Share

Gagal bertemu mantan

Hari pernikahan pun tiba. Nayya telah selesai bersolek sejak pagi. Gaun pengantin cantik yang ia beli dari butik langganan, membuatnya cantik. Warna putih dengan manik silver dan sedikit aksen pita di salah satu sudut membuatnya tampak seperti putri dongeng.

Begitupun dengan Rayyan. Tuxedo hitam dengan bahan beludru dengan dasi kupu-kupu membuatnya tampak seperti pangeran. Serasi jika disandingkan dengan Nayya. 

Pernikahan Rayyan dan Nayya memang tak sepenuhnya mendapat restu dari kedua orangtuanya. Namun mereka memilih datang sebagai rasa tanggung jawabnya sebagai orangtua.

Prosesi ijab kabul berlangsung lancar, Rayyan sangat lancar mengucapkan ikrar sehidup semati dengan Nayya. Betapa bahagianya Nayya, dari balik pintu penghubung ia tersenyum sambil terus memegang buket bunga.

"Nayya, prosesi ijab kabul sudah selesai. Kamu segera ke luar untuk acara sungkeman," ujar Kirey dengan nada ketus dan wajah seram yang ia tunjukkan. 

"Kak, kenapa harus ada prosesi sungkeman sih? Ini kan bukan acara halal bi halal?" Nayya berkilah. Ia tak mau prosesi itu dilaksanakan apalagi ini dilakukan di depan orang banyak. Nayya berpikir buruk, apa mungkin keluarga Ardiwira akan mempermalukan dirinya?

"Memang kenapa? Saat Lily menikah dengan adik aku juga ada acara sungkeman. Tidak usah rewel," ketus Kirey. 

"Aku tidak mau. Aku akan bilang Rayyan." 

Nekat, Nayya berlari keluar dari kamar rias menuju tempat ijab kabul berada. Nayya membuka pintu ruangan dengan kasar lalu kembali berlari menuju tempat suaminya berdiri setelah mengikrarkan janji suci. Rayyan membelalakkan matanya, kaget dengan apa yang dilakukan oleh Nayya.

"Kamu kenapa lari?" tanya Rayyan. Nayya menghambur ke pelukan suaminya lalu mulai memainkan dramanya. Ia menangis sesenggukan membuat para saksi yang hadir kebingungan. Dari balik pintu, tampak kakaknya terengah-engah seperti habis berlari kencang. Mereka bertatapan, antara kakak dan adik. Rayyan yakin, Nayya menangis karena kakaknya mengatakan sesuatu yang membuat ia terluka. 

"Nayya, kenapa kamu keluar kamar sebelum ada aba-aba dari dalam?" tanya Kirey, napasnya masih terengah-engah karena mengejar Nayya. Rayyan menatap keduanya, antara istri dan kakaknya secara bergantian. 

"Ini kenapa kak?" kini Rayyan yang bertanya. Kirey baru akan membuka mulutnya namun Nayya lebih dulu menjawabnya." Rayyan, kata kak Kirey aku tidak seperti Lily. Aku bukan menantu yang baik. Aku sedih, Rayyan. Makanya aku lari dari kamar ingin bertemu kamu. Hiks hiks."

Kirey membelalakkan matanya. Tangannya melambai tanda penolakan. Ia mengumpat dalam hati dan rasanya ingin sekali membalas fitnah kejam dari Nayya yang kini menampakkan smirknya dari balik pelukan Rayyan.

Mendengar istrinya disakiti, tentu saja membuat Rayyan naik pitam. Ia sudah mengalah atas perlakuan keluarganya pada Nayya, tapi mengapa hal itu terus terjadi hingga mereka sudah resmi jadi suami istri?

"Kak, sudah cukup pertengkaran kita Minggu lalu. Kalian boleh tak menyukainya, tapi mohon jangan membuat ia merasa buruk dan hancur karena omongan kalian. Aku sudah mengalah, apalagi yang kalian inginkan?" jelas Rayyan panjang lebar. Ia kembali memeluk Nayya. Disaksikan banyak saksi undangan, pertengkaran keluarga itu tetap berlanjut. Kini, Lydia juga ikut menimpali perselisihan mereka berdua. 

"Kamu menuduh kakakmu? Kenapa kamu tidak tanya lebih dulu padanya dan lebih mendengarkan istrimu? Kakakmu yang menemani kamu sedari kecil dan kamu lebih percaya sama istri kamu yang baru kenal 3 tahun? Luar biasa," sindir Lydia. Matanya melirik Nayya yang masih mengintip dari balik pelukan Rayyan. Nayya tak berani menatap balik mata mertuanya. Menakutkan, pikir Nayya. 

"Ma, jangan menjatuhkan Nayya begitu dalam. Dia wanita yang baik. Mama terlalu menyanjung Lily hingga tutup mata tentang Nayya," protes Rayyan.

Saat akan membalas, tiba-tiba Ardiwira datang. Ikut menenangkan pertengkaran yang hampir meluas antara ibu dan anak. Ardiwira menarik lengan Lydia dan Kirey, mengajaknya pergi dari gedung pernikahan. 

"Ayo, kita pulang. Percuma berdebat dengan orang bodoh dan buta," sindir Ardiwira. Namun sebelum Lydia pergi meninggalkan ruangan ia kembali menatap anak serta menantunya dan berkata sesuatu yang membuat seisi ruangan gempar. " Demi tuhan, karena kamu sudah memfitnah anak saya dan sebagai ibunya saya tidak rela. Saya menyumpahi kalian berdua, suatu hari nanti kalian akan bertekuk lutut di hadapan kakak kalian. Camkan itu!!"

Lydia pergi dengan luka hatinya yang teramat dalam. Ia menangis tersedu-sedu di pelukan suaminya sambil terus berjalan meninggalkan gedung pernikahan. Kirey menatap sebentar lalu ikut pergi dengan orangtuanya, sedangkan suami dan anaknya menyusul dari belakang. 

Para saksi mulai ramai memperbincangkan masalah keluarga tadi. Mereka ada yang menyalahkan keluarga Ardiwira dan ada yang menyalahkan Nayya selaku menantu barunya. 

Abi, berdiri di belakang Rayyan. Ia menepuk bahu sepupunya itu dan membisikkan sesuatu di telinga Rayyan. " Sebenarnya mama dan kakak kamu ingin mengadakan acara sungkeman untuk meminta restu. Tapi, istri kamu menolak dan malah memfitnah mereka. Cepat minta maaf, hati mama kamu terluka."

Abi pun ikut pergi meninggalkan ruangan. Ia berjalan sambil melepas jas hitam yang ia kenakan. Kini tersisa Rayyan dan Nayya di ruangan itu beserta tamu undangan. Nayya memandang raut wajah suaminya yang tiba-tiba pucat dan terdiam mematung cukup lama, lalu ia mengguncang tubuhnya. 

"Sayang, jangan diam saja. Acaranya akan dimulai," rengeknya. Rayyan tersenyum canggung lalu mengangguk mengikuti keinginan istrinya. Hatinya masih kacau karena pertengkaran tadi. Bagaimana caranya ia minta maaf pada kakak dan ibunya nanti?

Sementara itu, di luar gedung Abi melihat suatu pemandangan indah yang menarik perhatiannya. Ada seseorang yang datang, dengan menggunakan gaun cantik dan wajah berbinar berjalan menuju gedung pernikahan. Wajah yang sangat ingin ia pandangi setiap hari, jika memungkinkan.

Abi pun berjalan menghampiri dan menyapanya," Hei, Lily. Apa kabar? Kamu datang juga?"

Yang disapa pun menoleh. Ia tersenyum lalu membalasnya," Hei, Abi. Aku datang memenuhi undangan. Pestanya sudah dimulai?"

Abi mengangguk. Pandangannya tertuju pada satu pria di belakangnya yang berjalan menghampiri Lily lalu berdiri berdampingan. Seperti sepasang kekasih. Abi, cemburu. 

"Lily, mau langsung masuk atau kalian akan mengobrol lebih dulu?" tanya Bagas sambil melirik Abi dan Lily bergantian.

"Ee..."

"Lebih baik kalian pulang saja. Aku menyesal memberi surat undangan. Rayyan tak seperti dulu lagi, ia bahkan sudah mengusir keluarganya demi wanita yang ia nikahi sekarang," jelas Abi. Lily dan Bagas saling bertatapan lalu mengerutkan dahi mereka. 

"Ini serius?" tanya Lily. Abi mengangguk. Tangannya membalik bahu Lily dan mengajaknya berjalan menjauhi gedung. Bagas mengikutinya dari belakang. "Kenapa bisa? Bukankah Rayyan sayang sekali sama mama?"

"Itu dulu. Untuk mengobati rasa kecewa kalian, bagaimana kalau siang ini aku ajak kalian makan bersama. Kamu masih suka shabu-shabu kan?" tanyanya pada Lily, yang ditanya pun mengangguk.

"Iya. Kamu mau traktir aku?"

"Of course. Bagaimana, Bagas?" tanya Abi pada Bagas. 

"Boleh. Kita ke tempat langganan Lily saja," tawarnya.

"Ok. Saya duluan jalan, kalian menyusul ya."

Setibanya di tempat yang diinginkan, mereka pun segera memesan makanan terbaik dari resto tersebut. Resto kenangan antara Rayyan dan Lily saat pertama kali makan bersama satu tahun yang lalu. Lily menatap sekeliling, ia tersenyum lalu menunduk. Ia menghela napas panjang, berusaha melepaskan keresahannya.

"Kamu mau aku pesankan bento?" tanya Bagas. Jihan menggeleng. Ia rasa sudah cukup menikmati makanan yang ada di depannya kini. Sayuran dan daging yang dicelupkan kedalam kuah panas, membuatnya berbinar. 

"Aku ingin makan hotpot."

"Kamu masih kelola butik kamu kan? Aku rencananya mau kesana," tanya Abi membuka obrolan. Lily mengangguk, mulutnya masih penuh dengan makanan. Abi tersenyum melihat pemandangan itu. Sungguh lucu sekali.

"Masih. Kapan kamu mau kesana?" tanya Lily. 

"Minggu depan. Teman wanitaku akan ada acara, aku diminta mencarikan butik terbaik. Aku rekomendasikan butik milikmu." 

"Kekasih?" 

"Uhm, entahlah."

Sedang asiknya makan, tiba-tiba Abi dikejutkan oleh suara deringan telpon yang ia taruh di sebelahnya. Ia berdiri dan pergi dari meja lalu menjawabnya di luar ruangan. Selang sepuluh menit ia datang kembali dengan raut wajah khawatir. 

"Kenapa, Abi?" tanya Lily.

"Aku harus pulang. Mama butuh bantuan. Thanks atas obrolannya. Untuk makanan sudah aku bayar. Permisi."

"Hati-hati, salam untuk mama." 

Abi berpamitan pulang. Lily melambaikan tangannya hingga sosok itu ke luar dari area resto. Ia kembali menyantap dan menghabiskan makanannya lalu pulang bersama Bagas. Beruntungnya, ia hari ini hatinya terselamatkan oleh Abi.

'Setidaknya, hari ini aku tidak sakit hati.'

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status