Nayya tak sabar menunggu informasi yang diberikan oleh orang suruhannya. Sejak tadi ia gelisah melirik arloji di tangannya menunggu kedatangan si pemberi pesan. Tak lama kemudian, datanglah sang informan menghadap padanya. Mata Nayya berbinar saat melihatnya. Ini hari yang sangat ia tunggu. "Lama sekali," sindir Nayya. "Sabar, bos." Nayya tersenyum melihat hasil yang didapatkan dari informan yang ditunjuknya. Ada dua foto yang membuatnya yakin jika itu adalah Lily yang tengah ia cari keberadaannya. "Kerja bagus. Mereka ada di Bandung?" informan itu mengangguk. "Sisa bayaran saya transfer langsung." "Terima kasih, bos." Setelah menyelesaikan tugasnya, informan itu segera pergi meninggalkan Nayya. Istri Rayyan itu menghitung-hitung seberapa banyak uang yang bisa ia dapatkan dari Ardiwira setelah rencananya berhasil. "Apa aku akan dapat satu miliar? Ah, terlalu kecil. Lima miliar cukup? Ah, bisa foya-foya seumur hidup." Nayya yang sudah mengantongi alamat Lily segera melajukan
Mata Lily terlihat kosong. Sejak Bagas pulang kerja sore tadi, ia hanya berdiam diri di kamar sambil memandangi kedua anaknya. Sesekali Lily beranjak ke dapur untuk makan lalu kembali lagi ke kamar. Bagas mengerutkan dahinya. Ia pun akhirnya memberanikan diri untuk bertanya padanya. "Kamu kenapa, sayang? Ada yang mengganjal hati?" "Tadi siang dia datang. Entah dari mana dia mengetahui alamat rumah ini." Lily mengembuskan napasnya yang terasa sesak di dada. "Dia mengajakku menemui Ardiwira. Mrnurutmu, aku harus menurutinya atau tidak?" "Apa yang diinginkan Ardiwira darimu?" Bagas mengubah posisinya. Matanya ia fokuskan pada Lily. "Dia meminta si kembar? Kumohon jangan." "Sampai mereka nangis darah pun tidak akan aku berikan." "Tidak salah kalau aku mengajukan status si kembar ke pengadilan," ujar Bagas. Ia berdiri mengambil sesuatu dari dalam tasnya. Sebuah amplop berwarna coklat yang terlihat tebal dari luar. "Minggu depan kita sidang. Si kembar akan sah jadi anak kandungku." Ma
Mengerikan. Rayyan mendapati sang ayah tersenyum sendiri saat duduk satu ruangan dengannya. Ia terus menerus mengecek ponselnya lalu kembali tersenyum tanpa tahu apa sebabnya. Sebagai anak yang baik, Rayyan tentunya sangat penasaran mengapa ayahnya terlihat bahagia hari ini. Tak seperti biasanya. "Papa sedang merencanakan apa?" ujar Rayyan yang kini sudah risih dengan tingkah Ardiwira. "Oh, papa sedang melihat beberapa koleksi perhiasan. Sepertinya cocok untuk mama," jawab Ardiwira sembari memperlihatkan isi ponselnya. "Papa tidak sedang merencanakan sesuatu yang berhubungan dengan Lily kan?" tanyanya lagi. Ardiwira mengangguk pelan. Namun Rayyan tak langsung percaya padanya. "Papa mau kamu datang ke rumah besok Sabtu. Ada sesuatu yang akan papa bicarakan," perintah Ardiwira dengan mata tertuju pada Rayyan. Ia menutup ponselnya lalu menopang satu kakinya dengan santai. "Ini serius dan kamu bawa juga Nayya kesana." "Untuk apa? Bukankah papa tidak suka padanya?" "Apa dia selamany
Dughh!! Mobil yang ditumpangi oleh Rayyan menabrak pinggir jembatan. Lampu depan pecah dan bunyi alarmnya terdengar cukup keras. Rayyan tersadar dari lamunannya lalu memutuskan untuk keluar dari dalam mobil. Ia butuh udara segar. Rayyan berdiri di sisian jembatan. Matanya tertuju pada ramainya lalu lintas di bawah sana. Terbersit pikiran kotor untuk mengakhiri hidupnya. Namun lagi-lagi ingatannya tentang Lily kembali membawanya pada kewarasan. "Aku harus hidup demi kedua buah hatiku," bisiknya dalam diam. Rayyan belum pernah bertemu kedua anaknya dan ia tak mau mati konyol hanya karena kebodohan. Ia pun segera ke dalam mobil dan melanjutkan perjalanannya. Sementara itu, Nayya yang sejak sore tadi sudah berada di rumah menjadi sedikit cemas karena sosok Rayyan yang belum juga kembali. Ponselnya pun tidak aktif. Nayya mencoba menghubungi beberapa rekannya tapi hasilnya nihil. Rayyan tak ada dimana-mana. "Kemana perginya Rayyan?" Nayya terus mencari cara agar bisa tahu dimana suam
Malam yang semakin larut rupanya tak membuat dua orang itu mengantuk. Dua gelas minuman hangat, cammomile tea pun tak segera membuat keduanya beranjak tidur. Sunyi senyap tak ada suara, hanya ada dentingan suara jam dinding yang sedari tadi ramai memenuhi indera pendengaran mereka berdua.Si wanita menoleh. Raut wajahnya kacau. Mata dan hidungnya memerah. Urat di dahinya pun terlihat mengerut samar. Emosi yang seharusnya menguar, tertahan oleh kerutan itu."Kamu serius, mas Ray? Maksud aku, papa baru saja meninggal. Bisakah kamu menunggu satu tahun lagi?" pintanya memelas. Pria di sampingnya adalah Rayyan, suami yang baru dinikahi olehnya satu tahun yang lalu tepat di hari ulang tahun sang papa.Keduanya menikah atas dasar perjodohan bisnis antara dua perusahaan, tanpa cinta sama sekali. Satu bulan berjalan sejak pernikahan itu terjadi, Lily sang istri jatuh cinta pada suaminya. Namun, seperti pungguk merindukan bu
Melihat perlakuan Lily tadi pagi, hampir membuat Rayyan tak berkonsentrasi dengan pekerjaannya. Berulang kali ia tak pernah fokus saat mendengarkan temannya menyampaikan pendapat dalam meeting bulanan yang dihadiri sebagian petinggi perusahaan. Posisi penting yang dimiliki Rayyan memaksanya untuk hadir, ini yang tak disukai olehnya. Semenjak ayahnya memilih pensiun dan fokus pada hobinya, dirinyalah yang selalu dijadikan tameng untuk memimpin perusahaan.Rayyan menatap malas layar putih di depannya yang berisikan agenda perusahaan serta visi misi yang baru saja mereka rangkum. Sekilas kumpulan huruf itu nampak bagaikan serabut rumput yang menggulung di tengah sawah."Sekian pemaparan visi dan misi dari departemen marketing. Kepada pak Rayyan, kami mohon koreksinya. Terima kasih."Rayyan terkesiap kaget. Matanya yang tadi menutup sejenak seketika membola saat kalimat terakhir disampaikan oleh anak buahnya. Mata Rayy
Pintu rumah dibuka lebar oleh Tya menyusul kedatangan Bagas yang tiba-tiba saat hari menjelang malam. Seperti biasa, bila malam Sabtu tiba mereka berdua sering berbincang bersama membicarakan hal random sambil menonton televisi. Kali ini ada yang tak biasa, ada Lily yang ikut duduk bersama mereka di ruang tengah.Bagas mematikan rokok yang ia hisap dan menginjaknya hingga hancur lalu menyemprotkan pengharum ruangan. Aroma jeruk pun menguar. Lily yang baru saja duduk sedikit terganggu namun lebih baik daripada ia harus menghirup bau bakaran rokok yang lebih menyengat."Bagas, apa di kantor kamu ada lowongan pekerjaan? Maksud aku, kalau memang ada aku ingin kerja disana." pertanyaan Lily membuat kedua sahabatnya mematung seketika. Tya mengedipkan mata dan Bagas membuka mulutnya lebar-lebar. Tak percaya dengan apa yang mereka dengar."Kerja? Di kantor? No, lebih baik kamu teruskan butik peninggalan mama kamu," tolak Bagas.
Ternyata, berita perceraian Rayyan dan Lily sampai juga ke telinga Abi, sepupu Rayyan yang tinggal di luar negeri yang dengan sengaja datang ke Jakarta hanya untuk menginterogasi mantan suami Lily tersebut. Satu bulan tepat berita itu merebak, tersiar juga kabar kedekatan Rayyan dan model dewasa terkenal bernama Nayya. Ini sebenarnya yang membuat Abi geram. Rayyan dengan bodohnya melepas Lily, wanita selembut bidadari demi Nayya wanita yang menurutnya murahan. Ponsel Rayyan berdering nyaring di pagi hari yang cukup cerah ini. Warna putihnya masuk melalui celah tirai dan menusuk mata Rayyan yang sudah membuka perlahan. Disambarnya ponsel genggam itu lalu membuka kunci dan melihat banyaknya panggilan dari sepupu jauhnya itu. "Ah, anak nakal itu lagi," gumamnya. Rayyan menggeliatkan tubuhnya. Matanya menyipit, perlahan membuka penuh lalu bangun dan berjalan terhuyung ke kamar mandi. Selesai membersihkan diri, Rayyan pun membuka tirai dan jendela membiarkan sinar mataharinya masuk k