menunggu kedatangan seseorang. 

Seketika nafsu makan Rayyan menghilang. Ia menyudahinya lalu menyambar jas dan tas kerjanya. Tak berapa lama kemudian, pintu ruang depan terbuka. Nampak seorang pria yang ia kenal muncul dan menyapa Lily. 

"Sudah menunggu lama?" sapanya. Lily mengangguk. "Hanya ini saja barangnya?" tanyanya lagi.

"Iya, sisanya aku bisa beli disana." 

Tanpa banyak pertimbangan, pria itu menyeret dua koper milik Lily dan memasukkannya ke bagasi mobil miliknya yang terparkir di halaman. Rayyan mengikutinya. Tak sadar, tangannya mencegat tangan milik Lily dan membuat wanita itu berbalik menatapnya. 

"Kamu pergi berduaan sama Bagas? Kita belum resmi cerai dan kamu sudah cari pengganti? Ingat, banyak wartawan yang akan membicarakan ini sebagai fitnah." nada bicara Rayyan meninggi, hampir ia membentak Lily namun ia urungkan. 

"Apa bedanya dengan aku yang tinggal bersamamu? Kita sudah bercerai, mas Rayyan. We're done." Lily melepas pegangan tangan Rayyan dan menghempasnya kasar. Sejenak mereka saling berpandangan sebelum akhirnya Lily masuk kedalam mobil dan pergi meninggalkan Rayyan yang masih mematung. 

"Kita langsung ke rumah Tya atau ke kafenya saja?" 

Lily menoleh. Ia berpikir sejenak lalu mengarahkan tangannya ke kiri. "Kita ke kafenya saja. Aku rindu strawberry float buatannya."

"Ok, laksanakan."

Tak membutuhkan waktu lama untuk tiba di kafe milik Tya, salah satu sahabat dekat Lily. Sahabat yang ia kenal sejak kecil dan sering menjadi tempatnya berkeluh kesah, termasuk perihal pernikahannya. Tya sempat menyarankan Lily untuk menolak perjodohan itu dan menikah dengan Bagas, namun sayangnya lagi-lagi Lily terlalu mengikuti keinginan orangtuanya.

Lily mengendap-endap masuk kedalam kafe dan berdiri di belakang Tya yang sedang membereskan kursi dan meja. Rupanya, ia memakai earphone sehingga tak mendengar langkah pelan Lily. 

"Duarr...." kejut Lily. Tya melonjak kaget dan berbalik. Hampir saja Lily terkena pukulan sapu yang sedang dipegang oleh Tya. 

"Astaga, kaget Lily. Untung aku tidak punya riwayat sakit jantung," umpatnya. Lily tertawa lalu mengatupkan kedua tangannya.

"Sorry. Kamu diam saja saat aku panggil tadi." 

Tya membuka earphone dan menaruh sapunya. Ia mengajak Lily duduk di kursi dan membawakan minuman untuknya. 

"Bagas mana?" tanya Tya, kepalanya melongok keluar jendela mencari sosok Bagas yang juga salah satu sahabatnya. 

"Lagi bantu keluarin koper sama tas aku. Oh, iya hari ini aku tinggal di tempat kamu. Nanti kalau aku sudah punya tempat yang layak, aku janji akan pindah secepatnya." 

Tangan hangat Tya menggenggam tangan Lily dan mengeratkannya. Terdiam sejenak, lalu ia menggelengkan kepalanya. Mereka bertatapan sebelum akhirnya Tya memutusnya. 

"Rumah aku adalah rumah kamu. Aku tidak pernah masalah kamu mau tinggal selama apapun disana. Jangan pernah sungkan, anggap aku lebih dari sekedar teman," ungkapnya. Jihan mengangguk. Detik selanjutnya, mereka saling merangkul dan berpelukan. 

"Thanks, Tya."

"Sama-sama. Nanti kamu harus cerita banyak, aku siap dengar semuanya."

'Pemandangan yang menarik.'

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status