Share

Cinta itu

Pintu rumah dibuka lebar oleh Tya menyusul kedatangan Bagas yang tiba-tiba saat hari menjelang malam. Seperti biasa, bila malam Sabtu tiba mereka berdua sering berbincang bersama membicarakan hal random sambil menonton televisi. Kali ini ada yang tak biasa, ada Lily yang ikut duduk bersama mereka di ruang tengah. 

Bagas mematikan rokok yang ia hisap dan menginjaknya hingga hancur lalu menyemprotkan pengharum ruangan. Aroma jeruk pun menguar. Lily yang baru saja duduk sedikit terganggu namun lebih baik daripada ia harus menghirup bau bakaran rokok yang lebih menyengat.

"Bagas, apa di kantor kamu ada lowongan pekerjaan? Maksud aku, kalau memang ada aku ingin kerja disana." pertanyaan Lily membuat kedua sahabatnya mematung seketika. Tya mengedipkan mata dan Bagas membuka mulutnya lebar-lebar. Tak percaya dengan apa yang mereka dengar. 

"Kerja? Di kantor? No, lebih baik kamu teruskan butik peninggalan mama kamu," tolak Bagas. Ia tak setuju jika sahabat kecilnya ini ingin bekerja di perusahaan yang notabene amat sangat keras persaingannya. 

"Tapi butik itu sudah dibeli Rayyan." 

"Bukankah butik itu atas nama kamu?" tanya Tya. Lily mengangguk, lalu menunduk. Jari tangannya berputar-putar diatas tangannya yang lain. Tya mengembus napas kasar. Ini cara Lily merajuk, diam dan menunduk.

"Lily, atmosfer kantor kurang cocok untuk kamu. Teruskan saja butik, nanti kami bantu jika ada yang kamu perlukan," ujar Tya menenangkan Lily. Tya banyak tahu cara membujuk sahabatnya itu, sedikit banyak lebih seperti anak kecil yang meminta mainan. 

"T-tapi aku..."

Bagas memotong kalimat Lily dengan memasukkan sesuap es krim ke dalam mulutnya. Lily mencebikkan bibirnya membuat Bagas terkekeh melihatnya. 

"Sudah, jangan banyak mikir ini itu. Anak kamu butuh ketenangan, kita berdua siap sedia membantu. Iya kan, Tya?" Bagas menyenggol lengan Tya, tergagap Tya mengacungkan satu jempolnya. 

"Terima kasih. Aku tidak tahu caranya membalas budi kalian." 

"Tidak usah dibalas, cukup buat dirimu bahagia." Tya memeluk Lily begitupun dengan Bagas. Walau pelukan itu adalah pelukan persahabatan, sedikit banyak ia merasa canggung. 

Malam semakin larut. Lily sudah masuk ke peraduannya bergelut dengan mimpi indah yang membuatnya terlelap. Sementara itu di luar kamar, tampak dua orang berbeda jenis masih duduk menekuri film yang baru saja mereka tonton. Film action tentang superhero yang menyelamatkan manusia dari kepunahan. Sedikit tegang namun seru.

"Kapan kamu mulai masuk lagi ke hati Lily? Maksud aku, memulai hubungan lagi dengannya," ujar Tya, kalimatnya memecahkan keheningan. Rayyan menoleh. Matanya mengerjap perlahan sambil memikirkan maksud kalimat yang ditanyakan oleh Tya. Ia pun mengembus napasnya perlahan, tangannya menyilang di dada.

"Lily masih mencintai Rayyan. Bagaimana aku bisa masuk ke hidupnya?" jawab Bagas pasrah. 

Plakk

"Bodoh!!" Tya mengeplak kepala Bagas cukup keras hingga si korban kesakitan. Tya memang sedikit kasar dan keras jika menyangkut percintaan. 

"Kasar ihh. Bagaimana laki-laki mau sama kamu?" Bagas mengumpat pelan sambil mengusap pelan kepala belakangnya. Tya tak berkomentar. Ia sibuk mengupas kacang kulit dan membuang sampahnya ke plastik.

"Aku tidak butuh laki-laki. Ini kesempatan kamu untuk mendekatinya lagi. Lily butuh pria lembut seperti kamu. Ayolah, rebut hatinya lagi." Tya mengunyah biji kacang yang tadi ia buka. Matanya melirik ke samping, melihat Bagas yang malah terdiam dengan tangan masih memegang belakang kepala.

"Apa dia mau?" gumam Bagas yang ternyata Tya dengar. 

"Mau. Asal kamu buktikan kalau kamu benar-benar tulus mencintainya. Bagas, dua tahun kamu menunggu dia kan? Ini kesempatan, mendengarnya dibuang oleh pria gila itu membuat aku panas." Tya begitu bernafsu ingin menghajar Rayyan. Berkali-kali ia mengumpati mantan suami Lily dengan kata-kata kasar. Sesekali matanya berkilat mengeluarkan energi emosi. 

"Baiklah. Aku coba. Tapi bantu aku, ya." 

"Pasti."

Malam itu, Bagas putuskan untuk menginap di kediaman Tya. Ia memilih tidur di sofa karena kamar tamu satu-satunya di tempati oleh Lily. Sebelum tidur, ia membuka perlahan pintu kamar Lily yang terkunci. Pandangannya jatuh pada sosok Lily yang tertidur lelap dengan tangan ada di atas perutnya. 

Bagas mendesah lega. Ia sempat mengira Lily akan depresi atau stress berkepanjangan karena perceraian itu. Ternyata tidak. Lily mungkin sedih, tapi ia juga bahagia karena calon anaknya. 

Sinar mentari masuk melalui celah jendela yang masih tertutup rapat tirai. Lily terbangun karena sinarnya cukup silau menusuk mata. Ia melirik jam dinding yang samar ia lihat sudah menunjukkan pukul enam kurang. Ia pun bergegas bangun dan membersihkan diri. Langkahnya terseok pelan menuju dapur. 

Brakk

Lily melonjak ketakutan saat satu tangan dan satu kaki tiba-tiba naik ke atas sofa. Jantungnya berdetak kencang, ia mengusapnya beberapa kali agar hilang. Lily mengendap mencari tersangka yang telah membuatnya kaget di pagi hari.

'Bagas?'

Plukk

Lily terkesiap. Sekali lagi ia kaget seperti sebelumnya, ia menoleh ternyata tangan Tya yang tadi merangkul pundaknya dari belakang. 

"Bagas sering menginap disini kalau weekend. Biasanya di kamar tamu, sekarang di sofa. Dia takut didatangi perempuan yang tinggal di sebelah rumahnya," jelas Tya panjang lebar. 

"Perempuan sebelah rumah? Sering ganggu?" Tya mengangguk. "Kenapa tidak diusir?"

"Bagaimana mau diusir, perempuannya nempel di pohon," celetuk Tya sambil menyeret langkahnya menuju dapur. Lily masih belum paham apa maksud celetukan Tya tadi. Sejenak dia diam dan berpikir. Detik kelima ia baru paham lalu tiba-tiba lehernya merinding.

"Maksud kamu Kunti?" tanya Lily dengan suara lantang. Tya membelalakkan matanya dan menaruh telunjuknya di bibir yang langsung diikuti oleh Lily.

"Jangan teriak. Jangan dibahas juga, yang penting kamu tahu." Lily mengangguk. 

Kedua sahabat itu saling membantu membuat sarapan pagi. Seperti biasa, sandwich dan nasi goreng ala kafe yang sering Tya buat. Lily sangat cekatan memasak. Sudah terbiasa dan terlatih. 

Setengah jam kemudian, masakan selesai. Lily pun membangunkan Bagas yang masih terlelap tidur. Bagas bangun di hitungan ketiga, matanya membuka pelan dan melihat ada bayangan Lily berdiri di hadapannya. Ia tersenyum seketika. Membayangkan sesuatu yang indah di depan sana. 

Namun kebahagiaannya pudar. Wajah lembut Lily berganti wajah sangar Tya yang mendengus karena Bagas tak kunjung bangun.

"Loh, kok malaikatnya berubah jadi genderuwo?" Bagas menunjuk wajah Tya yang tanpa sadar mencelanya. 

Plakk

Kali ini Tya memukul lengan pria itu, membuatnya meringis menahan sakit. "Bangun, kebiasaan deh. Tuh, Lily sudah masak banyak buat kamu."

"Bisa tidak sih, kamu jangan sering mukul aku? Sakit tahu!!" rengek Bagas. Lily tersenyum sambil menutup mulutnya. Mimik wajah Bagas lucu, sayang untuk tidak ditertawakan.

"Mungkin, Tya suka sama kamu jadinya sering mukul," celetuk Lily. Tiba-tiba suasana jadi canggung. Ketiganya terdiam, termasuk Lily yang menatap kedua sahabatnya. Merasa bersalah, Lily pun mengulang lagi maksud perkataannya. "Maksud aku, kalau sering bercanda gitu nanti lama kelamaan jadi suka. Ehm, kita sarapan dulu yuk."

Lily lebih dulu berjalan menuju dapur meninggalkan kedua sahabatnya. Mereka saling melirik dalam diam. Tya yang biasanya berkata kasar, kini diam bagaikan anak kecil kehilangan permennya. 

"Jangan diambil hati ucapan Lily. Dia hanya tidak tahu bahwa yang aku sukai hanya dia. Sorry, Tya." 

Bagas berdiri menuju kamar mandi dekat dapur dan membersihkan dirinya disana. Tya masih diam. Jantungnya berdebar kencang. Kata-kata Lily tadi masuk kedalam relung hatinya. Ia meraba dada sebelah kirinya dan merasakan debaran itu lagi. 

'Apa itu benar?'

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status