Melihat perlakuan Lily tadi pagi, hampir membuat Rayyan tak berkonsentrasi dengan pekerjaannya. Berulang kali ia tak pernah fokus saat mendengarkan temannya menyampaikan pendapat dalam meeting bulanan yang dihadiri sebagian petinggi perusahaan. Posisi penting yang dimiliki Rayyan memaksanya untuk hadir, ini yang tak disukai olehnya. Semenjak ayahnya memilih pensiun dan fokus pada hobinya, dirinyalah yang selalu dijadikan tameng untuk memimpin perusahaan.
Rayyan menatap malas layar putih di depannya yang berisikan agenda perusahaan serta visi misi yang baru saja mereka rangkum. Sekilas kumpulan huruf itu nampak bagaikan serabut rumput yang menggulung di tengah sawah.
"Sekian pemaparan visi dan misi dari departemen marketing. Kepada pak Rayyan, kami mohon koreksinya. Terima kasih."
Rayyan terkesiap kaget. Matanya yang tadi menutup sejenak seketika membola saat kalimat terakhir disampaikan oleh anak buahnya. Mata Rayyan yang masih buram akibat tertidur, ia pejamkan sejenak lalu ia usap.
Berulang kali ia menghela napas panjang lalu menghempasnya perlahan. Matanya mengedar ke sekeliling ruangan, terhenyak karena semua memandang datar pada dirinya.
"Yah, pemaparannya bagus. Saya suka. Hanya saja kurang inovasi. Saya banyak menerima keluhan seputar biaya produksi iklan, budgetnya tinggi namun hasilnya biasa saja. Mungkin bisa sedikit diperkecil. Itu saja saran dari saya," jelas Rayyan panjang lebar.
Seketika ruangan menjadi riuh rendah usai Rayyan memberikan wejangan. Banyak dari mereka berbisik-bisik sambil melirik sekilas pada sosok bosnya itu. Rayyan menaikkan dua alisnya, bermaksud ingin bertanya ada apakah gerangan?
"Maaf pak, yang baru saja bicara adalah perwakilan dari departemen marketing. Kalau iklan, itu bagian dari departemen advertising," jawab salah satu peserta rapat.
Wajah Rayyan memerah. Ia malu. Sangat terlihat sekali ia tak fokus hari ini. Jabatannya sebagai kepala departemen yang bertanggungjawab langsung di bawah CEO membuatnya semakin tak punya muka bertemu puluhan staf yang terkikik heran menertawakan dirinya.
Rayyan pun berdiri. Wajah datarnya membuat sebagian dari mereka yang hadir kembali terdiam. Mata Rayyan liar mencari siapa yang masih menertawainya. Ia berjalan pelan mengitari ruangan dan berdiri di kursi paling belakang dengan pandangan lurus ke depan.
"Kalian menertawakan saya? Kalian tahu siapa saya?" ujar Rayyan lantang. Semua peserta rapat menunduk. Tak ada yang berani mengangkat wajahnya. Aura Rayyan saat ini bagaikan malaikat maut yang siap mencabut nyawa siapapun yang menantang.
"Baiklah. Rapat diakhiri. Mood saya sedang buruk hari ini." Rayyan lantas ke luar ruangan tanpa bicara satu katapun. Staf yang masih di dalam ruangan pun menghela napas lega dan mulai berbisik-bisik lagi.
"Bisa repot nih. Sial!" umpat Sean salah satu staf Rayyan yang juga sahabat Rayyan.
Sean terpaksa mengikuti Rayyan ke ruangannya. Sebenarnya, kalau ini tak terlalu penting ia malas sekali bertemu muka dengan atasannya itu. Proposal yang harus ditandatangani Rayyan terbengkalai karena ketidakprofesionalannya saat rapat berlangsung.
Tokk tokk
"Masuk," jawab Rayyan.
Sean masuk lalu menutup pintu dan duduk manis di kursi yang berhadapan langsung dengan Rayyan. Tak menyapa, ia begitu saja menyerahkan proposal yang tadi ia dan timnya paparkan.
"Tanda tangan. Aku dan tim sudah panjang lebar menjelaskannya tapi kamu tidak profesional. Seharusnya, kamu bisa bedakan antara urusan pribadi dan urusan kantor," oceh Sean panjang lebar.
Rayyan menaikkan wajahnya dan menatap Sean malas. Bosan ia dicekoki nasihat yang sama seperti ayahnya ucapkan dulu.
"Cerewet juga ya, kamu." Rayyan menarik proposal dan menandatanganinya. Setelah selesai ia menyerahkannya lagi pada Sean.
"Kalau ini masalah rumah tangga kamu, cepat selesaikan."
Rayyan menghempas sebagian tubuhnya dan mengangkat kaki setinggi mungkin lalu meletakkannya di meja. Dua tangannya ia letakkan di belakang kepala lalu memejamkan matanya perlahan.
"Aku cerai, Sean. Dia pergi meninggalkan aku. Padahal, aku berharap dia mau mencegah perceraian itu dan kini dia pergi dengan pria yang juga mantan kekasihnya," ucapnya memulai pembicaraan serius. Sean yang baru saja akan melangkah keluar ruangan, kembali menduduki kursi dan menatap kasihan pada sahabatnya itu.
"Lily maksud kamu? Kalian benar bercerai?" Rayyan mengangguk. Ujung bibirnya berkedut. Ingin mengumpat tapi ia tahan. Sean mendecak heran, ia pun sama ingin mengumpat tapi urung ia lakukan mengingat statusnya saat ini. "Lily adalah berlian diantara tumpukan jerami. Kenapa kamu sia-siakan?"
Rayyan menurunkan kaki dan tangannya. Kini kedua tangannya bertumpu pada meja dan wajahnya sengaja ia arahkan pada Sean. Mereka saling beradu pandang sejenak lalu Rayyan memutusnya.
"Bagaimana dengan Nayya? Dia sudah menunggu satu tahun lebih untuk aku nikahi."
Sean terkekeh. Smirknya melengkung tajam bermaksud mengejek si pembuat ulah yang sialnya adalah sahabatnya sendiri. Rayyan memang sering berbuat sesuatu kebodohan tanpa dipikir dahulu, tapi ini yang paling bodoh menurutnya. Di luar sana, banyak yang mengincar Lily sebagai pasangannya tapi mengapa ia malah membuangnya?
"Cerai? Sama Lily? Kalau yang ini sih aku tidak bisa membantu. Sorry, Ray sepertinya aku juga akan sama seperti mantan kekasihnya. Mengejar bidadari yang turun dari khayangan. Atau, kita bisa bersaing nantinya? Menarik, bukan?" jelasnya panjang lebar. Sean menangkup dagunya dan mengusap pelan sambil tertawa membayangkan Lily. Wajah Rayyan merah padam mendengar ocehan Sean.
"Kamu kalau hanya mengejek aku lebih baik pergi sana," usirnya. Aura di ruangan Rayyan seketika memburuk. Sean pun berdiri, namun sebelumnya ia memandang sejenak wajah semrawut Rayyan akibat ejekannya tadi.
"Ray, aku serius. Andaikan dulu Lily menolak menikah dengan kamu, mungkin sekarang aku masuk dalam jajaran pria yang mengejar dia. Saran saja, seharusnya kamu bisa melihat mana perempuan yang pantas dan tidak pantas kamu perjuangkan. Permisi," pamit Sean. Ia berbalik meninggalkan ruangan.
Baru saja tangganya menggenggam pegangan pintu, seseorang sudah membukanya dari luar. Hampir saja Sean terjerembab ke belakang kalau saja ia tidak memegangnya.
"Halo sayang. Hei, kenapa wajah kamu kusut? Banyak pekerjaan ya? Yuk kita jalan-jalan hari ini. Kita jarang loh shopping. Mau kan?"
Seseorang yang tidak lain adalah mantan kekasih Rayyan datang berkunjung ke ruangannya. Sean menghela napas panjangnya. Ia menggelengkan kepala lalu melanjutkan lagi niatnya ke luar ruangan.
"Kamu kenapa tidak menghubungi aku?" ujar Rayyan lirih. Ia menepuk satu pahanya dan menyuruh Nayya duduk disana. Nayya dengan senang hati menerima. Tak peduli ada orang yang melihatnya.
"Aku mau buat kejutan. Bagaimana kamu dan Lily, ada perkembangan kah?"
Nayya memainkan dasi Rayyan, lalu mengusap dada bidangnya yang terbalut kemeja hitam. Usapannya sensual hingga menyebabkan Rayyan seakan melayang. Nayya mendekatkan wajahnya hingga napasnya mengembus pelan di pipi Rayyan.
Usapannya semakin sensual dan merayap hingga ke arah bawah. Tubuh Rayyan menegang, rasanya ia semakin terbang tak tentu arah sekarang. Nayya paling tahu apa yang ia mau. Satu kecupan di bibir Rayyan awal mula kegiatan panas mereka disana.
Tak mau kalah, Rayyan juga ikut mengusap punggung Nayya dan menyelusup masuk kedalam pakaiannya. Kecupan ringan pun berubah menjadi ciuman liar dan panas. Keduanya seakan lupa, mereka berada dimana sekarang.
"Nay, kita lanjutkan nanti. Aku mau kerja dulu." Rayyan memutus lebih dulu. Ia menyuruh Nayya turun dan merapikan dasi dan kemejanya kembali. Nayya tampak sebal karena hampir saja ia mendapatkan yang ia mau.
"Ray, kamu sudah cerai kan sama Lily? Kapan kamu nikahi aku?" rengek Nayya. Rayyan menghentikan tangannya yang baru saja mengetik di atas laptopnya. Ia memalingkan wajahnya tepat berhadapan dengan Nayya yang kini duduk di meja kerjanya.
"Aku belum resmi, Nay. Sabar ya, nanti aku beritahu kamu lagi." Rayyan pun melanjutkan kembali pekerjaannya yang tertunda. Nayya turun dan menghentak kakinya kesal. Ia lalu duduk di sofa sambil memainkan ponselnya.
"Selalu saja," gumamnya pelan. Rayyan mendengar, namun ia hanya menggelengkan kepalanya.
'Berbeda sekali dengan Lily.'
Pintu rumah dibuka lebar oleh Tya menyusul kedatangan Bagas yang tiba-tiba saat hari menjelang malam. Seperti biasa, bila malam Sabtu tiba mereka berdua sering berbincang bersama membicarakan hal random sambil menonton televisi. Kali ini ada yang tak biasa, ada Lily yang ikut duduk bersama mereka di ruang tengah.Bagas mematikan rokok yang ia hisap dan menginjaknya hingga hancur lalu menyemprotkan pengharum ruangan. Aroma jeruk pun menguar. Lily yang baru saja duduk sedikit terganggu namun lebih baik daripada ia harus menghirup bau bakaran rokok yang lebih menyengat."Bagas, apa di kantor kamu ada lowongan pekerjaan? Maksud aku, kalau memang ada aku ingin kerja disana." pertanyaan Lily membuat kedua sahabatnya mematung seketika. Tya mengedipkan mata dan Bagas membuka mulutnya lebar-lebar. Tak percaya dengan apa yang mereka dengar."Kerja? Di kantor? No, lebih baik kamu teruskan butik peninggalan mama kamu," tolak Bagas.
Ternyata, berita perceraian Rayyan dan Lily sampai juga ke telinga Abi, sepupu Rayyan yang tinggal di luar negeri yang dengan sengaja datang ke Jakarta hanya untuk menginterogasi mantan suami Lily tersebut. Satu bulan tepat berita itu merebak, tersiar juga kabar kedekatan Rayyan dan model dewasa terkenal bernama Nayya. Ini sebenarnya yang membuat Abi geram. Rayyan dengan bodohnya melepas Lily, wanita selembut bidadari demi Nayya wanita yang menurutnya murahan. Ponsel Rayyan berdering nyaring di pagi hari yang cukup cerah ini. Warna putihnya masuk melalui celah tirai dan menusuk mata Rayyan yang sudah membuka perlahan. Disambarnya ponsel genggam itu lalu membuka kunci dan melihat banyaknya panggilan dari sepupu jauhnya itu. "Ah, anak nakal itu lagi," gumamnya. Rayyan menggeliatkan tubuhnya. Matanya menyipit, perlahan membuka penuh lalu bangun dan berjalan terhuyung ke kamar mandi. Selesai membersihkan diri, Rayyan pun membuka tirai dan jendela membiarkan sinar mataharinya masuk k
Kebiasaannya di pagi hari, kini berubah bagi seorang Lily. Dulu, ia sangat senang sekali membuat beraneka macam sarapan kesukaan Rayyan. Menyiapkan kemeja kerjanya, membersihkan sepatunya hingga memakaikan dasi pun ia lakukan setiap hari.Sejak satu bulan lalu, semenjak ia melepas status sebagai istri sah Rayyan kebiasaannya di pagi hari adalah memandangi foto mendiang ayahnya yang terpajang rapi dalam bingkai pigura emas. Ia merindukan ayahnya.Ia belum siap untuk ditinggal, namun takdir seolah memaksanya. Lily selalu menggenggam kalung pemberian ayahnya dua tahun lalu sebelum pernikahannya dengan Rayyan. Kalung emas putih dengan bandul bintang dan bulan berukirkan namanya di salah satu bandul.Kata ayahnya, bandul itu mempunyai fiosofi. Jadilah seperti bintang, walau letaknya jauh namun sinarnya terang hingga ke bumi dan jadilah bulan yang tetap setia mengitari bumi walau kadang terabaikan.
Nayya mendumal. Pagi ini ia sedikit kecewa dengan calon suaminya yang menyuruhnya bertandang ke rumah orangtuanya. Pernikahan mereka tinggal menghitung hari. Satu Minggu dari sekarang tepatnya. Rencananya, pernikahan ini akan diadakan secara pribadi tanpa keluarga dan teman yang tahu. Namun, Nayya selalu merengek setiap malam. Ia merayu Rayyan hingga akhirnya pria berstatus duda itu luluh.Alasan Nayya mendumal adalah karena ia datang bertandang sendiri tanpa ditemani oleh Rayyan. Nayya tahu, pastinya ada konsekuensinya jika pernikahan dilaksanakan terbuka. Salah satunya ini, pihak keluarga yang akan ikut campur."Kamu tidak datang ke rumah orangtuamu? Aku takut kesana sendiri," rayu Nayya. Tangannya mengusap pinggiran lengan jas Rayyan. Bibirnya mencebik lucu dengan pipi yang menggembung.Rayyan menoleh. Masih membereskan dasinya, ia merapikan semuanya sendiri. Nayya, bahkan tidak ada kesadaran untuk membantunya.
Hari ini, wajah Lily terus tersenyum sepanjang hari. Tak lagi ada galau ataupun rasa sedih seperti beberapa bulan yang lalu saat ia bercerai. Bagas yang baru tiba di Jakarta kemarin, sengaja meluangkan waktunya untuk mengantar Lily periksa ke dokter kandungan. Ah, ini jadi salah satu penyebab Lily amat bahagia hari ini.Sepanjang jalan Lily terus mengoceh. Ia bercerita setiap harinya ia punya banyak pelanggan di kafenya Tya yang terus mengajaknya berkenalan. Katanya, tak hanya pria bahkan wanita dan anak kecil pun ada."Seru dong. Kamu suka?" tanya Bagas. Lily mengangguk senang. Ia menyebutkan satu persatu nama pelanggannya dan anehnya ia pun hapal."Bagas, terima kasih ya.""Terima kasih untuk apa?" tanya Bagas. Ia berpura tak tahu. Ia yakin, ini menyangkut kehadirannya menemani Lily untuk periksa kandungan."Sudah mau jadi seseorang yang sayang sama aku," ujarnya dengan sen
Hari pernikahan pun tiba. Nayya telah selesai bersolek sejak pagi. Gaun pengantin cantik yang ia beli dari butik langganan, membuatnya cantik. Warna putih dengan manik silver dan sedikit aksen pita di salah satu sudut membuatnya tampak seperti putri dongeng.Begitupun dengan Rayyan. Tuxedo hitam dengan bahan beludru dengan dasi kupu-kupu membuatnya tampak seperti pangeran. Serasi jika disandingkan dengan Nayya.Pernikahan Rayyan dan Nayya memang tak sepenuhnya mendapat restu dari kedua orangtuanya. Namun mereka memilih datang sebagai rasa tanggung jawabnya sebagai orangtua.Prosesi ijab kabul berlangsung lancar, Rayyan sangat lancar mengucapkan ikrar sehidup semati dengan Nayya. Betapa bahagianya Nayya, dari balik pintu penghubung ia tersenyum sambil terus memegang buket bunga."Nayya, prosesi ijab kabul sudah selesai. Kamu segera ke luar untuk acara sungkeman," ujar Kirey dengan nada ketus dan wajah seram yan
Malam belum sepenuhnya larut. Lily yang akan beranjak tidur tiba-tiba teringat dengan pengakuan cinta dari Bagas beberapa hari yang lalu. Pengakuan cinta dan memintanya kembali lagi bersama seperti dahulu. Kembali mencintai dan menjalin kasih.Lily duduk sambil mengusap perutnya yang mulai sedikit membuncit. Ini sudah masuk trimester kedua. Seharusnya disaat-saat seperti ini, suaminya mendukung dan memberikan banyak cinta padanya. Andai saja ia seperti Nayya, yang dicintai dan disayangi sepenuh jiwa pastinya ia dan anaknya akan bahagia saat ini.Sayangnya tidak."Semoga Bagas bisa menjadi ayah yang baik untuk kalian," gumam Lily. Diliriknya jam dinding yang sudah menunjukkan pukul delapan malam. Karena belum terlalu mengantuk, ia pun bangun dan ingin sekali bergabung dengan Bagas dan Tya yang sedang bersantai di ruang tengah."Haa...haaa..itu bule gegabah. Kenapa dia tidak tunggu pesanannya d
Sepasang pengantin baru itu tertawa riang memasuki kamar hotel yang telah mereka pesan sebelumnya. Rayyan bergegas membaringkan tubuh mungil Nayya di atas ranjang putih dengan serakan potongan mawar merah memenuhi hampir seluruhnya. Nayya menarik tuxedo Rayyan yang membuatnya terhuyung ke depan. Rayyan mengukung tubuh Nayya lalu membisikkan sesuatu di telinganya." I love you."Rayyan membuka tuxedonya dan membuangnya ke segala arah. Lalu diikuti pakaiannya dan Nayya pun melakukan hal yang sama."Aku lelah. Aku mau tidur." Rayyan berguling ke arah samping dan merebahkan tubuhnya lalu memejamkan matanya. Nayya berbalik, tidur tengkurap dan memeluk Rayyan dengan erat."Kamu kenapa?""Aku hanya sedang lelah, Nayya." Rayyan memiringkan tubuhnya menghindari Nayya. Ia belum sepenuhnya tidur. Bayangan kata-kata ibunya membuat pria itu merinding. Bayangan wajahnya bahkan cara dia menatap, membuatnya merasa